Pada hari Senin (7/10/2024), lembaga/institusi bersatu dalam memfasilitasi peringatan Hari Tani Nasional 2024 yang dilaksanakan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. Kegiatan ini juga diadakan secara hybrid melalui Zoom Meeting yang dihadiri para akademisi, aktivis, dan petani di seluruh indonesia.
Para petani lintas generasi merapatkan barisan dengan melakukan konsolidasi dan advokasi untuk mewujudkan pertanian lestari secara nasional. Barisan petani lintas generasi merespon berbagai persoalan yang menghampiri sektor pertanian Indonesia hari ini.
Dampak dari perubahan iklim yang terjadi di Indonesia membuat perubahan lingkungan pertanian di Indonesia. Hal tersebut menjadi tantangan para petani untuk bertahan hidup dengan hasil pertanian yang tidak ada kepastian kesejahteraan.
Hal ini diakibatkan dari kapitalisme agraria yang dialami oleh para kaum tani, khususnya petani gurem dan buruh tani yang menjadi "tumbal" pembangunan pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, perubahan struktural melalui reforma agraria sejati harus dilakukan sebagai langkah awal dalam memperjuangkan kedaulatan sektor pertanian yang adil, lestari, dan berpihak kepada para kaum tani lintas generasi.
Kegiatan ini diisi dari berbagai kalangan. Awalnya Prof. Bambang Hudayana, M.A. dan Prof. Damayanti Buchori yang menjadi keynote speech pada pembukaan kegiatan konsolidasi dan advokasi petani lintas generasi
Setelah itu, dilanjutkan dengan paparan kalangan petani dan kelompok pertanian yang meliputi Komunitas Pawukon, Sekolah Tani Muda, Sekolah Pagesangan, Kelompok Perempuan Tani Karisma, Kebun Code, dan Petani Wadas Melawan.
"Pinggir pesisir selatan Gunung Kidul pada era 80-an ditanami tanaman monokultur, ada tiga tanaman pokok berupa padi, jagung, dan ketela yang harus ditanami di petani di Gunung Kidul bukan hanya tanaman monokultur, sehingga kami menolak tanaman monokultur. Syukur orang-orang di Gunung Kidul dapat panen ketiga tanaman pokok. Panen ketela saja kami di Gunung Kidul masih dapat hidup. Bertani semata-mata bukan hanya kelebihan hasil tetapi bertani warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dengan cara bersyukur pada pengetahuan yang telah diberikan," ujar Bambang dari Komunitas Pawukon.
Terjadinya perlawanan dan penolakan tersebut para petani menyatakan sikap terhadap model pembangunan yang telah menjarah, memasung, dan mengeksploitasi kaum tani di Republik Indonesia. Adapun isi dari pernyataan sikap yang dilakukan barisan petani lintas generasi, sebagai berikut:
- Melakukan reforma agraria sejati secara menyeluruh;
- Membatalkan UU Cipta Kerja dan Regulasi turunannya;
- Menghentikan megaproyek food estate dan program cetak sawah baru;
- Mengembalikan kedaulatan pangan kepada kaum petani;
- Meminimalisir ekspor dan impor pangan yang merugikan petani;
- Mewujudkan pertanian lestari dan ekonomi berkeadilan;
- Memenuhi hak-hak petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan.
Pada sekitar jam 11.30 WIB, barisan petani mendeklarasikan isi dari pernyataan sikap sebagai penolakan dan perlawanan kapitalisme agraria yang terjadi di Indonesia. Pernyataan sikap ini dilakukan oleh 15 lembaga, meliputi Komunitas Pawukon, Sekolah Tani Muda, Sekolah Pagesangan, Kelompok Perempuan Petani Karisma, Kebun Code, Petani Wadas, Bina Desa, Social Research Center (SORAC) Departemen Sosiologi UGM, Komite Kemanusiaan Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air, Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences, Institute for Research and Empowerment, Lingkar Keadilan Ruang, dan Critical Pedagogy Indonesia.
Setelah pernyataan tersebut disampaikan, para petani lintas generasi menyusun rencana tindak lanjut untuk diajukan dalam proses perencanaan pemerintah di Indonesia. Kegiatan selanjutnya adalah merespon ketidakadilan pertanian.
Rencana tindak lanjut disusun dengan membagikan beberapa kelompok untuk menyusun aspirasi-aspirasi strategis dari berbagai kalangan baik akademisi, aktivis, dan para petani sendiri. Harapannya adalah tindak lanjut atas aspirasi yang telah menjadi rekomendasi para petani untuk mewujudkan pertanian lestari.
Menurut Mohammad Ghofur, M.Sc. dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, menyampaikan bahwa output dari sesi kedua ini adalah rencana tindak lanjut bersama. Ini setidaknya dirumuskan dalam tiga hal, meliputi advokasi litigasi, advokasi non-litigasi, dan forum bersama yang berkelanjutan yang akan disepakati.
Adanya kegiatan ini menentukan nasib para petani di Indonesia. Dengan demikian, makin terjamin dan mendukung mitigasi kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim di Indonesia.
Para petani jadi memiliki dasar pengetahuan bertani, salah satunya pranata mangsa. Inimerupakan pengetahuan peninggalan nenek moyang di Jawa berkaitan. Itu berkaitan dengan kepentingan pertanian dan penangkapan ikan.
Bentuk pranata mangsa berupa kalender yang menjadi acuan pertanian dengan melihat peredaran matahari. Pengetahuan lokalitas semacam inilah yang harus kita dukung demi mencapai kesejahteraan para petani di Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News