Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu destinasi wisata alam paling populer di Indonesia. Keindahan alam yang memikat dan kehadiran hewan purba seperti komodo membuat kawasan ini menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Namun, popularitas ini juga membawa tantangan tersendiri, khususnya terkait pelestarian ekosistem TNK. Oleh karena itu, sistem buka-tutup di Taman Nasional Komodo menjadi langkah penting dalam menjaga kelestarian kawasan ini. Rencananya, hal ini akan mulai diterapkan di tahun 2025.
Mengapa Taman Nasional Komodo perlu istirahat?
Dengan meningkatnya minat wisatawan, tekanan terhadap ekosistem TNK juga semakin besar. Menurut data dari Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), dalam periode Januari hingga Juni 2024, TNK dikunjungi oleh 129.621 wisatawan, yang terdiri dari 79.815 wisatawan mancanegara dan 49.806 wisatawan domestik.
Puncak kunjungan terjadi pada Mei 2024 dengan total 33.352 orang yang datang untuk menikmati keindahan dan keunikan TNK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 27.529 wisatawan berkunjung ke Pulau Komodo untuk menyaksikan langsung habitat komodo.
Meskipun angka kunjungan ini menunjukkan potensi pariwisata yang tinggi, dampaknya terhadap ekosistem TNK tidak bisa diabaikan. Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, menyatakan bahwa sistem buka-tutup kunjungan wisatawan akan diterapkan pada tahun 2025 sebagai bagian dari upaya pemulihan ekosistem.
"Secara prinsip kawasan taman nasional butuh istirahat, butuh recovery, demikian juga sarana prasarana butuh jeda untuk dibersihkan, dirawat, dipelihara, dan untuk daratan paling tidak mengurangi potensi kerusakan," ujar Hendrikus.
Hendrikus juga mengungkapkan bahwa tekanan terhadap ekosistem perairan TNK semakin besar, terutama karena aktivitas wisata yang tinggi. Setiap hari, sekitar 100-200 kapal wisata berlayar masuk ke kawasan TNK, dan banyak di antaranya tidak membuang jangkar pada lokasi yang telah ditentukan.
Hal ini mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang yang merupakan bagian penting dari ekosistem bawah laut. Selain itu, kegiatan penyelaman dan snorkeling yang intensif, serta pembuangan limbah dan sampah ke laut oleh wisatawan dan kapal, turut menambah beban terhadap ekosistem perairan TNK.
Dengan situasi ini, penerapan sistem buka-tutup menjadi sangat penting untuk memberikan waktu bagi ekosistem TNK untuk pulih. Sistem buka-tutup yang diusulkan melibatkan penutupan kawasan TNK selama satu hari dalam sepekan. Penutupan sementara ini memungkinkan ekosistem darat dan laut TNK untuk "beristirahat" dari tekanan wisatawan, sehingga flora dan fauna di kawasan ini dapat kembali tumbuh dengan baik.
Sistem buka-tutup
Sistem buka-tutup di Taman Nasional Komodo akan mulai diterapkan pada tahun 2025, dengan penutupan sementara yang dilakukan satu hari dalam sepekan.
Langkah ini diambil berdasarkan kajian yang melibatkan Pusat Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) dan didukung oleh Badan Pengelola Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kajian ini menghasilkan rekomendasi mengenai pentingnya penutupan sementara sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem TNK.
Penutupan ini diharapkan dapat memberikan waktu bagi TNK untuk melakukan pemulihan (recovery) dari dampak negatif aktivitas wisata. Selama penutupan, pengelola TNK akan melakukan pembersihan, perawatan, dan pemeliharaan sarana prasarana, serta melakukan upaya untuk mengurangi potensi kerusakan di daratan maupun perairan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, turut mendukung penerapan sistem buka-tutup ini. Menurutnya, kebijakan ini tidak akan berdampak negatif pada jumlah kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Justru, penutupan sementara ini memberikan peluang bagi desa-desa wisata di sekitar TNK untuk menjadi destinasi alternatif bagi para wisatawan.
“Target kita memang memastikan daya tampung dari Taman Nasional Komodo yang sebesar 250 ribu ini tidak terlampaui,” ujar Sandiaga.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga dan mengelola desa wisata dengan baik agar tetap menarik dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan wisatawan yang berkunjung.
Dukungan terhadap sistem buka-tutup juga datang dari Pelaksana Tugas Direktur Utama BPOLBF, Frans Teguh. Ia menyebutkan, penutupan sementara ini adalah hal umum yang dilakukan oleh pengelola kawasan taman nasional di berbagai negara sebagai bagian dari proses pemulihan dan regenerasi kawasan konservasi.
"Kawasan konservasi perlu tetap menjaga, merawat sumber daya yang dimiliki agar tidak rusak atau punah. Proses pemulihan dan regenerasi tetap diperlukan agar ekosistem lingkungan tetap terjaga dengan keseimbangan alami," kata Frans.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News