Kisah Inspiratif Hendri Chandra Santoso
Antusiasme Hendri Chandra Santoso Terhadap Sastra
Sebagai sosok jurnalis sejati, bagi Hendri, kegiatan literasi sangatlah dekat untuknya berekspedisi mengenal dunia. Tentunya, dengan kemampuannya akan kesadaran bahwa membaca adalah langkah menjadi pribadi yang lekat dengan intelektualitas, ia ingin membuat dunia mendengar bahwa bangsanya juga peduli akan hal tersebut. Dengan prinsip yang teguh ia pegang sebagai penggiat sastra, Hendri Chandra Santoso, seorang alumni Fakultas Universitas Diponegoro berhasil meraih penghargaan penerima SATU Awards tahun 2011 melalui dihidupkannya sastra.
Sastra Bukanlah Media Hegemoni
Sebagaimana literasi seharusnya menjadi hal yang inklusif, menurut pria yang lahir di Kendal ini, melalui sastra ia mengenalkan dunia bahwa hal tersebut adalah hak semua bangsa. Yang ekslusif dari sastra dan literasi hanyalah sebatas intelektualitas yang dicapai, tidak harus menjadi seseorang yang masyhur untuk mengenal literasi dan sastra. Hak ini, kemudian, tidak pantas rasanya untuk dijadikan sebuah ekslusivitas dan membentuk kelas dan kasta seolah untuk mendapatkannya butuh privilese struktural. Mengutip Hendri Chandra Santoso sendiri, "Sastra, bukan monopoli orang kota. Bukan pula dominasi seniman kesohor. Masyarakat desa yang sepi akses informasi, juga bisa dan berhak berbicara sastra."
"Semua Berhak Berbicara Sastra"
Sebagaimana sastra dapat dideklarasikan sebagai hak segala bangsa, maka upaya Hendri Chandra Santoso adalah memberikan akses dan fasilitas terhadap lapangan yang berpotensi untuk perkembangan intelektual dari lingkup terdekatnya. Dalam ikhtiarnya, Ia mengambil langkah untuk membuka fasilitas umum; perpustakaan gratis 23 dan memberinya nama "Pondok Maos" di kecamatannya sendiri, Boja, Kendal, Jawa tengah. Tentunya, fasilitas ini didukung seiringan menjadi misi utama komunitas Hendri, Komunitas Lereng Medini yang tentunya digagas oleh Sigit Susanto, karibnya sendiri, yang juga memanfaatkan rumahnya sebagai aksi nyatanya. Komunitas Lereng Medini sendiri uniknya dinamai sebagaimana Medini adalah nama pegunungan di kawasan Boja.
Sentimen Visualisasi Yang Salah Alamat
Mengingat kembali bahwa Hendri adalah seorang jurnalis, dengan menelaah dunia jurnalisme, fotografi merupakan salah satu media visualisasi realitas. Penangkapan kasus korupsi di Kementan, KPK telah menetapkan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, sebagai tersangka korupsi. Dalam dokumentasi penangkapan tersebut, terdapat mahakarya visual yang lahir di sejarah jurnalisme fotografi. Ironisnya, dengan kontras subjek, tata letak, dan atribut warna yang memposisikan potrait Syahrul Yasin Limpo di titik fokus optis seolah menjustifikasi dirinya untuk mendapatkan spotlight dengan sentimen heroik. Dokumentasi tersebut kemudian ramai membahas karya apik tersebut, tanpa menihilkan apresiasi seniman visual, fotografer Kumparan, Jamal Ramadhan, audiens seolah terdistraksi bahwa sentimen yang pantas adalah negatif tentunya untuk seorang tersangka korupsi.
Hendri Chandra Santoso Sebagai Aktor Penggagas Intelektualitas
Dengan upayanya yang nyata membangun fasilitas untuk mengenalkan dunia bahwa literasi, bacaan, dan sastra adalah kunci dari intelektualitas, perlu diapresiasi bahwa yang seharusnya mendapatkan spotlight apresiasi heroik adalah Hendri Chandra Santoso. Sentimen positif kemudian cocok seirama dengan spotlight yang pantas didapatkan olehnya. Disayangkan bahwa, dalam kajian kesusastraan melalui media series Money Heist yang menjadi parameter apiknya visual penangkapan Syahrul Yasin Limpo, sentimen yang didapat oleh audiens memunculkan kesan dilematik apresiasi. Penangkapan Syahrul Yasin Limpo adalah murni sebuah tindak cela dan kritik sebagai rekonsiliasi untuk Indonesia yang lebih optimis adalah dengan memposisikan aktor heroik yang sebenarnya; Hendri Chandra Santoso.
#kabarbaiksatuindonesia #kisahinspiratif #aktorintelektual
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
