Di balik peraturan tentang busana, tersembunyi dinamika yang kompleks dari ekonomi politik, kebudayaan, dan kekuasaan. Contoh konkret dari interaksi ini dapat ditemukan dalam kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, yang mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di wilayahnya untuk memakai batik tulis lokal dan blangkon.
Aturan ini, yang dituangkan dalam Peraturan Bupati tentang Pakaian ASN Seragam Batik Lokal, memiliki tujuan ganda yang disampaikan oleh Bupati Fauzi.
Pertama, sebagai upaya membangkitkan kembali ekonomi lokal yang terdampak pandemi Covid-19, khususnya bagi perajin batik dan pembuat blangkon di Sumenep. Kedua, untuk melestarikan budaya lokal. Namun, di balik tujuan yang diumumkan ini, terdapat dinamika yang lebih dalam yang perlu dieksplorasi.
Dari segi ekonomi, kebijakan ini mencerminkan strategi intervensi pemerintah dalam ekonomi lokal. Dengan mewajibkan penggunaan batik lokal, Pemkab Sumenep menciptakan pasar yang terjamin bagi para pengrajin lokal. Meskipun harga yang diumumkan mungkin terlihat tinggi bagi beberapa individu.
Namun, investasi ini dilihat sebagai langkah untuk mendukung perekonomian lokal. Pengawasan pemerintah terhadap produksi dan distribusi batik juga menandakan campur tangan pemerintah dalam mengatur pasar, yang mencerminkan ekonomi politik yang terkait.
Dalam konteks politik, kebijakan ini membawa implikasi tentang distribusi dan penggunaan kekuasaan. Penetapan aturan ini dalam bentuk Peraturan Bupati menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam menetapkan regulasi lokal. Dalam hal ini, pemerintah memegang kendali atas bagaimana sumber daya budaya dan ekonomi dimanfaatkan dan didistribusikan di wilayah mereka.
Sementara itu, dukungan untuk industri batik dan blangkon juga dapat dipandang sebagai strategi politik untuk memperkuat basis politik pemerintah daerah dengan mendapatkan dukungan dari komunitas yang terlibat.
Aspek kebudayaan dari kebijakan ini menyoroti pentingnya budaya dalam membangun identitas dan kebanggaan lokal. Batik dan blangkon bukan hanya pakaian, tetapi juga simbol dari warisan budaya yang kaya akan nilai dan sejarah. Dengan mewajibkan ASN untuk memakainya, Pemkab Sumenep tidak hanya melestarikan budaya mereka, tetapi juga memperkuat solidaritas dan identitas komunitas.
Di balik kebijakan ini, terdapat dinamika yang lebih dalam terkait ekonomi politik dan kekuasaan. Keputusan Pemkab Sumenep untuk mewajibkan penggunaan batik lokal bagi ASN bisa dilihat sebagai bentuk intervensi negara dalam perekonomian lokal. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan politik dapat digunakan untuk mengarahkan pola konsumsi masyarakat dan mempengaruhi pasar.
Namun, penggunaan kekuasaan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab yang besar untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan segelintir pihak. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjaga agar tujuan mulia dari kebijakan ini benar-benar tercapai.
Fakta bahwa koperasi yang mengelola hasil produksi batik motif Beddei hanya mematok harga Rp135.000 per potong, sementara batik tersebut dijual kepada ASN dengan harga Rp190.000 menunjukkan adanya disparitas yang signifikan. Lebih lanjut, biaya produksi batik motif Beddei per potong kain mencapai Rp118.750, yang menunjukkan margin keuntungan yang tidak seimbang antara pengrajin dan pihak yang menjual batik kepada ASN.
Hal ini menciptakan paradoks ekonomi di mana meskipun tujuan kebijakan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pengrajin lokal, kenyataannya, mereka masih berjuang untuk mendapatkan penghasilan yang adil dari hasil kerja keras mereka. Di sinilah peran kekuasaan dan dinamika ekonomi politik memainkan peran penting.
Pertama, terdapat isu kekuasaan dalam struktur pasar lokal. Faktor-faktor seperti dominasi oleh oknum pengusaha batik ternama yang dapat mempengaruhi penetapan harga batik, dan keterbatasan akses para pengrajin ke pasar yang lebih luas, dapat menghasilkan ketidakadilan dalam distribusi keuntungan ekonomi.
Kedua, terdapat pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen program. Bagaimana alokasi dana dari program ini, apakah ada kemungkinan adanya penyalahgunaan atau kebijakan yang tidak efisien, serta bagaimana proses pengambilan keputusan terkait harga jual batik kepada ASN, semuanya merupakan pertanyaan yang perlu dijawab.
Fenomena di mana ASN dibebani biaya untuk seragam batik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah memunculkan pertanyaan kritis tentang tujuan sebenarnya dari kebijakan ini. Jika kebijakan ini seharusnya mendukung ekonomi lokal, mengapa para ASN harus membayar lebih daripada nilai yang seharusnya diterima oleh para pengrajin?
Jika kebijakan ini seharusnya menghargai dan melestarikan budaya lokal, mengapa ada selisih harga yang signifikan antara harga yang dibayar oleh ASN dan harga yang diterima oleh para pengrajin? Terdapat pertanyaan apakah kebijakan ini lebih memihak pada kepentingan kapitalis atau bisnis besar yang mungkin mendapatkan keuntungan besar dari harga jual yang tinggi kepada ASN, sementara pengrajin dan ASN justru menjadi korban dari praktik eksploitasi yang tersembunyi.
Perlu dipertimbangkan juga bahwa kebijakan ini mungkin hanya memberdayakan segelintir pihak tertentu, sementara ASN dan pengrajin lokal hanya menjadi alat untuk memperkuat dominasi mereka. Dalam hal ini, kebijakan ini bukanlah instrumen untuk pemberdayaan, tetapi lebih merupakan bentuk eksploitasi dan penindasan yang tersembunyi di balik topeng kebijakan yang diduga pro-rakyat.
Kebijakan Pemkab Sumenep yang mewajibkan ASN menggunakan batik lokal adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memiliki potensi besar untuk mendukung perekonomian lokal, melestarikan budaya, dan meningkatkan kebanggaan daerah. Namun di sisi lain, tanpa pengawasan yang ketat dan mekanisme yang adil, kebijakan ini berisiko memperparah ketidakadilan ekonomi dan menjadi alat kapitalisme terselubung.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah yang lebih komprehensif dan inklusif. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keadilan ekonomi bagi para pengrajin, misalnya dengan menetapkan harga jual yang adil dan memastikan transparansi dalam manajemen program.
Selain itu, perlu adanya upaya untuk memperkuat akses pasar bagi para pengrajin, baik melalui pelatihan keterampilan dan peningkatan kapasitas, maupun melalui dukungan dalam pemasaran dan promosi produk lokal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News