Indonesia dianugerahi dengan keberagaman budaya, Kawan GNFI. Keberagaman budaya itu ditandai dengan adanya bahasa daerah, makanan khas, tradisi, upacara, ajaran hidup, dan sebagainya.
Salah satu unsur budaya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ajaran hidup. Di manapun manusia berada, dimanapun dinamika hidup ini berlangsung, ajaran ini selalu ada.
Sebagai kekayaan peradaban, ajaran hidup lahir dan diajarkan oleh para leluhur secara turun temurun. Generasi selanjutnya senantiasa mewarisi nilai-nilai kehidupan tersebut. Ajaran ini memberikan makna bahwa kehidupan manusia senantiasa berlangsung dan berkesinambungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam semesta. Setiap masyarakat memiliki dan menghidupi ajaran luhur tersebut. Hal ini juga diyakini oleh masyarakat Jawa yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Masyarakat Jawa menjaga budaya, sebagai warisan luhur dari para pendiri peradaban. Budaya, sebagai kekayaan yang adiluhung terlukis dalam ajaran atau falsafah hidup. Pada zaman dahulu, orang tua mengajarkan falsafah hidup pada anak-cucu, agar memiliki tujuan yang terarah dalam hidup. Oleh karena itu, masyarakat Jawa diajarkan untuk menghargai manusia dan alam.
Piwulang Luhur, sebagai Ajaran Hidup Masyarakat Jawa
Berkaitan dengan hal di atas, sejak dahulu, masyarakat Jawa telah hidup berdampingan dengan alam. Masyarakat Jawa sangat menghormati alam. Bahkan, masyarakat Jawa mempercayai bahwa alam merupakan dunia kehidupan masyarakat Jawa.
Dalam kultur masyarakat Jawa, alam terbagi menjadi dua, yakni alam semesta (makrokosmis) dan alam kecil atau jagad cilik (mikrokosmis). Hal tersebut diabadikan dalam ajaran hidup masyarakat Jawa atau yang dikenal dengan piwulang.
Sebagai warisan dari para leluhur, masyarakat Jawa memegang teguh dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Piwulang disajikan dalam bentuk pepatah, syair, tembang atau lagu, dan sebagainya.
Leluhur masyarakat Jawa selalu mengumandangkan piwulang dan mengajarkannya pada anak cucunya. Bahkan, piwulang yang berbentuk tembang atau lagu selalu dinyanyikan agar senantiasa diingat dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup sehari-hari.
Bagi masyarakat Jawa, piwulang mengandung pesan kehidupan yang sarat akan nilai-nilai moral. Hal inilah yang menjadi bekal bagi masyarakat Jawa dalam menghormati Sang Pencipta, menghargai sesama, dan menjaga keseimbangan dengan alam semesta.
Di bawah ini, terdapat beberapa piwulang yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa.
1. Manunggaling kawula Gusti
Menurut Sri Wintala Achmad (2017: 136), pepatah di atas memiliki arti bersatunya antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan. Namun, pepatah tersebut memiliki makna bahwa manusia perlu merendahkan hati dalam kehidupannya, karena kehidupan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui pepatah ini, manusia diajak untuk bersatu dalam keheningan diri atau jagad cilik (alam mikrokosmis) untuk memuliakan keagungan Sang Pencipta (alam makrokosmos). Pepatah ini juga mengingatkan bahwa manusia menjadi bagian yang kecil dalam alam semesta, sehingga tidak perlu untuk menyombongkan diri.
Kekuasaan, jabatan, kekayaan sifatnya sementara, sedangkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup yang selaras dengan tuntunan Sang Guru Sejati yakni Tuhan Yang Maha Agung, bersifat abadi. Oleh karena itu, masyarakat Jawa diajarkan untuk tepa slira atau refleksi diri dan andhap asor atau rendah hati.
Berdasarkan ajaran Manunggaling kawula Gusti, para leluhur masyarakat Jawa selalu berpesan agar setiap manusia perlu melihat ke dalam diri sendiri, sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika seseorang telah mengenal dan menerima diri sendiri, maka ia diharapkan dapat bertumbuh dan berproses menjadi sosok yang sederhana dan bijaksana. Segala sesuatu yang terdapat dalam dirinya, diterima dengan apa adanya dan dipandang sebagai berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
2. Aja Rumangsa Bisa, Nanging Kudu Bisa Rumangsa
Seperti yang dilansir dari detik.com, falsafah hidup masyarakat Jawa yang berbunyi aja rumangsa bisa, nanging kudu bisa rumangsa memiliki makna bahwa manusia tidak boleh sombong, tetapi tahu diri.
Artinya, setiap manusia diajarkan untuk hidup dengan jujur, rendah hati, dan apa adanya. Jika bisa, maka katakan bisa. Namun, jika tidak bisa, katakan tidak bisa. Seseorang bisa dipercaya, jika apa yang dikatakan, selaras dengan perbuatannya.
Contohnya, si A memiliki kemampuan dalam menghitung soal matematika, tetapi sedikit memerlukan waktu ketika menganalisis kasus politik. Ketika kawan si A mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal matematika, maka A mengajarkan rumus tersebut. Si A mau membantu tanpa banyak alasan. Kawan si A menghargai keterbukaan dan kejujuran si A.
Sikap di atas perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, pada zaman sekarang, banyak orang yang cenderung menutupi kenyataan yang sebenarnya, demi memperoleh posisi yang aman dan nyaman.
Padahal, jika seseorang bersikap jujur dan apa adanya, tentu tidak akan menimbulkan beban moral di dalam hati. Dengan demikian, kejujuran dan kesederhanaan dapat menjadi bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan.
3. Tembang Gambuh
Samengko ingsun tutur
Sembah catur supaya lumuntur
Dhingin rasa, cipta, jiwa, rasa, kaki
Ing kono lamun tinemu
Tandha nugrahaning Manon
Tembangdi atas merupakan salah satu bait yang terdapat dalam tembang Gambuh, karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV atau yang dikenal dengan KGPAA Mangkunegara IV. Salah satu bait di atas, memiliki arti secara harfiah sebagai berikut.
Baiklah, sekarang saya tuturkan
Ihwal empat macam sembah supaya dapat dipahami
Yang pertama adalah raga, cipta, jiwa, dan rasa
Jika sudah terpahami hakikatnya, hal itu
Sebagai tanda telah mendapatkan anugerah Tuhan (Fikriono, 2012: 94-95)
Berdasarkan arti di atas, tembang yang terdapat dalam buku Puncak Makrifat Jawa karya Muhaji Fikriono tersebut memiliki makna bahwa manusia diajarkan untuk senantiasa menyadari dan menerima segala sesuatu yang terdapat di dalam dirinya.
Apabila manusia telah menyadari dan menerimanya sebagai anugerah Tuhan, maka ia telah bijaksana dan rendah hati dalam kehidupannya. Manusia memandang bahwa kemampuan, karakter, dan potensi yang terdapat dalam diri bukan untuk disombongkan, tetapi sebagai sarana untuk meluhurkan Sang Pencipta dan membantu sesama.
Piwulanghidup masyarakat Jawa perlu dilestarikan karena merupakan warisan peradaban luhur yang berfungsi sebagai penuntun dalam kehidupan sehari-hari. Piwulang atau ajaran tersebut tidak hanya dilafalkan, tetapi perlu diimplementasikan. Dengan demikian, eksistensi falsafah hidup masyarakat Jawa tetap terjaga dan bertahan di tengah masifnya modernisasi.
Daftar Pustaka
https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6975547/10-falsafah-hidup-orang-jawa-serta-maknanya
Achmad, Sri Wintala. 2017. Asal-usul & Sejarah Orang Jawa. Yogyakarta: Araska
Fikriono, Muhaji. 2012. Puncak Makrifat Jawa Puncak Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram. Jakarta Selatan: Penerbit Noura Books
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News