Paksi Raras Alit adalah seniman serba bisa dari Kota Yogyakarta yang tak asing namanya di dunia seni dan kesusastraan. Fokus utamanya dalam berkarya ialah terkait soal kejawaan, baik dari tradisi hingga kebudayaannya.
Sosok lulusan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kini dikenal juga sebagai pelestari seni dan budaya Jawa. Lewat komunitas Jawacana, ia menghadirkan sejumlah program agar nilai-nilai kejawaan tidak luntur ditelan zaman.
Seni macapat masuk dalam perhatian Paksi dalam gerakan pelestariannya. Berbagai fakta ia simpan mengenai hal tersebut termasuk alasan mengapa macapatan sering dilakukan oleh orang Jawa tempo dulu.
Tembang Jawa, Lantunan Tutur yang Dikemas Menarik
Suku Jawa kaya akan seni budaya dan tradisi. Salah satu yang terkenal ialah macapat, seni tradisional menyanyikan sajak khas Jawa. Biasanya, kegiatan itu disebut nembang.
Sisi terkenal nembang pernah dimunculkan di sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan. Dalam sebuah adegan, Mas Karyo menjelaskan kepada gebetannya Atun tentang mertuanya Pak Bendot yang konsentrasinya terjaga saat kerja jika dilakukan sambil nembang.
“Mertua saya ini kalau lagi kerja sambil nembang, walaupun ada bledeg nyamber-nyamber, dia gak bakal kaget,” ucap Mas Karyo dengan ekspresi wajah bangga.
Nembang bukan sembarang nembang. Apa yang ditembangkan isinya beragam dari mulai nilai-nilai kehidupan manusia hingga pembentukan jati diri saat hidup di dunia.
Menurut Paksi, nembang adalah produk kebudayaan Jawa yang dimaksudkan untuk mentransfer pengetahuan karya sastra dengan cara paling efektif. Dulu, orang-orang Jawa memang tidak mudah seperti sekarang dalam mendapat pengetahuan karya sastra. Oleh karena itu, tradisi penuturan karya sastra kemudian dikembangkan sedemikian rupa agar menarik yaitu dengan cara ditembangkan.
“Masyarakat banyak hanya bisa menikmati yang paling efektif adalah ketika si pembaca, atau patron, atau guru agamanya ini menceritakan apa yang ada di dalam pengetahuan-pengetahuaan kejawaan. Kalau cuma ngoceh biasa kan tidak menarik. Aspek seni lantunan tembang muncul di situ,” ucap Paksi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Tradisi bertutur lewat nembang sebenarnya tidak hanya di Jawa. Paksi memberikan contoh bahwa di kebudayaan Arab dan Jepang pun nembang dengan cara berbeda juga dilakukan.
“Kita kan melihat tradisi-tradisi tutur di mana aja ya. Ketika karya sastra itu diberi elemen musik, lantunan lagu itu akan lebih mudah diingat, mudah masuk ke pikiran orang dan lebih mudah dinikmati. Di tradisi ngaji Arab juga seperti itu toh, di tradisi-tradisi Jepang juga ada pelantunan puisi, pelantunan pengetahuan-pengetahuan. Itulah yang terjadi di Jawa sampai sebelum era modern hari ini,” jelas Paksi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News