Ada sebuah destinasi wisata Jawa Barat yang “wajib” dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Destinasi wisata budaya itu adalah Saung Angklung Udjo, lokasinya di kota kembang, Bandung.
Sedemikian populernya Saung Angklung Udjo, sampai-sampai menjadi menu andalan kunjungan study tour atau karya wisata anak-anak sekolah. Istilah dalam jargon marketing adalah “top of mind”.
Pengunjung Saung Angklung Udjo per tahun mencapai lebih dari dua ratus ribu orang, berdasarkan data statistik jumlah pengunjung dari tahun 2014 hingga 2019. Grafiknya terus menanjak, sampai puncaknya pada tahun 2019, jumlah kunjungan hampir mencapai 250 ribu.
Petaka terjadi pada tahun berikutnya. Kondisi berbalik, jumlah kunjungan terjun bebas menuju nihil. Tak lain dan tak bukan gara-gara peristiwa global, yakni pandemi Covid-19. Tentu saja situasi ini melumpuhkan Saung Angklung Udjo, hingga kondisi nyaris mati.
Tahun berikutnya, situasi tidak bertambah baik. Jumlah pengunjung pada tahun 2021 hanya sekitar empat ribu saja. Bayangkan, berarti hanya tinggal dua persen tak sampai, bila dibandingkan kondisi normal 2019.
Menambah parah, jumlah SDM-nya pun merosot tajam, hanya tersisa kurang dari setengahnya. Ancaman tutupnya sanggar pelestari budaya tradisional tanah Sunda ini pun menjadi sorotan banyak pihak.
Sertifikat inskripsi angklung sebagai warisan budaya takbenda asal Indonesia. (Sumber: KWRI UNESCO)
Titik Balik Transformasi Digital
Saung Angklung Udjo tidak diam dan pasrah menghadapi ancaman seserius itu. Harus ada upaya besar yang dilakukan untuk menyelamatkan. Dalam grand plan misi tersebut, periode Maret 2020 hingga Agustus 2022 disebut sebagai fase penyelamatan. Periode selanjutnya, mulai September 2022 sampai saat ini (September 2024), disebut sebagai fase pemulihan.
Lalu, bagaimana hasilnya? Apakah sudah pulih? Strategi apa yang sebetulnya dilakukan untuk menghadapi krisis luar biasa seperti itu?
Singkat cerita, jumlah pengunjung pada tahun 2023 telah meroket di atas dua ratus ribu orang. Jumlah SDM telah merangkak naik dua kali lipat dari masa terpuruk 2021. Luar biasa, bukan? Apa rahasianya?
Ternyata, kuncinya adalah “transformasi digital”. Ya, betul! Jargon kekinian ini benar-benar merasuk ke ranah tradisional. Transformasi digital berhasil menunjukkan dayanya untuk menyelamatkan Saung Angklung Udjo. Berarti, transformasi digital telah berkontribusi penting dalam upaya menjaga kelestarian budaya tradisional Indonesia.
Kok bisa? Angklung yang dari bambu terkena transformasi digital? Bagaimana caranya?
Itulah menariknya perbincangan dengan Satria Yanuar Akbar, creative producer di Saung Angklung Udjo. Ia buka-bukaan membeberkan strategi transformasi digital yang diterapkan di sana.
Bagaimana Saung Angklung Udjo memanfaatkan teknologi digital dengan metodologi yang sistematik, semua dikupas dalam paparannya yang berjudul “Transformasi Digital sebagai Kunci Peningkatan Daya Saing di Saung Angklung Udjo”.
Paparan itu disampaikan dalam simposium "Spirit of Bandung” 2024 bertema “Peran Kearifan Lokal dalam Transformasi Digital Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni: Membangun Masyarakat Makmur dan Lingkungan Sehat” di kampus Universitas Kristen Maranatha, Bandung (25/9/2024).
Taktik Penyelamatan
Menyematkan “transformasi digital” ke ranah seni tradisi bukanlah suatu hal yang latah. Ada strategi dan metodologi yang terencana dan sistematik. Secara garis besar, Satria memaparkan model sirkular yang terdiri dari beberapa tahapan.
Pertama, penetapan visi, misi, dan tujuan transformasi digital. Kedua, sosialisasi internal dan pemetaan eksternal. Ketiga, evaluasi infrastruktur dan teknologi. Keempat, pemilihan dan pemanfaatan teknologi digital yang tepat.
Kelima, membentuk budaya inovasi dan pembelajaran. Keenam, mengelola perubahan dan komunikasi. Ketujuh, evaluasi dan perubahan. Semua tahapan ini membentuk satu siklus yang sirkular.
Satria Yanuar Akbar pada simposium "Spirit of Bandung" 2024. (Sumber: Maranatha News)
Taktik yang digunakan memanfaatkan berbagai saluran digital. Salah satunya adalah mengoptimalkan platform media sosial untuk meningkatkan brand awareness dan menjangkau khalayak yang lebih luas, hingga di level global.
Taktik ini terbukti berdampak luar biasa. Satria mengeklaim kenaikan kinerja hingga 2184 persen pada salah satu platform medsos yang digunakan.
Sebagai landasan, ada dua prinsip yang dipegang dalam strategi tersebut, yaitu 1) adaptif terhadap tren kekinian, dan 2) kolaborasi dengan generasi muda.
Maksud dari adaptif terhadap tren kekinian adalah selalu terbuka terhadap tren masa kini, tetapi tanpa mengurangi esensi budaya. Tujuannya adalah membuat budaya lebih relevan bagi generasi muda, sambil tetap menjaga autentisitasnya. Dengan demikian, apresiasi terhadap seni tradisional di era modern pun akan meningkat.
Kolaborasi dengan generasi muda juga wajib dilaksanakan. Mereka adalah bagian penting sebagai pelaku pelestarian budaya. Kolaborasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran dan apresiasi budaya, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Caranya adalah dengan menciptakan konten yang fresh dan inovatif.
Terakhir, mengutip kesimpulan pada paparan Satria, transformasi digital merupakan proses holistik meliputi penggunaan teknologi informasi dan peningkatan pemahaman internal organisasi dalam mengadaptasinya. Dengan kata lain, teknologi informasi saja tidak akan memberi dampak optimal bila tidak disertai pemahaman, kemampuan, dan keterampilan manusianya.
Berkat transformasi digital, kearifan lokal berhasil kembali terangkat, memberi warna dan identitas yang autentik di tengah era percepatan global. Salut untuk Saung Angklung Udjo, sang pelestari warisan budaya Nusantara.
Referensi:
- https://www.medcom.id/pendidikan/berita-kampus/GNlLj92N-spirit-of-bandung-2024-angkat-isu-kearifan-lokal-di-tengah-transformasi-digital
- https://news.maranatha.edu/photo/spirit-of-bandung-2024
- “Transformasi Digital sebagai Kunci Peningkatan Daya Saing di Saung Angklung Udjo” (makalah oleh Satria Yanuar Akbar, dipresentasikan pada simposium The 6th "Spirit of Bandung", 2024)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News