Seiring dengan berjalannya waktu, konsep kepenjaraan Indonesia yang kini telah mengalami perubahan paradigma menjadi konsep pemasyarakatan yang lebih humanis, yang mana mengutamakan pembinaan dengan tujuan sebagai sarana reintegrasi sosial narapidana dengan masyarakat umum.
Paradigma ini yang menjadikan lembaga pemasyarakatan bukan hanya sebagai tempat penghukuman dan penghilangan kemerdekaan narapidana, lembaga pemasyarakatan dapat menjadi sentra industri yang memiliki manfaat positif dan sebagai wadah perwujudan kreativitas dan inovasi yang dihasilkan. Adapun narapidana sendiri dalam berkarya mampu menghasilkan barang, jasa, maupun layanan publik yang memiliki daya jual.
Melalui program pembinaan kemandirian lapas, narapidana yang memiliki keahlian tertentu dapat menuangkan ide kreatifnya dan juga mewujudkannya menjadi barang yang memiliki kualitas. Contohnya penerapaan program pembinaan kemandirian berupa pembuatan chocosheet di Rutan Kelas IIB Purbalingga.
Chocosheet sendiri merupakan olahan limbah sabut kelapa yang bermanfaat sebagai media tanam sekaligus dapat menjadikan tanah yang akan digunakan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan menjadi subur. Selain inovasi yang menghasilkan kebermanfaatan di bidang pertanian dan perkebunan, adapula contoh lain dari sektor industri.
Di Lapas Kelas IIB Brebes tepatnya, narapidana yang menjalani program pembinaan memiliki keterampilan dalam pembuatan sandal. Barang tersebut telah memiliki nilai pasarnya sendiri sehingga dapat menjalin kerja sama sebagai supplier sandal di hotel yang ada di wilayah brebes.
Selain menghasilkan inovasi dalam bentuk barang maupun jasa, hal lain juga dapat ditemukan dalam bentuk layanan publik. Di Lapas Kelas I Malang, dikenal dengan istilah (SAE L’SIMA) atau Sarana Asimilasi dan Edukasi Lapas I Malang. Di sana, arena lintasan sepeda gunung yang dalam pemanfaatannya dapat dinikmati oleh masyarakat umum jika ingin melepas penat dan memacu adrenalin.
Sesuai apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Dr. Yasonna H. Laoly, dalam sambutan pada upacara Hari Bakti Pemasyarakatan ke-60, beliau mengatakan bahwa pada saat meresmikan lapangan tembak milik sebuah organisasi, atas rekomendasi mantan Kalapas Malang yang sekarang menjadi Kepala Kantor Wilayah Sumatera Utara.
Ia mengirimkan seorang warga binaan untuk menulis dan melukis di Lapangan Tembak tersebut yang hasilnya sangat mengagumkan. Bahkan, seorang pemilik properti mencatat nama warga binaan tersebut dan memintanya untuk melukis serta membuat patung. Hal ini menunjukan bahwa keterampilan dan kapasitas yang dimiliki oleh narapidana, tidaklah jauh berbeda layaknya seorang professional di bidang-bidang tertentu.
Dengan diterapkannya program serupa, banyak harapan bahwa narapidana yang telah selesai menjalani masa hukuman di lapas maupun rutan dapat memiliki bekal keterampilan yang dapat digunakan untuk melanjutkan kehidupan mereka selepas bebas dari masa penghukuman.
Selain itu, program pendidikan dan pelatihan keterampilan di banyak lembaga pemasyarakatan memberikan kesempatan bagi narapidana untuk belajar dan mengembangkan kemampuan baru, seperti menulis, teknik perbengkelan, atau teknologi informasi.
Bahkan, ada narapidana yang mengembangkan ide bisnis dan berwirausaha di dalam penjara, menunjukkan bahwa inovasi tidak pernah mengenal batasan fisik. Kreativitas ini tidak hanya memberikan arti dan tujuan bagi para narapidana. Namun, juga membuktikan bahwa potensi manusia untuk berinovasi dan berkembang tetap ada, meski dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Sebab, sejatinya di balik tembok penjara tersebut masih banyak daya cipta dan kreativitas dari narapidana yang belum terekspos. Selain sebagai modal keterampilan, program inovasi ini juga dapat dijadikan indikasi bahwa tujuan pemasyrakatan, yaitu memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan dapat tercapai dengan optimal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News