eksplorasi warisan sejarah melihat pesona reruntuhan candi di balik keindahan alam kawasan pegunungan muria - News | Good News From Indonesia 2024

Eksplorasi Warisan Sejarah, Pesona Reruntuhan Candi di Kawasan Pegunungan Muria

Eksplorasi Warisan Sejarah, Pesona Reruntuhan Candi di Kawasan Pegunungan Muria
images info

Eksplorasi Warisan Sejarah, Pesona Reruntuhan Candi di Kawasan Pegunungan Muria


Pegunungan Muria tak hanya menyimpan pesona keindahan alam yang begitu menakjubkan. Namun, juga menyimpan peninggalan sejarah tersembunyi berupa reruntuhan bangunan kuno yang tersusun rapi membentuk sebuah piramid di atas permukaan tanah.

Reruntuhan bangunan tersebut merupakan candi-candi yang letaknya berdekatan dan dinamakan sebagai Candi Aso, Candi Bubrah, dan Candi Angin. Ketiga candi tersebut memiliki kaitan satu sama lain dan termasuk ke dalam satu kawasan situs yang telah dijadikan sebagai kawasan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah. 

Candi yang letaknya di Dukuh Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Japara, ini diduga merupakan peninggalan sejarah yang dibangun sejak sebelum zaman kerajaan Majapahit berkuasa di kawasan ini.

Juru kunci Candi Angin, Ahmad Junaedi menuturkan bahwa hingga sekarang, belum diketahui pasti sejarah di balik keberadaan Candi Angin di kawasan utara pegunungan Muria ini. Namun, berdasarkan dari prasasti yang telah ditemukan, menunjukkan bahwa keberadaan candi ini telah ada sejak pada zaman abad ke-7.

Pada masanya, keberadaan candi ini bukan difungsikan sebagai tempat tinggal, tetapi dijadikan sebagai tempat beribadah oleh masyarakat. Hingga saat ini pun, candi tersebut masih digunakan sebagai tempat untuk beribadah serta melakukan ritual bagi masyarakat lokal desa maupun luar desa. Bahkan, hingga masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah luar Kabupaten Jepara.

Ritual rutin yang dilaksanakan di Candi Angin ini di antaranya adalah sedekah bumi yang diadakan setiap Jumat Wage pada bulan Apit di setiap tahunnya. Lalu, pada hari- hari besar seperti tahun baru dalam kalender Jawa atau Suro, mendekati Hari Raya Idulfitri dan Iduladha. Pada waktu-waktu tertentu tersebut, masyarakat juga mengadakan “kondangan” atau “kenduren” di kawasan ini disertai dengan doa bersama.

Sesaji yang dinyalakan untuk berdoa

Sewaktu melakukan survei lokasi, tim kami cukup banyak menemukan pendaki di sepanjang jalur yang memang asalnya bukan dari masyarakat lokal desa. Pengunjung yang mendaki hingga ke Candi Angin ini memiliki tujuan bermacam- macam. Ada yang hanya sekadar ingin melihat keindahan panorama yang disajikan di sekitar, ada juga yang memang bertujuan untuk berdoa.

Junaedi menambahkan bahwa ia harus siap sewaktu-waktu jika memang terdapat pengunjung yang memintanya untuk mengantarkan mereka sampai ke puncak. Bahkan, hingga jam 12 malam pun terkadang masih ada saja pengunjung yang menemui beliau di kediamannya kemudian meminta untuk diantarkan menuju puncak.

Anggota Tim KKN-PPM UGM Keling saat berada di Puncak Candi Angin

Udara segar dan kicauan burung menemani kami sepanjang perjalanan. Lamanya pendakian dan lelahnya kaki kami terbayarkan ketika kami sudah sampai menuju puncak.

Hamparan pegunungan hijau yang mengitari kawasan puncak Candi Angin serta birunya langit yang begitu menyegarkan mata. Perjalanan mendaki dari titik tempat parkir motor memakan waktu kurang lebih 2,5 jam dengan melewati tracking jalan menanjak, bebatuan, jurang serta pohon- pohon rimbun di samping kanan dan kirinya.

Selama di perjalanan, terdapat 1 pos peristirahatan sebelum menuju puncak yang letaknya setelah keberadaan Candi Aso. Setelah Candi Aso, reruntuhan batu yang ditemukan kedua dalam perjalanan kami adalah Candi Bubrah.

Kemudian untuk sampai di Candi Angin, butuh perjalanan menanjak lagi kurang lebih selama 20 menit hingga sampai di sebuah pendopo bertingkat yang letaknya persis di bawah Candi Angin.

Tak hanya berujung di kawasan Candi Angin, pengunjung juga masih bisa berjalan sampai ke puncak Candi Angin yang jaraknya sekitar 10 menit dari keberadaan candi.

Watu Duplak atau Sumur Batu yang merupakan salah satu icon dari Dukuh Duplak

Dukuh Duplak sendiri memiliki begitu banyak situs yang merupakan sebuah potensi lokal desa yang perlu untuk dirawat serta dipelihara dengan baik. Tak hanya candi saja yang kami kunjungi. Namun, terdapat pula sebuah sumur batu kuno berbentuk bulat yang pada zaman dahulu dijadikan sebagai tempat persinggahan bagi orang-orang sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Candi Angin.

Sumur batu ini oleh masyarakat setempat dinamakan sebagai Watu Duplak. Di sekitar kompleks Watu Duplak, juga terdapat sebuah petilasan yang dinamakan sebagai Petilasan “Mbah Dono”. Selain itu terdapat pula petilasan di dekatnya yang dinamakan sebagai Petilasan “Mbah Robyong”.

Tim KKN-PPM UGM Keling Berdering subunit Desa Tempur memiliki fokus program kerja wisata dan budaya yakni pemetaan dan publikasi warisan budaya benda lokal yang ada di

Desa ini dengan tujuan untuk meningkatkan daya tarik keberadaan dari lokasi-lokasi bersejarah yang ada. Nantinya, diharapkan masyarakat semakin mengenal dan mengerti bahwa terdapat banyak objek wisata budaya menarik dan mengandung banyak akan nilai sejarah di Kabupaten Jepara terkhusus di wilayah Kecamatan Keling.

Harapannya, pihak pemerintah setempat juga dapat lebih memperhatikan keberadaan masing-masing situs dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan. Selain itu juga meningkatkan publikasi demi citra baik pariwisata lokal yang ada di Kecamatan Keling.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.