Tari lahbako merupakan tarian tradisional yang berasal dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang menggambarkan kehidupan masyarakat petani tembakau.
Tarian ini terinspirasi oleh aktivitas sehari-hari para petani di ladang tembakau, dengan gerakan yang mencerminkan perjalanan mereka dari rumah ke kebun, proses pemetikan, pengemasan, dan penjemuran daun tembakau hingga kering.
Perlu Kawan ketahui, tarian ini sudah ada sejak tahun 1980-an, lho!
Pertunjukan tersebut diiringi oleh musik patrol, kesenian khas Jember yang menggunakan alat musik seperti kentongan, suling, dan gendang.
Dalam penampilannya, 4—8 penari perempuan mengenakan busana tradisional yang mencerminkan karakter para petani tembakau, dilengkapi dengan aksesoris seperti sanggul cemol, bendera kecil yang melambangkan peran masing-masing petani, serta anting-anting dan aksesori berbentuk daun tembakau.
Lebih dari sekadar tarian, tari lahbako juga merupakan bentuk penghargaan terhadap kontribusi perempuan dalam industri tembakau serta simbol budaya dan identitas kota Jember.
Diciptakan oleh Bupati Jember, Suryadi Setiawan, tujuan adanya tari ini adalah dengan maksud untuk merefleksikan kehidupan para petani tembakau di daerah tersebut.
Penciptaan tarian ini juga melibatkan Bagong Kussudiarja, seorang seniman dari Yogyakarta, yang bertanggung jawab atas koreografi dan penggarapannya.
Tarian ini menjadi bentuk penghargaan terhadap peran perempuan dalam industri tembakau, mengingat sebagian besar pekerja di sektor tersebut adalah wanita.
Perkembangan tari lahbako sejak tahun 1980-an menunjukkan transformasi yang signifikan dalam tujuan dan pelaksanaannya.
Nama tari lahbako sendiri berasal dari gabungan dua kata, "Lah" yang berarti "olah" dan "Bako" yang berarti "tembakau," sehingga maknanya adalah tarian yang menggambarkan pengolahan tembakau.
Seiring berjalannya waktu, terutama setelah tahun 1990-an, fokus kesenian ini beralih. Meskipun awalnya dirancang sebagai bentuk apresiasi, kini tarian tersebut lebih dikenal sebagai hiburan yang menonjolkan nilai estetika.
Meskipun saat ini lahbako jarang dipraktikkan di ladang, ia tetap dilestarikan melalui festival budaya, acara resmi kabupaten, dan pertunjukan seni di sekolah-sekolah.
Dalam era digital, lahbako semakin dikenal melalui media sosial, memungkinkan masyarakat luas, baik di dalam maupun luar negeri, untuk mempelajari dan menikmati tarian ini.
Sekarang, lahbako telah menjadi salah satu ikon kota Jember, melambangkan identitas budaya daerah tersebut, meskipun tradisi ini tidak lagi diterapkan secara rutin oleh petani modern pada musim panen.
Respon masyarakat terhadap perubahan nilai estetikanya umumnya bersifat positif, meskipun ada tantangan dan kekhawatiran yang perlu diperhatikan.
Masyarakat Jember menyadari pentingnya melestarikan tari itu sebagai simbol budaya dan identitas kota mereka. Oleh karena itu, mereka terus melakukan upaya konservasi nilai aslinya melalui festival budaya, acara resmi kabupaten, dan pendidikan formal.
Dalam upaya mempertahankan daya tarik estetik, elemen adaptasi dan inovasi telah diterapkan. Misalnya, penyesuaian tata rias dan kostum yang terinspirasi oleh gaya Madura dilakukan untuk meningkatkan keindahan tarian.
Selain itu, strategi pemasaran acara dan festival yang diterapkan oleh seniman tari telah terbukti efektif dalam melestarikannya. Acara rutin yang diadakan setiap bulan memainkan peranan penting dalam memperkenalkan tarian ini kepada generasi muda.
Meskipun ada kekhawatiran bahwa tarian tradisional serupa dapat terlupakan karena perubahan preferensi budaya modern, upaya inovasi teknologi juga telah dilakukan.
Promosi melalui media sosial membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keberadaan tarian ini, terutama di kalangan anak muda. Selain itu, lahbako memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.
Melalui berbagai acara, pemerintah dapat memberikan upah kepada tenaga makeup dan kostum penari, yang secara langsung menguntungkan komunitas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News