Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan telah disahkan menjadi Undang-Undang pada Selasa, 4 Juni 2024 lalu. RUU tersebut disahkan pada saat Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, di Ruang Sidang Paripurna DPR, Jakarta.
Salah satu bahasan yang disoroti dalam Undang-Undang ini adalah mengenai jumlah hari cuti bagi ibu hamil. Sebelum adanya UU KIA, jumlah hari cuti yang diberikan kepada pegawai wanita maksimal 3 bulan. Namun, setelah UU KIA ini disahkan, para pegawai wanita mendapatkan tambahan batas cuti kerja hingga 6 bulan.
Dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (3) UU KIA, batas cuti 6 bulan ini diberikan pada 3 bulan pertama dan 3 bulan kedua pasca-melahirkan dengan kondisi tertentu yang dinyatakan keterangannya oleh dokter yang bersangkutan. Lebih lanjut, kondisi khusus yang dimaksud dijelaskan di Pasal 4 ayat (5), di antaranya:
- Ibu mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan atau komplikasi pasca-persalinan atau keguguran
- Anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan atau komplikasi.
Jika hadirnya UU KIA justru membuat khawatir nasib para pekerja perempuan yang cuti melahirkan tidak digaji, diatur juga kepastian gaji yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada mereka.
Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU KIA tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap mendapatkan gaji semasa cuti tersebut. Pada tiga bulan pertama ditambah satu bulan selanjutnya, gaji diberikan secara penuh. Sementara, bulan kelima dan keenam, gaji diberikan sebesar 75%-nya.
Peraturan ini dinilai memberikan warna baru bagi kelangsungan hidup para pegawai wanita. Bagaimana tidak? Dengan disahkannya UU KIA ini, memberikan jaminan kesejahteraan bagi para ibu untuk masa pemulihan yang lebih lama dan mendapatkan waktu lebih lama untuk mengasihi anaknya meskipun dalam kondisi tertentu.
Paling tidak, ada perasaan lega dengan adanya regulasi hukum ini apabila ibu baru harus mengurus anaknya dengan kondisi darurat. Disampaikan juga oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka dalam Sidang Paripurna tersebut bahwa kebijakan ini ditindaklanjuti guna meningkatkan kesejahteraan, mengangkat harkat dan martabat, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati juga berkomentar bahwa hadirnya Undang-Undang tersebut merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam peningkatan kesejahteraan ibu dan anak. Sehingga, sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan dapat diwujudkan bersama.
Namun, jika ditarik ke waktu jangka panjang, apakah akan mudah peraturan ini direalisasikan? Menilik para perusahaan tentu berorientasi pada laba. Meskipun pemerintah pusat dan/atau daerah memberikan pendampingan secara hukum dan memastikan pemenuhan hak ibu terpenhi dengan baik apabila pegawai wanita dipecat dari pekerjaannya nanti, masih tidak ada jaminan bahwa perusahaan nantinya silih berganti akan membuat peraturan baru dengan membatasi ruang gerak wanita dalam berkarier.
Seperti membatasi perkara privat layaknya tidak boleh menikah dan/atau tidak boleh hamil pada masa kontrak kerja atau justru kemungkinan terburuk mengurangi kuota kerja bagi para wanita.
Permasalahan kedua, hak cuti suami juga masih belum ada perubahan yang berdampak bagi para ibu. Masa cuti yang diberikan dengan lama 2-3 hari tidaklah cukup. Peran laki-laki sebagai suami dan ayah juga sangat penting, apalagi pada fase seribu hari pertama kehidupan. Ibu baru melahirkan rentan sekali mengalami baby blues.
Dengan dukungan suami, baik secara fisik maupun batin, serta lingkungan keluarga yang aman dan supportif, akan membantu sang ibu lebih cepat pulih dan terjaga kesehatan mentalnya. Ketika ibu merasa bahagia dalam proses mengasihi, itulah yang disebut sejahtera.
Namun, agaknya sulit sekali untuk mencapai itu apabila para suami tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan peran sebagai suami sekaligus ayah dalam fase yang krusial ini.
Oleh karena problematika yang memungkinkan terjadi tersebut, diharapkan adanya regulasi hukum yang lebih menjamin dari stakeholder terkait. Bagaimana pun juga, UU KIA merupakan rugulasi hukum baru yang memberikan cahaya baru bagi kaum wanita yang semestinya tidak menjadi boomerang bagi mereka.
Sehingga, dibutuhkan kerja sama antara Pemerintah dan perusahaan agar bisa mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia, yaitu kesejahteran.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News