Kawan GNFI, bukan orang Indonesia namanya jika kita tidak dikenal dengan budaya gotong royongnya, bukan? Gotong royong juga merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia yang sejak dulu kala sehingga sudah menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal inilah yang membuat Indonesia memiliki ikatan yang begitu erat antar satu sama lain dari berbagai suku maupun daerah. Berbicara soal tradisi yang satu ini, ada segudang budaya gotong royong di Indonesia yang menarik untuk diulas. Ada apa saja kira-kira, ya?
Ragam Contoh Tradisi Gotong Royong di Berbagai Daerah Indonesia
Tradisi Huyula dari Gorontalo

Gotong royong membangun rumah © Shutterstock/Ludhita Dwi A
Salah satu contoh tradisi gotong royong di Indonesia adalah Huyula yang datang dari masyarakat Gotontalo. Dalam perkembangannya sistem gotong royong ini bukan saja pada kegiatan memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi sudah lebih luas lagi, antara lain dalam membangun rumah, sarana ibadah, membangun/membuat jalan, membuat fasilitas umum, kegiatan upacara, dan lain-lain.
Gotong-royong atau huyula dalam kegiatan sosial membangun rumah telah ada sejak manusia mulai hidup menetap di dataran Gorontalo. Tradisi masyarat Gorontalo ketika hendak membangun rumah adalah Huyula, tradisi masyarakat Gorontalo ketika hendak membangun rumah. Setiap keluarga atau masyarakat yang hendak membangun rumah meminta bantuan atau minta tolong (motiayo) kepada tetangga, saudara, atau kerabatnya.
Bentuk kegiatan huyula ini bertujuan untuk meringankan beban pemilik rumah. Diutamakan mereka yang baru berumah tangga atau yang belum memiliki rumah sendiri. Ketentuan-ketentuan para peserta yang ikut dalam pengumpulan bahan bangunan rumah memberikan bahan sesuai yang disepakati bersama.
Pemilik yang minta bantuan motiayo dari para kerabat dan tetatangganya (tihedu) untuk membangun rumah wajib memberikan makanan kepada mereka yang datang membantu, baik dalam bentuk membalas jasa maupun mereka yang datang dengan sukarela (mohubode).
Demikian pula sebaliknya yang sudah dibantu wajib mengembalikan apa yang disepakati dan membantu juga secara suka rela bagi yang membutuhkan bantuan. Mereka yang sudah pernah dibantu dan tidak membalas akan mendapat sanksi cemoohan masyarakat dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan huyula yang lain.
Tradisi Nganggung dari Kabupaten Bangka

Tradisi Gotong Royong Nganggung dari Kabupaten Bangka © radarbangka.co.id
Tradisi yang masih melekat dalam ranah tanah Bangka adalah nganggung, yaitu sebuah kegiatan membawa dulang berisi makanan ke mesjid atau langgar. Nganggung merupakan rangkaian kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, saling membantu antarwarga dalam suatu desa atau kampung.
Nganggung dilakukan untuk menyambut datangnya hari besar keagamaan, menghormati orang yang meninggal dunia, atau menyambut kedatangan tamu besar, seperti gubernur atau bupati. Terlepas dari apa kepentingan tamu ini, bagi warga, tamu tetap harus disambut, dijunjung tinggi, dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Cara atau bentuk pelayanan itu adalah memberikan makanan ''secukupnya'' yang artinya memberikan makanan ''sekenyang-kenyangnya'' kepada sang tamu.
Tradisi Ngayah dari Bali

Tradisi Gotong Royong Ngayah di Bali ©desasedang.badungkab.go.id
Ngayah berarti pekerjaan sukarela untuk kebaikan bersama. Adapun tradisi ngayah merupakan kegiatan gotong royong yang dilakukan untuk kebaikan semua masyarakat Bali yang terlibat. Dalam tradisi ngayah, masyarakat Bali tidak hanya sekadar tolong-menolong untuk kegiatan sosial saja. Namun, masyarakat Bali juga melakukan ngayah sebagai perintah agama.
Jadi, tradisi ngayah itu mengandung unsur kegiatan tolong-menolong, berbagi, dan bersosialisasi dengan sesama. Sekarang ini, tradisi ngayah masih terus dilakukan oleh masyarakat Bali. Berbeda dengan tradisi lain yang harus dilakukan setiap tanggal tertentu, ngayah bisa dilakukan setiap hari. Misalnya setiap pagi, mereka selalu mengobrol dengan tetangganya dan menjalin keakraban.
Atau saat ada acara tertentu, mereka bersama-sama melakukan persiapan agar acara berjalan dengan baik. Kegiatan-kegiatan seperti ini juga termasuk dalam tradisi ngayah. Dengan begitu, masyarakat Bali tetap bisa menjaga semangat berbagi dan berbuat kebaikan kepada sesama. Menariknya, tradisi ngayah ini juga bisa dilakukan oleh siapapun yang bukan masyarakat Bali, namun sedang berada di Bali.
Tradisi Marsiadapari dari Suku Karo, Sumatera Utara

Tradisi Gotong Royong Marsiadapari © kemenkopmk.go.id
Marsiadapari adalah gotong royong yang dilakukan beberapa orang secara serentak (rimpa atau rumpa) di ladang masing-masing secara bergiliran, agar pekerjaan yang berat dipikul bersama hingga meringankan beban kumpulan.
Sebutan gotong royong marsiadapari ini berasal dari bahasa Batak khususnya dilakukan oleh Suku Karo. Marsiadapari berasal dari kata mar-sialap-ari yang berarti, ''Kita berikan dulu tenaga dan bantuan kita kepada orang lain baru kemudian kita minta dia membantu kita''. sebutan ini memang memiliki makna yang sangat dalam. Suku Karo memegang teguh nilai, ''Tanam dulu baru petik kemudian''.
“Dokdok rap manuhuk, neang rap manea (berat sama dipikul, ringan sama dijingjing),” begitulah salah satu prinsip marsiadapari. Pelaksanaan marsiadapari ini pun tidak hanya saat bertani (mangula) di ladang (hauma), tetapi juga pada semua bidang kegiatan orang Batak. Seperti mendirikan rumah (pajongjong jabu), hari duka cita karena meninggal dunia, pesta, dan lain sebagainya.
Menariknya, budaya marsiadapari juga tidak mengenal kelas ekonomi masyarakat. Miskin atau kaya (na mora manang na pogos), kuat atau lemah (na gumugo manang na gale) semua saling memberi hati untuk dapat meringankan beban anggota kumpulannya.
“Sisolisoli do uhum, siadapari do gogo,” begitulah hukum dasar marsiadapari. Artinya, kau beri maka kau akan diberi. Hal ini berlaku untuk sikap, tenaga, dan juga materi.
Tradisi Rambu Solo di Toraja

Tradisi Rambu Solo di Toraja © Shutterstock/Azwara
Tradisi Rambu Solo di Toraja adalah tradisi upacara pemakaman yang terkenal. Tradisi ini dilambangkan sebagai kesempurnaan kematian seseorang agar bisa pergi dengan tenang dan bahagia. Untuk satu kali upacara, pihak keluarga yang ditinggalkan harus menyediakan hewan kurban berupa kerbau dan babi. Proses upacara pemakaman ini tentulah memerlukan banyak orang, sehingga kegiatan gotong royong oleh masyarakat setempat dilakukan.
Cerita lainnya, tradisi ini digadang-gadang menjadi upacara pemakaman yang paling mahal di dunia. Upacara pemakaman yang berlangsung sampai tujuh hari ini diperkirakan memakan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah per satu kali acara adat. Bahkan membutuhkan tenaga ratusan orang.
Tradisi Beganjal dari Kepulauan Riau

Tradisi Gotong Royong Beganjal dari Kepulauan Riau © kebudayaan.kemdikbud.go.id
Tradisi beganjal terdapat di daerah Kepulauan Riau yang mayoritas masyarakatnya adalah suku Melayu. Tradisi gotong royong ini dilakukan menjelang pelaksanaan hajatan, seperti pesta perkawinan di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Dalam tradisi beganjal, masyarakat kompak bersama-sama mempersiapkan keperluan sebelum pesta perkawinan.
Sebagai contoh seperti membuat bangsal atau pondok tempat memasak, mencari kayu api, mempersiapkan alat pecah belah. Selain itu, juga menyiapkan bumbu masakan, termasuk menyiapkan daging untuk dimasak, termasuk memasak nasi dan lauk.
Dalam tradisi beganjal, masyarakat yang datang membantu tidak mendapat upah. Pemilik hajatan hanya menyiapkan makanan dan minuman bagi mereka yang bekerja. Dalam traidisi beganjal, laki laki dan perempuan boleh ikut serta. Semakin ramai masyarakat yang datang membantu, pemilik hajatan akan makin senang.
Manfaat tradisi beganjal ini selain untuk bantu membantu juga untuk mengetahui bagaimana pergaulan yang punya hajat di masyarakat. Jika ada banyak warga ramai datang membantu, itu artinya pemilik hajatan menjalin hubungan dan pergaulan yang bagus dengan para tetangga dan warga sekitar. Sebaliknya, kalau warga enggan datang, berarti pemilik hajatan selama ini tidak pandai bergaul. Atau bisa juga karena pihak tersebut jarang ke tempat hajatan orang lain.
Nilai yang bisa diambil dalam tradisi beganjal adalah nilai gotong royong atau kebersamaan. Tradisi ini tentunya, masih terus dilestarikan oleh orang Melayu di Kepulauan Riau.
Tradisi Marakka' Bola dari Sulawesi Selatan
.jpg)
Marakka’ Bola © komunitasmatoa.blogspot.com
Selanjutnya marakka’ bola, tradisi ini adalah yang paling unik, merupakan tradisi gotong royong memindahkan rumah pada Masyarakat Bugis Barru, Sulawesi Selatan. Tradisi gotong royong di tengah masyarakat Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru tersebut ini masih kerap dilakukan dan diturunkan kepada generasi selanjutnya hingga sekarang.
Tradisi marakka’ bola yang dikenal juga sebagai tradisi mappalette. Warga yang hendak memindahkan rumahnya akan dibantu oleh warga sekitar dengan sukarela. Bobot rumah yang dipindahkan tentu saja tidak ringan, bisa puluhan ton. Jarak rumah yang dipindahkan ke lokasi baru juga biasanya tidak dekat.
Kegiatan gotong royong memindahkan rumah yang begitu besar ini kerap dinilai tidak masuk akal sehat karena para warga benar-benar hanya menggunakan tenaga manusia. Namun, semangat gotong royong membuktikan bahwa hal yang mustahil dapat dilakukan.
Untuk memudahkan proses mengangkat rumah awalnya, bambu-bambu diikat di masing-masing tiang rumah. Ini nantinya berfungsi sebagai alat bantu mengangkat rumah. Bambu tersebut dipanggul bersama-sama untuk mempermudah pengangkatan rumah menuju lokasi yang baru.
Tradisi marakka' bola akan menciptakan suasana yang riuh dan ramai. Pasalnya, ratusan orang akan ikut mengangkat rumah. Setiap ada pengumuman di masjid tentang seseorang yang akan memindahkan rumahnya, secara spontan masyarakat akan datang beramai-ramai. Setelah rumah selesai dipindahkan atau di tempat baru, kegiatan dilanjutkan dengan acara syukuran atau yang dikenal masyarakat Bugis dengan acara Baca Barazanji.
Tujuannya agar rumah yang baru saja dipindahkan terhindar dari bencana dan malapetaka.
Di akhir acara akan ada acara makan bersama sebagai bentuk ikatan silaturahmi yang erat antara warga. Usai mengangkat rumah warga menyantap makanan yang disediakan pemilik rumah. Hal ini juga dianggap sebagai imbalan dan ucapan terima kasih kepada seluruh warga yang rela meluangkan waktu untuk membantu memindahkan rumah.
Tradisi Sikaroban dari Palembang, Sumatra Selatan

Tradisi Sikaroban. © Dok. Pribadi.
Tradisi Sikaroban merupakan salah satu tradisi gotong royong yang hidup di masyarakat Palembang, Sumatra Selatan. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang atau saat pelaksanaan hajatan, terutama pesta pernikahan. Sikaroban menjadi wadah bagi warga untuk berkumpul, bekerja sama, sekaligus mempererat hubungan sosial.
Dalam tradisi Sikaroban, masyarakat datang membantu tuan rumah yang sedang punya hajatan. Bentuk bantuan ini beragam, mulai dari menyiapkan tempat acara, mendirikan tenda, menata kursi, hingga mempersiapkan perlengkapan dapur. Para laki-laki biasanya bertugas mendirikan bangsal atau tenda, menata meja kursi, dan mengurus hal-hal berat. Sementara itu, kaum perempuan lebih banyak membantu di dapur, seperti membersihkan beras, memotong daging, meracik bumbu, hingga memasak nasi dan lauk pauk.
Menariknya, semua orang yang ikut dalam Sikaroban tidak mengharapkan upah. Pemilik hajatan hanya menyiapkan makanan dan minuman sebagai bentuk penghormatan kepada para tetangga dan kerabat yang sudah meluangkan waktu. Suasana pun terasa hangat karena selain bekerja, masyarakat juga saling bercengkerama.
Bagi masyarakat Palembang, Sikaroban bukan sekadar kerja bakti, tetapi juga menjadi ukuran seberapa baik hubungan sosial pemilik hajatan dengan lingkungan sekitar. Jika banyak warga yang datang membantu, itu artinya tuan rumah dianggap memiliki hubungan baik dengan tetangga dan kerabat. Sebaliknya, jika yang datang sedikit, bisa saja hal itu menandakan bahwa pemilik hajatan kurang aktif bersosialisasi dengan masyarakat.
Nilai utama yang terkandung dalam tradisi Sikaroban adalah gotong royong, solidaritas, dan kebersamaan. Tradisi ini juga memperkuat rasa kekeluargaan antarwarga, sekaligus menjadi warisan budaya yang patut terus dijaga dan dilestarikan di tengah perubahan zaman.
Tradisi Gugur Gunung dari Jawa Tengah & Jawa Timur

Gugur Gunung, Tradisi dari masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. © https://dayeuhluhur.cilacapkab.go.id/
Tradisi Gugur Gunung berasal dari masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara harfiah, kata “gugur gunung” berarti kerja bersama-sama untuk tujuan mulia. Tradisi ini menggambarkan semangat gotong royong yang sudah mengakar sejak lama di tengah kehidupan pedesaan Jawa.
Biasanya, gugur gunung dilakukan ketika ada pembangunan fasilitas umum, seperti memperbaiki jalan desa, membangun masjid, balai desa, hingga membantu tetangga yang sedang punya hajatan. Semua orang di desa akan datang dan menyumbangkan tenaga, waktu, bahkan bahan makanan.
Tradisi ini tidak hanya meringankan beban pekerjaan, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga. Nilai kebersamaan, solidaritas, dan peduli sesama sangat kental dalam praktik gugur gunung. Hingga kini, semangatnya masih dilestarikan, meski dengan bentuk yang lebih modern, misalnya kerja bakti rutin atau gotong royong dalam organisasi masyarakat.
Tradisi Sambatan dari Yogyakarta & Jawa Tengah

Tradisi Sambatan. © dero.desa.id
Sambatan merupakan salah satu tradisi gotong royong masyarakat pedesaan di Jawa, terutama di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sambatan berarti tolong-menolong. Tradisi ini mencerminkan kepedulian sekaligus solidaritas masyarakat desa terhadap sesamanya.
Dalam praktiknya, sambatan biasanya dilakukan saat ada warga yang sedang membangun atau memperbaiki rumah. Warga yang terlibat umumnya berasal dari satu lingkungan RT atau dusun. Mereka bekerja bersama-sama secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Sebagai gantinya, tuan rumah hanya menyiapkan hidangan sederhana untuk para pekerja.
Menariknya, meskipun zaman terus berkembang, tradisi ini masih lestari hingga sekarang. Salah satu daerah yang masih mempertahankan sambatan adalah Desa Dero, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi. Selain sebagai bentuk gotong royong, sambatan juga mencerminkan budaya timbal balik: siapa yang pernah membantu akan mendapat bantuan serupa di kemudian hari. Ungkapan Jawa “sopo wonge nandur kabecikan, mesti bakal ngunduh” (siapa yang menanam kebaikan, pasti akan menuai kebaikan) menjadi filosofi yang melekat dalam tradisi ini.
Tradisi Hela Rotan dari Negeri Aboru, Maluku Tengah

Tradisi Hela Rotan. © Tangkapan Layar YouTube jejakakibeta.
Tradisi Hela Rotan menutup daftar macam-macam tradisi gotong royong di Indonesia ini. Hela Rotan merupakan salah satu tradisi unik yang masih dilestarikan oleh masyarakat Negeri Aboru, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Tradisi ini biasanya digelar setiap akhir tahun hingga awal Januari, dan melibatkan seluruh warga tanpa memandang usia maupun status sosial.
Tradisi ini berawal dari masa pembentukan Negeri Aboru, ketika rotan digunakan sebagai alat ukur dalam membagi wilayah petuanan. Lama-kelamaan, kegiatan tarik-menarik rotan ini berkembang menjadi simbol persatuan antarwarga, sekaligus sarana memperkuat hubungan sosial.
Dalam praktiknya, masyarakat lebih dulu bermusyawarah untuk menentukan waktu pelaksanaan. Setelah itu, warga bersama-sama mencari dan mempersiapkan rotan yang panjangnya bisa mencapai ratusan meter. Rotan kemudian dianyam hingga menjadi satu ikatan besar. Pada hari pelaksanaan, warga dibagi menjadi dua kelompok yang saling tarik-menarik rotan, mirip seperti permainan tarik tambang.
Tradisi Hela Rotan tidak sekadar kegiatan fisik, tetapi juga sarat nilai kebersamaan. Setelah selesai, masyarakat menggelar patita atau makan bersama sebagai wujud rasa syukur dan solidaritas. Rotan yang digunakan lalu dibawa ke pantai dan ditenggelamkan ke laut, karena diyakini tidak boleh tersisa di daratan.
Nilai yang dapat dipetik dari tradisi ini adalah pentingnya gotong royong, kekompakan, dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Hela Rotan menjadi bukti bahwa warisan leluhur tetap relevan dan dapat mempererat ikatan sosial meskipun zaman terus berubah. Tradisi ini bahkan pernah mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai rotan terpanjang yang digunakan dalam acara adat.
Ternyata tradisi gotong royong dari berbagai daerah di Indonesia ini juga punya keunikannya sendiri, ya. Budaya gotong royong ini tentunya bukan untuk menyusahkan orang lain, namun dengan adanya tradisi ini membuat ikatan warga setempat menjadi sangat erat, menumbuhkan rasa peduli, dan rasa tolong-menolong antar satu sama lain.
Di daerah Kawan GNFI ada tradisi gotong royong unik apa lagi?
Referensi: Good News From Indonesia | kebudayaan.kemdikbud.go.id |kotaku.pu.go.id | bobo.grid.id | kemenkopmk.go.id
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News