Kebijakan anti perundungan sebenarnya sudah ada sejak lama, yakni seperti yang tertuang pada Permendikbud No 82 Tahun 2015 dan UU Perlindungan Anak No 35 Tahun 2014.
Pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di tahun 2021, terdapat 2.534 kasus kekerasan terhadap anak.
Untuk tahun 2022, KPAI menyatakan perundungan di sekolah dan cyberbullying meningkat dengan laporan kekerasan pada anak sebanyak 3.200 kasus. Artinya, sekitar 35—40% terkait perisakan di sekolah.
Menginjak tahun 2023, angkanya meningkat. KPAI mencatat ada 16.720 kasus perundungan di sekolah-sekolah Indonesia.
Melihat data di atas yang begitu mengkhawatirkan, jangan sampai perundungan dinormalisasi.
Perlindungan Perundungan yang Berdampak
Setiap kebijakan tujuannya untuk perlindungan para korban. Namun, masih sering terjadi korban disalahkan.
Hal ini disebabkan dari penguatan hukum pada kebijakan yang tidak tegas. Terlebih lagi, jika pelaku bully masih di bawah umur. Kemungkinan, ia tidak mendapatkan sanksi yang setimpal karena sistem rehabilitasi dibandingkan hukuman berat.
Pada akhirnya, dikhawatirkan ini akan dimanfaatkan oleh pelaku perisakan, karena hanya mendapatkan rehabilitasi dan tidak ada kurungan penjara.
Selanjutnya perlindungan yang tidak terjadi pada korban pem-bully-an, yaitu faktor orang berkepentingan.
Pengaruh orang berkepentingan akan menjadi kerugian bagi korban. Sebab, korban akan disalahkan dan pelaku mendapat perlindungan karena sudah diatur oleh orang berkepentingan.
Kebijakan yang ada perlu direvisi, terutama agar "baik usia di bawah umur dan usia lanjutan akan mendapat ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya."
Selanjutnya Kawan GNFI dapat mengetahui kebijakan dan pendekatan antiperundungan dari negara lain seperti apa, supaya bisa dipraktikkan di Indonesia.
Melihat Kebijakan Anti Perundungan dari Negara Lain
Di negara lain kebijakan dan peraturan mengenai perundungan diterapkan sebagai pendekatan. Di Negara Amerika Serikat ada "Safe Schools Improvement Act (SSIA)." Undang-undang ini sudah dilakukan oleh negara bagian.
SSIA belum di sahkan secara nasional, UU ini menjelaskan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari bullying. Kemudian di Amerika Serikat ada "Dignity for All Student Act (Dasa)."
UU ini mewajibkan sekolah memberikan pelatihan kepada siswa dan staf tentang bullying dari aksinya hingga melaporkannya.
Negara lain berikutnya ada Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Negara Finlandia terdapat KiVa Program antibullying tujuannya pencegahan dan intervensi kasus bullying melalui pendekatan sistemik.
KiVa Program ini di rancang oleh Universitas Turku di Finlandia dan diterapkan oleh sebagian besar sekolah.
Fitur unik dari KiVa Program pelibatan seluruh komunitas sekolah termasuk siswa, guru, dan orang tua. Program ini menekankan peran siswa saksi (bystander) untuk berpartisipasi.
Negara berikutnya yaitu Australia. "Enhancing Online Safety Act (2015)," atau kebijakan untuk cyberbullying.
Di bawah kebijakan ini, anak- anak dan orang tua bisa melaporkan kasus cyberbullying ke Komisioner Keamanan Online yang berwewenang untuk memerintahkan konten pelecahan dihapus dari internet.
Pendekatan untuk Penyelesaian Dampak Perundungan
Berkaca pada pendekatan kebijakan antiperundungan Amerika, Finlandia, dan Australia, kita juga bisa menerapkannya di Indonesia. Tujuannya untuk mencegah pelaku perundungan yang memiliki man power.
Ada satu program yang diinisiasi dan dikembangkan oleh UNICEF bernama Program Roots. Program mengacu pada pemilihan agen perubahan yang paling didengar dan berpengaruh.
Adanya agen perubahan yang menyuarakan kebijakan anti perundungan perlu melalui tahapan pelatihan selama 15 kali. Setelahnya, bisa melakukan kampanye anti perundungan. Adapun kegiatan ini bisa diikuti seluruh warga sekolah.
Pada kampanye ini, terdapat ide-ide kreatif yang Kawan GNFI bisa terapkan, dimulai dari poster antiperundungan dan memberi edukasi pada saat kampanye. Hal ini untuk menekan angka laporan perundungan.
Penutup Program Roots ini akan menghasilkan jawaban apakah berdampak atau tidak. Jika berdampak, angka bullying menurun.
Lalu, jikahasilnya terjadi banyak laporan di setiap sekolah di Indonesia, maka tujuannya tercapai, yaitu tercipta rasa kepedulian antarsesama dan sebagai saksi untuk masalah perundungan.
Selain UNICEF, Pemerintah Indonesia juga sudah berupaya menekan angka laporan perundungan dengan cara meluncurkan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Kemudian, dari kampanye dan peraturan yang sudah dilakukan, yang paling penting adalah integritas setiap petugas dalam menangani laporan perundungan.
Adanya integritas para petugas dan peraturan yang kuat dapat melindungi korban perundungan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News