lika liku atraksi topeng monyet - News | Good News From Indonesia 2024

Lika-liku Atraksi Topeng Monyet

Lika-liku Atraksi Topeng Monyet
images info

Lika-liku Atraksi Topeng Monyet


Lika-liku atraksi topeng monyet. Kalimat “Sarimin pergi ke pasar” tentu tidak asing terdengar di telinga Kawan GNFI. Yap, kalimat itu merupakan salah satu ciri khas dari topeng monyet. Sesuai dengan namanya, pertunjukan tradisional tersebut diperankan oleh seekor monyet. 

Diiringi dengan tabuhan gendang dan gamelan sederhana, serta instruksi sang pawang, lincahnya si monyet menari-nari sambil melakukan atraksi kecil-kecilan (naik sepeda, pembalap motor, berbelanja, penari reog, dan sebagainya) membuat kesenian daerah ini menarik perhatian banyak orang, terutama anak-anak.

Seluruh pasang mata anak-anak tersebut berbinar penuh kekaguman, sedangkan orang dewasa yang ikut menonton kerap memuji kepintaran si monyet yang mampu menuruti perintah pawangnya, seolah hewan tersebut memiliki akal seperti manusia.

Namun, sebenarnya dari mana pertunjukan “Sarimin pergi ke pasar” ini berasal?

Sejarah Topeng Monyet

Monyet Ekor Panjang | Wikimedia | Heri Nugroho
info gambar

Monyet Ekor Panjang | Wikimedia | Heri Nugroho


Topeng monyet adalah atraksi yang amat dikenal di seluruh Indonesia, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di daerah Jawa, biasanya disebut sebagai Ledhek Kthek dan Tandhak Bedhes yang berarti “tontonan monyet.

Kesenian tradisional ini ternyata mulai dikenal sejak sekitar tahun 1890-an, di mana orang-orang Belanda maupun pribumi saat itu senang menyaksikannya. Hal ini bisa ditemukan dari koleksi foto di Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. 

Dilansir dari detik.com, hampir sebagian besar pawang topeng monyet yang melakukan pertunjukan di berbagai daerah Indonesia berasal dari Desa Kertosari, Kecamatan Geger, Kota Madiun. Menurut kesaksian kepala desa tersebut, pentas topeng monyet menjadi mata pencaharian penduduknya dari generasi ke generasi.

Warisan budaya ini ini bermula dari almarhum Mbah Surotuluh, salah seorang warga Desa Kertosari yang mengawali pertunjukan topeng monyet pada 1960-an. Sejak saat itu, persebaran atraksi topeng monyet pun perlahan-lahan meluas. T

erlebih lagi, setiap ada topeng monyet, orang-orang yang datang secara sukarela melemparkan uang saweran ke tempat yang sudah disediakan pawangnya sehingga mereka juga mendapat untung. 

Para monyet yang digunakan dalam topeng monyet berspesies Macaca Fascicularis atau dikenal juga sebagai monyet berekor panjang (long-tailed monkey). Mengacu pada pengakuan kepala Desa Kertosari, hewan-hewan tersebut tidak didapatkan dari desa setempat, melainkan daerah lain. Hal itu disebabkan oleh faktor tempat tinggal mereka yang jauh dari hutan. 

Kebijakan Pemberhentian Topeng Monyet

Walaupun topeng monyet dapat dikategorikan sebagai budaya tradisional, proses pelatihannya tidak lepas dari kata “kekerasan” dan “eksploitasi hewan”. Dikutip dari Yasin (2019), para monyet tersebut melalui latihan berulang yang keras dari pawang-pawangnya demi menciptakan gerakan luwes seperti yang dilakukan manusia sehari-hari. 

Setelah diambil dari hutan, hewan berekor panjang itu dikerangkeng atau sekadar diikat di tiang dengan leher berkalungkan rantai atau tali. Pelatih mereka pun lekas melatih mereka selama tiga minggu dengan metode hadiah dan hukuman.

Jika monyet tersebut mampu melakukan apa yang diperintahkan, maka mereka diberi makanan. Namun, jika salah, para pelatih tak akan segan untuk memukul, menarik ekornya, atau menarik belenggu di lehernya hingga tercekik.

Selama proses pelatihan, seluruh monyet yang lehernya masih dilingkari rantai tersebut digantung dengan posisi berdiri tegak selama enam sampai delapan jam. Di tengah lingkungan manusia, mereka dibuat tidak lagi berperilaku sesuai fitrah mereka.

Terlebih lagi umur monyet-monyet yang ditangkap itu masih terbilang kecil sehingga hewan tersebut tak lagi bisa bertemu dengan keluarganya. Pertimbangan umur pemilihan monyet dilakukan supaya memudahkan manusia untuk melatih mereka. 

Ketika monyet-monyet itu dinilai sudah cukup pintar, maka mereka diperjual-belikan kepada pawang topeng monyet. Mereka pun akan dibawa berkeliling kota untuk mementaskan keahlian yang didapat selama pelatihan demi mencari uang. 

baca juga

Mengetahui bagaimana latar belakang pentas topeng monyet itu akhirnya membuat masyarakat Indonesia semakin melek dengan eksploitasi hewan. Hal ini juga yang mendasari keputusan Jokowi, selaku gubernur DKI Jakarta tahun 2014, untuk memberantas pelaku topeng monyet di Jakarta.

Dilansir dari tribunnews.com, monyet-monyet tersebut akan dikonservasikan di Taman Margasatwa Ragunan. Selain menghentikan rantai eksploitasi hewan, pemerintah juga mencegah masyarakatnya terjangkit virus yang dibawa oleh binatang primata itu. Kebijakan ini akhirnya diikuti oleh daerah-daerah lainnya, terutama pulau Jawa. 

Namun, di sisi lain, ada yang tidak rela topeng monyet dilenyapkan karena menganggap atraksi tersebut masih berupa identitas kesenian Indonesia. Oleh sebab itu, mereka merasa perlu dilestarikan.

Memang di antara kontra, pasti ada kelompok yang pro, meski sudah mengetahui kenyataan pahitnya. Walau demikian, tak bisa dipungkiri, bahwa topeng monyet sendiri telah membekas sebagai nostalgia masa kecil di benak kita semua. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.