Bicara soal Provinsi Nusa Tenggara Timur, kebanyakan orang tentu akan langsung menyebut Pulau Komodo atau Labuan Bajo sebagai lokasi familiar. Benar, dua lokasi wisata ini memang sudah populer sampai ke mancanegara,
Meski begitu, ada satu daerah lain, yang sebetulnya cukup populer, yakni Pulau Rote. Pulau yang secara administratif merupakan bagian dari Kabupaten Rote Ndao ini dikenal sebagai titik paling selatan Nusantara. Namanya bahkan ikut diabadikan dalam penggalan lirik lagu wajib nasional "Dari Sabang Sampai Merauke", ciptaan Raden Soerarjo (tahun 1961), berikut ini:
Dari Sabang sampai Merauke,
Dari Miangas sampai Pulau Rote
Selain karena letak geografisnya yang spesial, Pulau Rote (dan Kabupaten Rote Ndao secara umum) ternyata punya produk kerajinan khas yang unik, yakni kain tenun. Kain tenun Rote Ndao telah ada sejak ratusan tahun silam, dan merupakan satu warisan budaya turun-temurun di masyarakat setempat.
Pada prosesnya, bahan dan teknik pembuatan kain tenun, pelan-pelan ikut beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi. Sisi adaptif inilah yang membuat kain tenun Rote Ndao bisa tetap eksis.
Sebelum mengenal dan menggunakan kapas, benang kain tenun dibuat dari serat pohon gewang (disebut juga pohon lontar atau gebang). Sebelum adanya tali rafia, daun lontar juga menjadi bahan utama tali, yang digunakan dalam proses pengikatan motif.
Tali dari daun lontar punya dua jenis warna, yakni putih dan coklat. Seperti warnanya, karakteristik dan fungsi kedua jenis tali ini pun berbeda.
Tali berwarna putih yang bertekstur halus, biasa digunakan sebagai bahan kain tenun ikat. Tali warna coklat yang bertekstur kasar dan kuat, biasa digunakan sebagai tali dalam kegiatan sehari-hari.
Di era modern, atas pertimbangan kepraktisan, bahan dan zat pewarna tekstil cenderung lebih banyak digunakan ketimbang versi tradisional. Sebagai perbandingan, jika menggunakan metode pengolahan dan bahan tradisional, proses pembuatan kain tenun bisa memakan waktu hingga 1 tahun.
Namun, jika menggunakan bahan kain tekstil dan metode modern, durasi pembuatannya hanya berkisar 1 bulan.
Dalam hal pewarnaan, pada mulanya bahan yang biasa digunakan adalah pewarna tradisional seperti mengkudu, tarum, atau kunyit. Ragam jenis bahan ini memengaruhi ragam corak warna pada kain tenun Rote Ndao.
Pada awalnya, kain tenun Rote Ndao hanya mempunyai empat corak warna klasik, yakni hitam, merah, putih dan kuning. Seiring perkembangan zaman, kain tenun Rote Ndao mengalami modifikasi, sehingga memiliki corak warna lebih beragam.
Secara tradisional, motif pada kain tenun Rote Ndao dapat terbentuk dari teknik pewarnaan dengan bahan-bahan alami. Hasilnya, terciptalah warna tenunan yang tidak mudah luntur, berkat ramuan yang disebut pama`a. Pama`a adalah ramuan berbahan campuran antara air dan abu hasil pembakaran kulit buah nitas (disebut juga buah kepuh atau kelumpang).
Produk tenun yang dihasilkan berupa sarung yang disebut lambi tei dan selimut yang disebut lafe tei. Keduanya biasa dipakai baik sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta.
Secara fungsi, kain tenun bukan hanya digunakan sebagai pakaian sehari-hari, tetapi juga digunakan dalam upacara adat. Sebab, ini memiliki arti dan peranan penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat dalam tradisi setempat.
Dalam upacara perkawinan, kain tenun digunakan sebagai pelengkap busana pengantin, barang seserahan, dan penutup tempat sirih saat acara meminang gadis.
Di upacara kematian, kain tenun biasa dipakai sebagai penutup jenazah, dan dibentangkan menaungi tempat tidur jenazah. Saat jenazah akan berangkat ke pemakaman, kain tenun yang dibentangkan itu akan diambil kembali, dan disimpan oleh kepala suku.
Dalam perspektif budaya tradisional Rote Ndao, menenun merupakan keahlian yang wajib dimiliki oleh seorang wanita, karena berhubungan dengan tingkat kedewasaan. Jika sudah ahli dalam menenun, seorang wanita dianggap sudah cukup dewasa, dan layak untuk berumah tangga.
Pada masa lampau, kain tenun merupakan simbol penanda status sosial seseorang. Masyarakat setempat dapat mengenali seseorang merupakan raja, kaum bangsawan, atau rakyat biasa, dari corak dan hiasan pada kain tenun yang dipakai.
Di era modern, pemakaian kain tenun tak lagi mengacu pada status sosial. Kain tenun memang masih dipakai pada momen upacara adat. Namun, kain tenun kini sudah banyak diproduksi sebagai oleh-oleh, seperti tas, aksesoris dan ikat kepala.
Berikut beberapa jenis motif kain tenun Rote Ndao yang terkenal:
1. Motif Lafa Langgak
Merupakan ciri khas umum tenun Rote Ndao. Berlambang kombinasi lilin dan salib. Maknanya berhubungan dengan agama mayoritas yang dianut masyarakat setempat.
2. Motif Henak Anan
Bermakna anak pandan, berasal dari Rote Barat. Terinspirasi dari buah pandan. Motifnya berbentuk daun atau jajar genjang.
3. Motif Lamak Nen
Motif bercorak bentuk anak belalang dan dedaunan. Berasal dari Rote Timur
4. Motif Ngganggu Dok
Menggambarkan daun-daun kecil yang biasa menjadi makanan belalang, Bentuk coraknya mirip motif lamak nen.
5. Motif Hua Ana Langi
Motif spesial karena dianggap keramat. Tidak boleh dipakai rakyat biasa. Bila ada yang ketahuan mengenakannya, kain tenun tersebut akan langsung dimusnahkan dengan cara dipotong kecil-kecil lalu dibakar. Corak motif ini berbentuk ikan gargahing atau ikan kuwe, Dalam bahasa Inggris, Ikan ini dikenal dengan nama giant trevally alias GT.
6. Motif Roa`ju atau Su`u Dok
Berupa motif daun-daun besar yang dalam bahasa Ndao disebut roa`ju, sedangkan dalam bahasa Ba`a (daerah ibukota Kabupaten Rote Ndao) disebut su`u dok. Bentuk motif ini terinspirasi dari bentuk daun sukun, makanan pokok rakyat Ba’a pada masa kolonial.
7. Motif Pending
Pending adalah sebutan dalam bahasa setempat untuk ikat pinggang tradisional khas Rote
8. Motif Mada Karoko
Berupa motif gambar hewan landak laut alias bulu babi.
Referensi:
Walfiah, R., & Adriati, I. (2022). Manifestasi Lambi Tei, Tenun Ikat Asal Rote Ndao. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 11(1).
https://nationalgeographic.grid.id/read/13305923/tenun-ikat-rote-cermin-tradisi-dan-budaya-masyarakat-rote-ndao-2
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News