Topeng Betawi memiliki jenis, gerak tari, dan esensinya sendiri. Topeng atau kedok merupakan salah satu properti yang kerap kali digunakan dalam suatu kesenian tradisional Indonesia.
Dikatakan demikian karena topeng menjadi sarana utama dalam mengutarakan pesan dan esensi yang ingin disampaikan pada audiens.
Dalam perwujudannya di dunia seni tradisional Tanah Air, pemakaian topeng Betawi turut disertai oleh vokal, instrumen musik, gerak tari, dan sastra sehingga menjadi sebuah pertunjukan drama.
Walau unsur-unsur tersebut yang membentuk keseluruhan dari pentas topeng Betawi, terdapat salah satu unsur yang ditonjolkan.
Dikutip dari buku Topeng Betawi, pentas topeng Betawi zaman dahulu sedikit berbeda dengan zaman sekarang. Kala itu, seni topeng Betawi lebih mementingkan tariannya dibanding ceritanya. Hal ini ditujukan supaya audiens mau turut serta dan betah berlama-lama di dalam pertunjukan tersebut.
Namun, bukan berarti saat itu tidak ada kisah yang dibawakan. Tidak seperti masa kini yang lebih mengutamakan unsur ceritanya, lakon saat itu hanya dibuat sebagai selingan dari tari topeng Betawi.
Terlebih lagi, di musim paceklik sekitar tahun 1940-an, para pemain topeng Betawi turun ke jalan untuk mementaskan kesenian tersebut sekaligus menerima saweran. Karena itu, tidak heran bila tari topeng Betawi dahulu hanya identik dengan “goyang pinggul” belaka.
Jenis Topeng Betawi
Oleh sebab berasal dari Jawa Barat, baik topeng Betawi maupun gerak tariannya memiliki sedikit kemiripan dengan Cirebon. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartini (1990), bahwa perkembangan tari topeng di Betawi pinggiran dapat dikatakan sebagai bentuk singkat dari tari topeng Cirebon yang biasanya menggunakan enam sampai delapan kedok.
Karena itu, hanya ada tiga jenis topeng yang digunakan penarinya secara bergantian selama pertunjukan tari topeng Betawi.
Pertama, topeng panji yang berwarna putih, merepresentasikan sifat seseorang yang lembut. Kedok ini ditarikan dengan empat jenis gerakan, dimulai dari gerakan tindak atau nindak, tindak selancar, goleng, dan diakhiri dengan sembah bedeku.
Memasuki urutan kedua, yaitu mengenakan topeng samba. Kedok ini berwarna merah muda, melambangkan kegesitan seseorang. Pertunjukan topeng Samba memiliki empat gerakan tari yang diawali dengan sembah bedeku, berputar di tempat, kiwir-kiwir, lalu diselesaikan dengan gonjingan.
Topeng jingga atau klana menjadi topeng terakhir yang dipakai selama pertunjukan. Kedok ini sewarna apel matang alias merah tua, menyimbolkan amarah dan sifat seseorang yang kuat.
Gerak tari topeng jingga berjumlah enam, sedikit lebih banyak dibanding dengan topeng-topeng sebelumnya. Dimulai dengan gonjingan, tari kedok tersebut dilanjutkan dengan nindak empat, gagahan, memutar selampe atau selendang, menggoyangkan pundak, dan ditutup dengan sembah deku.
Namun, berbeda dengan sebelumnya, gerakan sembah deku topeng Jingga ini menyertakan topeng panji di sebelah kanan dan topeng samba di sebelah kiri.
Bila dilihat urutannya secara garis besar, terdapat pengulangan pada gerakan tari topeng Betawi dari kedok awal hingga akhir. Namun, yang membedakan adalah tempo dan luas-sempitnya ruang gerak, sesuai dengan kedok yang digunakan.
Ritual Tari Topeng Betawi
Dahulu, tari topeng Betawi dipercayai dapat menolak musibah-musibah yang menimpa masyarakat, seperti penyakit, anak kandung yang meninggal secara berturut-turut, dan sebagainya.
Dikutip dari Attas (2013), mayoritas orang Betawi dulu percaya bahwa kelompok topeng Betawi dapat menangkal musibah dan kekuatan magis. Keyakinan ini diwujudkan melalui nazar, seperti mengadakan pertunjukan topeng Betawi dalam upacara ketupat lepas sebagai bentuk syukur atas kesembuhan atau keselamatan.
Selain itu, upacara menyalakan obor atau lilin juga dilakukan untuk memohon keberkahan dan perlindungan bagi pihak yang menanggap pertunjukan tersebut.
Selain itu, sebelum memulai pertunjukan, mereka mengadakan upacara sajen, atau bakar menyan, terlebih dahulu untuk meminta izin pada sang “empunya tempat” sekaligus permohonan atas perlindungan pada leluhur. Hal ini supaya jalannya pagelaran tidak mendapat gangguan, baik pada pemain kesenian maupun penontonnya.
Namun, di masa sekarang, sisi religiusnya tidak begitu diperhatikan lagi karena pengaruh lingkungan sekitar. Karena itu, tari topeng Betawi saat ini digelarkan hanya sebagai kesenian tradisional yang mengutamakan fungsi hiburannya.
Referensi:
Attas, S. G. (2013). Mengusung Cerita Topeng Betawi Tempo Doeloe Menuju Pertunjukan Dunia. LITERASI: Indonesian Journal of Humanities, 3(1), 51-61.
Astuti, R. P. (t.t.). Tari Topeng Tunggal Khas Betawi Di Keluragan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Dalam Indonesia University of Education.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1980). Topeng Betawi. Proyek Sasana Budaya, Jakarta. 116 hal.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News