kampung budaya ini menyimpan banyak sejarah begini ceritanya - News | Good News From Indonesia 2024

Kampung Budaya Ini Menyimpan Banyak Sejarah, Begini Ceritanya!

Kampung Budaya Ini Menyimpan Banyak Sejarah, Begini Ceritanya!
images info

Kampung Budaya Ini Menyimpan Banyak Sejarah, Begini Ceritanya!


Percikan air hujan meredakan asap rokok sosok Ki Demang yang lengkap mengenakan blangkon. Tangan kanannya memegang ponsel selagi menunjukkan dokumentasi kegiatan rutin, satunya menggenggam Jawa Pos edisi Sabtu, 25 Februari 2023.

Warga Kampung Polowijen baru saja bersih-bersih selepas Komunitas Tembang Macapat Batu memberikan pelatihan Dhandanggula kepada anak-anak di kampung tersebut. “Di sekolah diajarin Dhandanggula, nggak?”

Tidak jarang penugasan jurnalistik membutuhkan usaha ke luar kota. Bermodalkan tiket Rp20.000,00 melalui Stasiun Waru, penulis beserta rekan kuliah berangkat ke Malang untuk mencari data penugasan Penulisan Jurnalistik Lanjutan.

Langit saat itu jelas menunjukkan biru dengan semburat awan bak lukisan akrilik, walau sedikit mendung. Sambil mencari-cari tempat wisata Malang melalui Google Search, penulis malah tertidur setelah perhentian kesekian.

Benar saja– kalau mencari tempat wisata di Malang melalui Google, headline yang bermunculan bakal dipenuhi dengan istilah ‘kampung wisata’. Dihiasi oleh unsur sejarah Kerajaan Kanjuruhan dan bekas jejak tari Topeng, kota dengan jumlah total 20 kampung tematik ini senantiasa menghidupi istilah jasmerah (jangan sekali-sekali melupakan sejarah).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah, tentunya pernyataan tersebut telah terdengar berkali-kali. Tak jarang, ajakan ‘tuk menghargai sejarah dipertanyakan, sebab seharusnya pembangunan serta pengembangan nasional berorientasi pada masa depan. Namun, bagi Kota Malang, sejarah malah menjadi ‘guru’ yang tak ternilai.

Secara visual, terutama berdasarkan hasil pencarian Google, memang kedua kampung wisata tersebut menarik secara visual atau kasat mata. Sementara, untuk pilihan penulis sendiri – Polowijen, yang berupa nama tanaman – terletak di gang kecil, daerah utara Malang. Tidak banyak yang tahu, dan tentu bukan tempat wisata yang wajar. 

Meski membutuhkan tiga puluh menit dari Alun-Alun untuk mencapainya, tetap saja semburat langit maghrib serta nuansa pedesaan yang jauh berbeda dari kota tidak membuat kondisi hati jelek. 

Gocar terhenti di tengah jalan.

“Di mana ini Pak?” tanyaku, memastikan kembali Google Maps agar tidak masuk berita orang hilang. “Polowijen, benar kan?”

Sang pengendara hanya mengangguk.

Apalagi, mengingat lokasi kampung yang terletak di dekat situs sejarah Ken Dedes. Di mana ada juga sumur yang dalam, menembus hingga Sumur Windu. Sumur itu adalah tempat Ndedes – Putri Ken Dedes – melarikan diri. Tak lupa dengan artikel-artikel daring yang menuliskan bahwa itu kawasan angker. Ditambah lagi dengan kabut dan hujan. Seru, bukan?

Nggak. “Apa benar ini Polowijen ya Pak? Maklum, tidak pernah ke sini,” penulis terkekeh sambil mengeluarkan Rp50.000,00 selaku ongkos perjalanan. 

Akhirnya ia menjawab. “Iya-iya, Polowijen. Tinggal masuk gang.”

Kami saling bertatapan, merasa sedikit aneh. Singkat cerita, kami lantas turun dari mobil dan mulai masuk ke gerbang besar bertuliskan ‘Kampung Budaya Polowijen.’

Selepas masuk gerbang, terpampang sekumpulan topeng karya warga Polowijen.

Sebelum berubah menjadi panggilannya sekarang, kampung itu bermula dari nama Panawijen yang berarti tumbuhan wijen. Alasannya cukup sederhana; banyak wijen yang tumbuh menyusuri jalanan beraspal itu.

Sejak tahun 2015, sosok dengan sebutan Ki Demang setia mengembangkan pemukiman biasa ini menjadi kampung budaya. Bedanya, kampung budaya memiliki kegiatan rutin tersendiri untuk mengembangkan beberapa tradisi lama. Contoh, pelatihan tari Topeng dan pembuatan tempat makan dari daun pisang.

Lalu, cerita kembali bermula dari paragraf pertama keseluruhan karangan ini. Lucunya lagi, Ki Demang tidak memperkenalkan diri dengan biasa (nama, identitas, dan lain-lain). Cara berkenalannya?

Ada tiga; pertama, persilakan tamu untuk duduk; kedua, berikan Aqua gelas gratis untuk para tamu; ketiga ini yang paling asik. “Apa boleh meminjam powerbank-mu agar penulis bisa bercerita?”

Ya, Ki Demang lalu menjelaskan Kampung Polowijen dari akar hingga cabangnya selagi kami terdiam. “Sejumlah bangunan bersejarah yang masih dipertahankan hingga saat ini. Salah satunya adalah Masjid Jami’ Al Falah yang merupakan masjid tertua di kampung ini,” jelasnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah sawah, entah ke mana.

Sebab, saat itu benar-benar tertutup oleh kabut. “Masjid ini didirikan pada abad ke-17 oleh seorang ulama bernama Kyai Abu Nawas. Selain itu, terdapat juga beberapa rumah adat Jawa yang masih dipertahankan dengan baik di kampung ini,” tambahnya.

Kampung Budaya Polowijen Malang juga memiliki tradisi dan kesenian yang unik. Salah satunya adalah tarian Reog Ponorogo yang menjadi salah satu ikon budaya Jawa Timur.

Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari yang mengenakan kostum dan topeng yang sangat khas. Selain itu, kampung ini juga memiliki kesenian lain seperti wayang kulit, gamelan, dan seni ukir kayu.

Untuk melestarikan budaya dan kesenian yang ada di kampung ini, pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya seperti mengadakan acara seni dan budaya, mengajarkan kesenian kepada anak-anak, serta memberikan pelatihan kepada para seniman dan pengrajin lokal. Tak terkecuali tembang Jawa alias Dhandhanggula.

Dhandhanggula adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata yaitu "dhandhang" yang berarti tangan, dan "gula" yang berarti gula atau gula kelapa. Secara harfiah, dhandhanggula dapat diartikan sebagai tangan yang berisi gula atau gula di dalam tangan. Namun, dalam budaya Jawa, dhandhanggula memiliki makna yang lebih dalam dan memiliki filosofi tersendiri.

Dalam budaya Jawa, dhandhanggula sering digunakan sebagai simbol kebijaksanaan dan kesederhanaan. Hal ini berkaitan dengan cara orang Jawa memandang gula. Gula dianggap sebagai benda yang manis. Namun, juga dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.

Polowijen Malang juga aktif dalam mengadakan kegiatan-kegiatan seperti pagelaran seni dan budaya serta pameran seni. Selain itu, kampung ini juga menjadi tujuan wisata bagi para pecinta budaya dan sejarah. Wisatawan bisa belajar tentang sejarah dan budaya Jawa melalui bangunan-bangunan bersejarah dan kesenian yang ada di kampung ini.

Namun, meski Kampung Budaya Polowijen Malang memiliki potensi wisata yang cukup besar, kampung ini masih perlu perhatian lebih dari pemerintah setempat untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas yang ada.

Diharapkan, upaya melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa di kampung ini dapat terus dilakukan agar Kampung Budaya Polowijen Malang dapat menjadi tujuan wisata budaya yang lebih menarik dan berkualitas. Ki Demang serta komunitas tembang Macapat itu juga berpesan, agar masyarakat kota besar turut memperhatikan nilai-nilai Kejawen (kerendahhatian, watak, akal budi) dan mempraktekannya sehari-hari. “Bahasa Jawa juga, eman kalau anak muda swasta seperti kalian tidak mengerti Jawa.” 

Kampung Budaya Polowijen Malang adalah sebuah kampung budaya yang kaya akan sejarah dan budaya Jawa. Meski demikian, kampung ini masih perlu perhatian lebih dari pemerintah setempat untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas, agar Kampung Budaya Polowijen Malang dapat menjadi tujuan wisata budaya yang lebih menarik dan berkualitas.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SY
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.