Urgensi kepedulian pada kesehatan mental kian menyeruak. Apalagi di kalangan generasi muda Indonesia. Media sosial dianggap sebagai salah satu musabab generasi muda jadi mudah over thinking terhadap berbagai hal yang terjadi di sekitarnya.
Menjadi ajang pamer gaya hidup, pamer hal-hal mewah, hingga pamer pencapaian. Hal ini diungkapkan Didik Supriyanto, perwakilan dari Yayasan Nalar Naluri Nurani, pada sambutannya dalam acara Writing is Healing, Writing is Protecting.
Bertempat di Sutejo Spektrum Center (5/12), acara ini diinisiasi oleh Yayasan Nalar Naluri Nurani bekerja sama dengan Komunitas Sutejo Spektrum Center dan OM Institute. Ponorogo menjadi tuan rumah kedua dari rangkaian tour Yayasan Nalar Naluri Nurani dan OM Institute. Lainnya, Fakultas Teologi Sanata Dharma Jogjakarta, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Universitas Djuanda Bogor.
Sambutan Sutejo, sumber gambar dokumentasi pribadi.
Sutejo mengatakan dalam sambutannya, ada 73 peserta yang terdaftar dari berbagai kalangan. Mulai dari santri, mahasiswa, guru, dosen, anggota komunitas, hingga pegiat literasi. Budayawan Ponorogo ini menyambut hangat kedatangan Yayasan Nalar Naluri Nurani dan OM Istitute.
“Sudah saya siapkan buku Mba Okky Madasari berjudul 86 edisi Bahasa Inggris sebanyak 10 ekspemplar sebagai door prize untuk peserta.” ungkap Sutejo dalam sambutannya.
Pada tour kedua ini, acara Writing is Healing, Writing is Protecting diisi oleh dua pemateri, yaitu Okky Madasari dan Illiyyin Tri Mukaromah (Psikolog). Illiyyin memaparkan materi tentang kampanye kesadaran kekerasan terhadap perempuan.
Ada lima jenis kekerasan, yaitu fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan sosial. Menurut Illiyyin, perlu ada strategi preventif dan kuratif untuk menanggulanginya.
Okky Madasari memantik materi dengan dua tulisan yang telah tayang di Omong-Omong Media. Pertama, tulisan dari Tsamrotul Ayu Masruroh dengan judul “Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah: Saya Dianiaya dan Diancam UU ITE”. Menurut Okky, tulisan ini memiliki dampak yang besar.
“Tulisan dari Tsamrotul ini berlanjut sampai terkuaknya kasus Anak Kiai Jombang yang akrab dipanggil Mas Bechi,” ungkap Okky dalam pembukaan materinya.
Tulisan kedua berjudul “Obituari untuk Suami” karya Katarina Retno Triwidayati. Tulisan ini mengungkap polemik yang dialami penulis dalam bentuk fiksi. Dua hal ini membuktikan kekuatan tulisan dalam berbagai bentuk (fiksi atau non fiksi) memiliki daya kekuatan yang luar biasa.
Melalui dua pengantar tulisan inilah, Okky mengajak peserta untuk menuliskan surat pada dirinya atau siapapun. Selama sepuluh menit diiringi instrumental musik yang menenangkan, peserta khusyuk menulis. Sesekali terdengar isak tangis dari peserta.
Peserta diberi kesempatan untuk membacakan tulisannya masing-masing. Di antaranya, Anita (ibu rumah tangga) yang menceritakan perjalanan dirinya sebagai orang ibu rumah tangga. Lain lagi dengan cerita Rabbani, seorang guru di salah satu madrasah di Ponorogo.
Ia membacakan ceritanya dengan berderai air mata. Ketika hari guru dimaknai sebagai perayaan dan ungkapan cinta terhadap guru, Rabbani harus mendengar salah satu siswanya tidak lanjut sekolah.
Cerita-cerita mengharu biru yang dibacakan peserta ditanggapi oleh Okky dan Illiyyin secara bergantian. Bagi Okky saat menanggapi, acara ini merupakan ajang untuk menyembuhkan diri dari luka trauma, menjadi momen untuk bangkit, dan menyebarkan pentingnya kepedulian akan kesehatan mental.
Antusiasme peserta amat tinggi, tidak hanya dalam menceritakan kisah, beberapa peserta pun melontarkan pertanyaan. Afifah Wahda (anggota Komunitas FLP cabang Ponorogo) mengajukan pertanyaan tentang sejak kapan tranformasi diri dan kesadaran akan kesehatan mental perlu ditumbuhkan.
Afifah Wahda Bertanya, Sumber gambar: dokumentasi pribadi.
“Sedini mungkin,” jawab Okky sambil menjelaskan penerapan pendidikan pada anaknya. Bahwa orang tua seyogyanya bisa menjadi tempat bercerita yang pertama bagi anak-anaknya. Okky juga mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan kurikulum well being. Artinya, kurikulum yang ramah terhadap perkembangan mental anak.
Okky berharap setelah acara ini, peserta menjadi agen yang menyebarkan pentingnya kepedulian akan kesehatan mental. Acara ini juga sekaligus menjadi bentuk jawaban kepedulian Yayasan Nalar Naluri Nurani akan pentingnya literasi kritis.
“Ya ini, bentuk nyata kepedulian Yayasan Nalar Naluri Nurani. Di tengah kabar muram literasi kita, mereka mau terjun langsung. Tahun ini di empat kota, mudah-mudahan tahun selanjutnya bisa meluas.” pungkas Okky di akhir acara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News