Dikutip dari buku REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA, faktor geografis kepulauan Indonesia yang berada pada jalur angin musim (muson) menjadikan Indonesia ramai menjadi jalur pelayaran para pedagang dunia, yang menghubungkan dunia barat dan timur sejak awal masehi. Hasil sumber daya alam Indonesia yang menjadi incaran para pedagang saat itu salah satunya adalah rempah-rempah.
Sejarah Singkat Rempah di Indonesia
Pada masa itu, keberadaan rempah serta jalur pelayaran yang ramai di kepulauan Indonesia sudah tercatat dalam berita Tiongkok sejak awal masehi. Catatan sejarah tersebut juga menyebutkan bahwa dinasti-dinasti kekaisaran Tiongkok telah menjalin hubungan baik dengan kerajaan yang ada di nusantara sejak abad 7-13 Masehi, yaitu pada masa Dinasti Tang, Dinasti Sung, dan Dinasti Yuan.
Hubungan perdagangan rempah dengan dinasti-dinasti di Tiongkok terus berkembang, yang berlanjut pada hubungan diplomatik, keagamaan, dan pendidikan. Pada abad ke-7 M, rempah-rempah Indonesia semakin “harum” dan dikenal dunia. Para pedagang dari Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Barat mulai berburu rempah dari Indonesia yang bernilai tinggi pada saat itu seperti cengkeh, kayu cendana, lada, gaharu, kamper, dan salah satunya adalah pala.
Ciri khusus pala
Pala yang memiliki nama ilmiah (Myristica fragrans)memiliki pohon yang tingginya mencapai 5-20 meter. Daunnya berwarna hijau dengan tulang daun yang menyirip, sedangkan buahnya berbentuk lonjong berwarna kekuning-kuningan dan akan terbelah dua ketika matang.
Biji pala pada buah yang terbelah | Sumber gambar : pixabay (Agnieszka)
Buah pala memiliki aroma yang khas, karena memiliki kandungan minyak atsiri. Biji buah pala terbungkus oleh fuli, yaitu bagian biji yang berwarna merah. Biji, bunga, dan fuli dari pala merupakan bagian buah pala yang dipanen, dimana fuli menjadi bagian buah pala yang memiliki nilai ekonomi yang paling tinggi, karena jumlahnya yang paling sedikit dari hasil pemanenan satu pohon pala.
Sejarah Kelam Pala di Indonesia
Pala merupakan rempah yang berasal dari Kepulauan Banda, Maluku. Rempah inilah yang menjadikan kepulauan yang terletak di Laut Banda ini terkenal oleh masyarakat dunia. Beberapa pulau utam yang berada di Kepulauan Banda terdiri dari Pulau Lontor atau Banda Besar, Neira, Gunung Api, Rosengan, Ai, dan Run.
Dikutip dari PORTAL INFORMASI INDONESIA, pada tahun 1.000 M, Ibnu Sina, seorang dokter yang berasal dari Persia sudah menyebutkan buah pala dalam tulisannya, dengan sebutan “Kacang dari Banda”, atau dengan istilah “Jansi ban”. Pala juga sangat dikenal karena banyak digunakan sebagai salah satu bahan masakan utama dalam masakan para bangsawan Eropa.
Dikutip dari KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, pala banyak diperjual belikan oleh bangsa Arab sebagai bahan pewangi, zat perangsang dan obat. Lain halnya dengan bangsa Eropa yang meyakini buah pala dapat menyelamatkan bangsa Eropa dari wabah penyakit yang terjadi pada abad ke -14 hingga 18 yang dikenal dengan “Black Death”.
Pala digunakan sebagai pengusir kutu penyebab wabah tersebut karena memiliki aroma yang khas. Pala digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam kantung kecil, dan dikalungkan di sekitar leher.
Pada abad ke-16 sampai 17, Kepulauan Banda menjadi objek perebutan berbagai negara Eropa, dimana mereka mencoba menguasai perdagangan pala. Bangsa Portugis, merupakan bangsa Eropa pertama yang datang ke Banda, yang selanjutnya disusul oleh Inggris dan Belanda. Namun, pada tahun 1605, Belanda menyingkirkan Portugis dari Banda, setelah menaklukan Ambon sebelumnya.
Ilustrasi situasi kedatangan bangsa Eropa | Sumber gambar: dinarpus.kendalkab.go.id
Belanda terus menguatkan monopoli perdagangan pala dengan membangun pos perdagangan di Banda. Pos ini dibangun oleh Perusahaan Dagang Hindia Belanda atau dikenal dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Pada saat itu warga Banda terikat dalam sebuah perjanjian dengan VOC. Warga Banda diharuskan untuk menjual pala hanya kepada VOC. Usaha Belanda untuk menguasai Kepulauan Banda terus berlanjut, dengan adanya pengiriman 2.000 tentara. Pertumpahan darah yang menyebabkan belasan ribu korban tidak dapat dihindari, setelah adanya kekejaman dan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda kepada warga Banda.
Kepulauan Banda menjadi harta karun yang dirahasiakan oleh Belanda dari bangsa lainnya. Monopoli perdagangan semakin diperkuat dengan cara lainnya, seperti membuat biji-biji pala yang dijual tersebut tidak dapat dibudidayakan pada saat itu.
Monopoli ini berakhir, pada saat seorang ahli holtikultura dari Prancis yang bernama Pierre Poivre berhasil membawa buah dan bibit pala dari Banda pada tahun 1769. Bangsa Prancis akhirnya berhasil menanam dan membudidayakan pala di luar Kepulauan Banda. Selanjutnya, disusul oleh Inggris yang pada akhirnya berhasil menguasai Banda, dan memulai menanamnya di daerah jajahan lain seperti di Penang dan Singapura.
Sampai saat ini pala masih menjadi rempah yang banyak dimanfaatkan karena memiliki manfaat untuk kesehatan, masakan, dan kecantikan. KEMENTERIAN PERTANIAN mencatat bahwa total produksi pala di Indonesia mencapai 39.577 ton pada tahun 2021, dimana sebagian besar ditanam pada perkebunan rakyat (98%) dan sebagian kecil dari perkebunan besar (2%). Potensi dan “harum”nya pala yang terus diakui dari masa ke masa perlu dibanggakan.
Sumber:
- https://118.98.228.242/Media/Dokumen/5cff5f5fb646044330d686d0/379660db33b32c7c0d1e8e38664d60a2.pdf
- https://indonesia.go.id/kategori/pariwisata/1083/buah-emas-yang-diperebutkan-dunia?lang=1
- https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2823407&val=23310&title=Pemanfaatan%20Ekstrak%20Air%20Rebusan%20pala%20Sebagai%20Hand%20Sanitizer%20di%20Masa%20Pandemi%20Covid%2019
- https://ditjenbun.pertanian.go.id/mengenal-pala-varietas-unggul-nasional/?s=pala
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News