Sebuah studi terbaru dari Australian National University (ANU) mengungkapkan bukti kehadiran manusia di Indonesia bagian tenggara sekitar 42.000 tahun yang lalu. Penemuan fosil di Kepulauan Tanimbar memberikan wawasan baru tentang jalur migrasi awal manusia di kepulauan tersebut, khususnya di wilayah timur. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Quaternary Science Reviews.
Dalam studi tersebut, Hendri Kaharudin, penulis utama dan kandidat Ph.D. di ANU, menyoroti pentingnya situs penemuan di Elivavan, Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Tanimbar, yang terletak di ujung timur Wallacea bagian selatan, memiliki posisi geografis yang unik. Meskipun dekat dengan landasan benua Sahul, yang mencakup Australia dan Papua Nugini, pulau-pulau ini telah terisolasi oleh lautan dalam dalam waktu yang sangat lama, bahkan sebelum manusia pertama kali menginjakkan kaki di Wallacea. Isolasi ini menjadikan Tanimbar sebagai laboratorium alam yang menarik untuk mempelajari proses evolusi dan penyebaran spesies, termasuk manusia, di wilayah tersebut.
Meski penting secara strategis untuk memahami migrasi awal manusia dari Asia Tenggara ke Australasia, Kepulauan Tanimbar relatif kurang diteliti dibandingkan pulau-pulau tetangga seperti Halmahera atau Timor.
Pertanyaan tentang bagaimana nenek moyang kita berhasil mencapai pulau-pulau terpencil seperti Tanimbar, yang melibatkan pelayaran jarak jauh dan teknologi maritim canggih pada masa itu, tetap menjadi salah satu misteri paling menarik dalam studi migrasi manusia prasejarah. Sejak pertengahan abad ke-20, para ahli telah mengusulkan dua jalur migrasi utama: melalui utara, melalui Sulawesi, atau melalui selatan, melalui Timor dan Tanimbar.
Penemuan fosil manusia di Elivavan, Kepulauan Tanimbar, telah mengungkap beberapa bukti tertua dari migrasi manusia melalui jalur selatan ke Australasia. Temuan ini tidak hanya mengungkap sejarah migrasi manusia yang lebih kompleks, tetapi juga menunjukkan teknologi maritim canggih yang dimiliki manusia purba sekitar 42.000 tahun yang lalu.
Mereka melakukan pelayaran jarak jauh untuk mencapai pulau-pulau ini, menempuh jarak lebih dari 100 kilometer. Bukti arkeologis, seperti tembikar dan sisa makanan laut, menunjukkan bahwa Elivavan adalah pusat kegiatan maritim yang signifikan.
Ini mendukung pandangan bahwa kolonisasi wilayah seperti Sahul bukanlah kejadian satu kali, tetapi proses bertahap yang melibatkan beberapa gelombang migrasi. Dengan penelitian lebih lanjut di area yang kurang dieksplorasi, diharapkan lebih banyak rahasia tentang kehidupan dan perjalanan manusia purba akan terungkap.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News