emansipasi dan kartini apa itu mengapa emansipasi lekat dengan kartini - News | Good News From Indonesia 2024

Emansipasi dan Kartini, Pahlawan Wanita Indonesia Pejuang Emansipasi Lewat Sastra

Emansipasi dan Kartini, Pahlawan Wanita Indonesia Pejuang Emansipasi Lewat Sastra
images info

Emansipasi dan Kartini, Pahlawan Wanita Indonesia Pejuang Emansipasi Lewat Sastra


Dikutip dari European Institute for Gender Equality, emansipasi wanita atau dalam bahasa Inggris disebut emancipation of women adalah suatu proses, strategi, dan berbagai usaha yang dijalankan perempuan dalam rangka membebaskan diri dari wewenang dan kendali laki-laki serta struktur kekuasaan tradisional.

Hal ini termasuk juga untuk menjamin hak yang sama bagi perempuan, menghampuskan diskriminasi gender dari hukum, institusi dan pola perilaku, serta menetapkan standar hukum yang akan mempromosikan kesetaraan perempuan secara penuh dengan laki-laki.

Dari uraian panjang pengertian mengenai emansipasi wanita tersebut, dapat dilihat bagaimana makna emansipasi bersinggungan erat dengan tujuan emansipasi wanita sendiri, yaitu memperjuangkan kebebasan perempuan dari pengaruh kekuasaan yang timpang dan diskriminasi gender di segala lingkup bidang dan lapisan. Dengan demikian, wanita dapat meraih hak yang sama, serta memperjuangkan standar hukum yang mampu menjamin kesetaraan perempuan.

Diskriminasi sendiri adalah sebuah bentuk pembedaan dalam bentuk apapun. Merujuk pada Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) diskriminasi terhadap perempuan atau diskriminasi gender adalah “setiap jenis pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin dengan efek atau tujuan melemahkan atau meniadakan pengakuan, kenikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya”.

Emansipasi wanita di mata Kartini sendiri adalah tentang kebebasan dan kemandirian. Terutama dalam hal pendidikan dan kehidupan pernikahan. Kebebasan untuk mendapatkan akses pendidikan di bangku formal bagi perempuan, seperti halnya yang didapatkan laki-laki. Selain itu, emansipasi perempuan juga tentang penolakan praktik poligami yang sejak dulu marak dilakukan (Mustikawati, 2015).

Mustikawati menyebut makna emansipasi sendiri dinegosiasikan seiring berjalannya waktu. Adat yang sudah berubah dan berbeda dari kehidupan Kartini di masa lalu, serta pemahaman orang-orang terkait emansipasi yang juga bergeser adalah alasan dari pergeseran makna itu. Kini emansipasi lebih mengacu pada perjuangan para perempuan demi memperoleh hak yang sama dengan laki-laki.

Diskusi sejenak: Menurut Kawan, seandainya Ibu Kita Kartini sebagai figur pahlawan wanita Indonesia penggerak emansipasi wanita bisa pergi ke masa depan dan melihat fakta jika perempuan di masa kini bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, kira-kira bagaimana ya, perasaan beliau?

Coba sampaikan pendapat Kawan di kolom komentar!

Kartini Memperjuangkan Emansipasi Wanita Lewat Sastra

Kartini adalah pahlawan wanita Indonesia yang berasal dari Jepara dan lahir pada tanggal 21 April 1879. Hari kelahiran perempuan dengan nama lengkap Raden Ajeng Kartini itu diperingati sebagai hari Kartini, dipakai untuk mengingat perjuangannya memperjuangkan emansipasi dengan memberikan pendidikan bagi perempuan Nusantara.

Ibu Kartini bernama Mas Ajeng Ngasirah, rakyat biasa putri dari guru agama di Desa Telukawur, Jepara bernama Kiai Haji Modirono sedang Ibunya bernama Nyai Hajjah Siti Aminah. Meski merupakan istri pertama, Mas Ajeng Ngasirah ibunda Kartini merupakan selir atau dalam bahasa Jawa disebut garwa ampil (Soeroto, 2011: 9-10). Nantinya kondisi ini juga yang memengaruhi Kartini dalam pemikirannya mengenai emansipasi.

Dalam buku Kartini Sebuah Biografi juga diceritakan, Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara. R.A Kartini adalah anak ke 5 dan memiliki 10 saudara dari dua ibu. Namun, bersama saudara yang bernama Rukmini dan Kardinah, Kartini dan kedua saudaranya dijuluki sebagai “Tiga Saudara” atau juga Het Klaverblad yang artinya daun semanggi.

Pada usia 24 tahun Kartini menikah dengan suaminya yang bernama R.A.A. Joyoadiningrat. Pahlawan wanita Indonesia pelopor pergerakan emansipasi di Nusantara ini meninggal pada tanggal 17 September 1904 (Dharmapertiwi.org).

Nilai emansipasi diceritakan Mustikawati (2015: 68) sudah ada di dalam jiwa Kartini, bahkan sebelum ia berkenalan dengan kata emansipasi sendiri. Faktor keadaan sosial budaya yang kala itu menempatkan posisi anak perempuan tidak setara dengan anak laki-laki. Selain itu, pengalamannya sebagai putri selir menjadi pemantik yang membuat semangat emansipasi bergelora dalam jiwa Kartini.

Sastra menjadi media yang dipilih pahlawan wanita pelopor emansipasi ini untuk menuangkan gagasannya mengenai emansipasi wanita—Kartini berjuang membawa terang untuk kehidupan gelap perempuan lewat sastra.

Kartini seringkali melewatkan makan dan begadang dengan ditemani lentera kecil serta meja pendek untuk menyerukan pergerakan untuk perempuan lewat aksara (Soeroto, 2011: 84).

Melalui kumpulan suratnya yang akhirnya dibuat buku dan dipublikasi, Kartini meninggalkan warisan berupa gagasan-gagasan mengenai emansipasi wanita yang telah bergaung sejak lama dalam dirinya (Anggraini, 2021: 36).

Tidak hanya itu, Kartini bahkan telah menciptakan tulisan antropologi mengenai adat pernikahan golongan Koja di Jepara kota kelahirannya sewaktu usianya masih 16 tahun. Meski menjalani hidup yang tidak terlalu lama, Kartini disebut Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Panggil Aku Kartini Saja sebagai penulis paling produktif di masa itu, antara tahun 1879-1910 (Mustikawati, 2015: 69).

Subandiyah dalam Anggraini (2021: 36) juga mengutarakan bahwa apa yang disebutnya sebagai dunia batin perempuan yang antara lain berupa potret diri, gagasan, sikap, dan emosi perempuan dapat diterjemahkan dengan baik dengan media sastra. Hal itu dapat terlihat dengan jelas terutama dalam konteks media novel.

Alasan Kartini mengambil sastra sebagai media perjuangannya dalam menegakkan kebebasan perempuan dari kungkungan budaya yang dipangku penduduk Jawa kala itu. Inilah keinginan Kartini untuk menyuarakan diri kepada penduduk Nusantara sekaligus menunjukkan pada Belanda bahwa orang-orang Nusantara sendiri mampu berbahasa Belanda dan menciptakan tulisan tentang pribumi. Menonjolkan nilai bahwa masyarakat Nusantara pun mampu. Selain itu dengan sastra sebagai media, Kartini memiliki keinginan untuk memperkenalkan Jawa (Mustikawati, 2015: 69).

Dari sini, mari kita berdiskusi.

baca juga


Apakah Ada Celah untuk menjadi Kartini Selanjutnya?

Belum lama ini, masyarakat Indonesia bersatu menaikkan konten dengan latar berwarna biru tua bertuliskan peringatan darurat. Sembari itu, masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, dosen, buruh, ibu-ibu, wibu, bahkan kpopers juga berpadu menaikkan tagar #KawalPutusanMK.

Peristiwa ini setidaknya bisa memberi sedikit refleksi bahwa di era media baru, masyarakat tidak hanya merupakan sekumpulan individu pasif. Namun, bisa berubah menjadi sekumpulan orang yang aktif menyuarakan diri memanfaatkan media sosial. Lebih jauh, masyarakat bisa berpartisipasi aktif menjadi jurnalis warga (citizen journalism).

Jika di masa lalu, Kartini berjuang melalui media tradisional berupa tulisan-tulisan sastra. Kita masyarakat modern, terutama kita perempuan, bisa berjuang setidaknya melalui suara yang kita publikasi di media sosial kita—menyuarakan tidak hanya tentang ketidaksetaraan, tapi juga segala keresahan sembari berharap kabar baik menanti di ujung perjalanan perjuangan kita.

Lalu Kawan sendiri, berminatkah menjadi Kartini selanjutnya?

Menurut Kawan, bagaimana cara untuk menjadi Kartini selanjutnya?

Yuk, diskusi di kolom komentar!

baca juga


 

Sumber:

Anggraini, T. R. (2024). Gagasan Emansipasi Wanita melalui Konsep Tokoh Kartini. Disastra: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia3(1), 35-44.

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Potret_kartini_8_1.jpg 

https://dharmapertiwi.org/tokoh/18/raden-adjeng-kartini.html

https://eige.europa.eu/publications-resources/thesaurus/terms/1239?language_content_entity=en#:~:text=Process%2C%20strategy%20and%20myriad%20efforts,and%20set%20legal%20standards%20that

https://beritahu.pages.dev/2024/04/25/raden-ajeng-kartini-pahlawan-nasional-pejuang-emansipasi-perempuan-indonesia

https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-elimination-all-forms-discrimination-against-women

Mustikawati, C. (2015). Pemahaman emansipasi wanita. Jurnal kajian komunikasi3(1), 65-70.

Soeroto, S. S. M. (2011). Kartini Sebuah Biografi (No. 6434). Balai Pustaka (Persero), PT.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AD
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.