Desa Koto Mesjid atau dikenal dengan Kampung Patin telah berhasil memikat pecinta kuliner melalui hasil budidaya ikan patin yang berkualitas dengan daging yang lembut, tebal, dan lezat kaya akan gizi.
Julukan Kampung Patin dicanangkan karena desa ini memiliki total kurang lebih 150 kolam patin dengan hasil budidaya 15—20 ton ton per hari. Adapun Kampung Patin telah berhasil melakukan diversifikasi pangan, yakni seperti bakso, nugget, dan kerupuk kulit ikan patin.
Selain itu, Kampung Patin mendapatkan predikat di kancah pariwisata nasional sebagai desa wisata terbaik dari ajang penghargaan lomba desa dan kelurahan tingkat Provinsi Riau 2023. Prestasi tersebut telah membuktikan bahwa masyarakat Kampung Patin mampu untuk bersaing untuk terus berkembang baik dari potensi wisata juga dari budidaya ikan patinnya.
Oleh karena itu, Kampung Patin acap kali menjadi Desa Wisata Edukasi yang menawarkan kunjungan ke kolam-kolam ikan untuk melihat langsung proses budidaya. Tak hanya itu, edukasi juga diberikan ketika melihat proses olahan hasil budidaya patin, seperti pembuatan kerupuk kulit patin dan olahan bakso patin.
Suburnya budidaya patin di desa ini tentu juga menghadapi kendala yang dialami oleh pembudidaya ikan patin. Salah satunya adalah wabah penyakit yang menyerang ikan patin, seperti aeromonas. Wabah penyakit yang menyerang ikan cenderung menyebar dengan cepat dan sulit dihentikan.
Hal ini berkaitan dengan karakteristik dari habitat ikan, yaitu di air yang kontaminasi di satu titik akan menyebar keseluruh habitat. Persebaran bakteri dan virus dalam air menyebabkan perut, sirip bawah, dan bibir ikan menjadi kemerahan. hal tersebut dapat mengakibatkan ikan tidak memiliki nilai jual, bahkan dapat menyebabkan kematian hingga mencapai 80% dalam kurun waktu 1—2 minggu.
Para pembudidaya yang mendapati ikannya terkena penyakit sudah sewajarnya untuk mengobati dan mengarantina ikan atau kolam tersebut. Namun, pembudidaya di Desa Koto Mesjid belum sepenuhnya sadar akan pentingnya tindakan tersebut.
Sebagian besar pembudidaya ikan patin di desa ini tidak memberikan tindakan pengobatan pada ikan yang sakit. Upaya yang mereka lakukan saat ini hanya menurunkan kadar air kolam sebanyak satu jengkal dan mempuasakan ikan.
Menurut mereka, pemberian obat untuk ikan masih menjadi hal yang tabu dan memiliki risiko tinggi. Pembudidaya tersebut mengkhawatirkan penggunaan obat untuk mengobati ikan akan membahayakan ikan, bukan untuk mengobati.
“Kalau ikan sudah terlihat sakit biasanya kami kuras air dan kami puasakan ikan. Tidak pakai obat, takut ikannya kenapa-napa.”
Padahal, wabah penyakit yang tidak diatasi akan menimbulkan kerugian besar bagi pembudidaya. Wabah penyakit yang menyebar tersebut akan mempengaruhi kondisi ikan, sehingga menurunkan nilai produksi.
Namun, terdapat salah satu pembudidaya ikan patin yang berani keluar dari zona nyaman, yakni Waternis. Ia memiliki 7 kolam patin yang selalu ia jaga dengan metode sedikit berbeda dengan pembudidaya lainnya.
Waternis memasang pola pikir bahwa ketika kita memiliki budidaya ikan, maka rawatlah ikan selayaknya peliharaan lainnya. Kita harus memahami sifat-sifat makhluk yang kita pelihara. Maka dari itu, beliau memiliki prinsip dalam memelihara ikan-ikannya, yaitu menjaga kualitas kolam agar kualitas air ikut terjaga, sehingga kualitas hidup ikan akan lebih baik.
Probiotik menjadi bakteri yang digunakan oleh Waternis untuk menjaga kualitas air dalam kolam. Akan tetapi, walau prinsip telah dijalankan, faktor eksternal seperti perubahan cuaca tak menutup kemungkinan wabah penyakit menghampiri perikanan patin miliknya.
Kemarau yang berkepanjangan akan menimbulkan ikan patin yang sakit hingga kematian pada ikan patin. Apabila sudah ada 10—15 ekor patin yang mati, Waternis akan segera memberi obat dan makan di pagi hari, lalu ikan akan dipuasakan saat sore hari. Proses pemberian obat antibiotik dilakukan selama 3—5 hari.
Banyak pertimbangan dari pembudidaya ikan lainnya ketika menggunakan antibiotik pada ikan. Namun, menurut Waternis, asalkan dosis diberikan sesuai umurnya, maka ikan akan baik-baik saja. Metode ini telah dijalankan olehnya selama 3 tahun. Ia mengetahui metode tersebut dari transfer wawasan temannya yang bekerja di pabrik.
Hasil dari metode yang sudah dilakukan 3 tahun tersebut memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan ikan milik Waternis. Ketika ikan sakit, pemberian obat selama 3—5 hari dapat menyembuhkan mereka, mengurangi frekuensi penyakit, dan menghindari kematian massal. Sehingga, dalam satu kolam, hasil panen bisa mencapai 10—12 ton dalam dua bulan yang merupakan peningkatan sebesar 60% dari hasil panen sebelum menggunakan metode ini.
Metode budidaya ikan patin yang menggunakan obat-obatan terbukti lebih efektif dibandingkan yang tidak, dengan penurunan tingkat kematian dan peningkatan produksi secara signifikan.
Upaya yang dilakukan Waternis menjadi tolak ukur yang bagus untuk menyukseskan budidaya patin di Koto Mesjid atau Kampung Patin. Berani dan memahami sifat-sifat makhluk hidup yang kita pelihara akan berbuah hasil yang baik.
Dengan menjaga kualitas kolam hingga ikan itu sendiri, akan meningkatkan jumlah produksi dan nilai jual patin. Pastinya dari hal tersebut berpengaruh positif pada kesejahteraan di Kampung Patin.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News