Dalam sejarah kepercayaan masyarakat Indonesia, terutama pada masa ketika animisme dan dinamisme masih menjadi pondasi utama keyakinan, tradisi-tradisi yang terkait dengan penghormatan terhadap alam dan leluhur memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun banyak dari tradisi ini telah berbaur dengan praktik-praktik agama yang lebih modern, beberapa di antaranya masih dipertahankan dan dipraktikkan hingga saat ini, salah satunya adalah konsep woma di kalangan masyarakat Kei di Maluku Tenggara.
Konsep woma bukan hanya sekadar simbol, melainkan sebuah institusi sosial dan adat yang memiliki fungsi sentral dalam kehidupan masyarakat Ohoi (desa/dusun). Istilah "woma" berasal dari kombinasi dua kata dalam bahasa setempat, yaitu "wo’o" yang berarti 'panggil', dan "ma" yang berarti 'datang'.
Oleh karena itu, woma dapat dimaknai sebagai proses pemanggilan dan penerimaan individu atau kelompok untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial, termasuk pendelegasian tanggung jawab dalam konteks kehidupan bersama di Ohoi.
Woma berfungsi sebagai pusat adat dan pusat sosial di setiap desa di Maluku Tenggara. Sebagai pusat adat, woma tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya masyarakat. Namun, juga berperan sebagai representasi leluhur yang dipercaya melindungi desa dan memastikan kesejahteraan serta ketentraman komunitas.
Setiap warga desa menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan woma, melihatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas kultural mereka. Sebelum agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk ke wilayah ini, terdapat tradisi persembahan kepada leluhur yang dilakukan oleh para tetua setiap kali mereka membuka lahan baru.
Persembahan ini merupakan bentuk komunikasi spiritual dengan alam dan leluhur, bertujuan untuk mendapatkan restu dan perlindungan dari roh-roh yang diyakini menjaga desa.
Woma tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan adat, tetapi juga sebagai pusat spiritualitas masyarakat. Proses ritual yang dilakukan di woma mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari peristiwa kelahiran, pernikahan, hingga kematian.
Ritual-ritual ini dijalankan dengan mengikuti aturan-aturan adat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, sebelum seseorang menikah atau ketika seseorang meninggal dunia, masyarakat akan melakukan ritual di woma untuk memohon izin dan restu dari leluhur.
Dalam wawancara dengan Ketua Dewan Adat Area Wain, Nasser, disebutkan bahwa ritual-ritual penting seperti penyambutan tamu baru atau perpisahan juga diadakan di woma. Ini menegaskan peran sentral woma dalam menjaga harmoni sosial dan spiritual di komunitas.
Pentingnya woma dalam kehidupan masyarakat juga tercermin dari kesakralannya. Akses ke woma sangat dibatasi dan hanya diperbolehkan dalam konteks upacara adat yang sah. Seperti yang disampaikan oleh Papa Heronimus, seorang tetua adat, "Hanya mereka yang terlibat dalam ritual adat yang diizinkan masuk ke woma, dan anak-anak dilarang bermain di sekitar Woma karena dianggap mengganggu kesucian tempat tersebut."
Ritual adat yang dilakukan di woma melibatkan berbagai elemen yang harus dipatuhi dengan ketat. Pada masa lalu, persembahan yang disajikan kepada leluhur terdiri dari makanan pokok seperti buah-buahan dan nasi. Seiring berjalannya waktu, persembahan ini berkembang dan mencakup bahan-bahan seperti sirih, pinang, emas, dan tembakau.
Meskipun tidak ada aturan baku mengenai jumlah persembahan, penting bahwa jumlahnya harus ganjil, dan hal ini disesuaikan dengan durasi pelaksanaan adat. Setelah masuknya agama, persembahan mulai melibatkan gelang emas adat dan uang. Kemudian disumbangkan ke gereja sebagai bagian dari integrasi tradisi lama dengan praktik keagamaan baru.
Selain aspek spiritual dan adat, woma juga memiliki dimensi arsitektur yang khas. Bentuk dan desain woma bervariasi sesuai dengan tradisi dan identitas setiap Ohoi. Misalnya, woma di Ohoi Iso berbentuk kapal dengan seorang figur yang memegang tombak di atasnya.
Ini menggambarkan keahlian nenek moyang mereka dalam perang. Kapal, yang disebut "Belang" dalam bahasa Kei, melambangkan mobilitas dan kecepatan, mencerminkan tradisi leluhur Ohoi Iso yang sering membantu pihak lain dalam perang. Bukan untuk menyerang musuh mereka sendiri, tetapi untuk memperkuat aliansi.
Seperti yang dijelaskan oleh Ketua Adat Ohoi Isso, Heronimus, kapal ini digunakan dalam pertempuran karena kecepatannya, memungkinkan mereka berpindah antarpulau dengan cepat.
Di wilayah ISWADI, terdapat dua woma yang signifikan, yaitu Woma El Lael di Isso dan Woma Mae El Lael yang melayani area Wain Raja/Ohoitum, Wain Baru, dan Disuk. Woma ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat adat. Namun, juga menjadi simbol persatuan antara dua kekuatan besar, timur (El) dan barat (Mar kot), yang bersatu dalam menjaga keseimbangan dan harmoni di komunitas mereka.
Dengan demikian, woma bukan hanya sekadar bangunan atau tempat, melainkan sebuah institusi adat yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Kei. Melalui woma, masyarakat Kei mempertahankan identitas kultural mereka, sekaligus menjalin hubungan yang harmonis dengan alam, leluhur, dan sesama anggota komunitas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News