Sebanyak 272 koleksi benda cagar budaya telah diterima oleh Kementerian Kebudayaan Indonesia dari Duta Besar Kerajaan Belanda.
Penyerahan repatriasi tersebut dilakukan oleh Marc Gerritsen pada 17 Desember 2024 di Museum Nasional Indonesia
Diketahui bahwa 204 di antaranya merupakan benda bersejarah yang berasal dari Bali Selatan.
Benda-benda tersebut adalah koleksi Puputan Badung yang pernah dibawa saat Belanda melakukan serangan ke Kerajaan Badung dan Tabanan pada tahun 1906.
Perang yang terjadi antara Belanda dengan Kerajaan Badung dan Tabanan ini kurang lebih memakan korban sebanyak 7.000 masyarakat Badung.
Tidak hanya menyerang kerajaan, setelah pertempuran Belanda juga sempat membawa benda-benda pusaka dan senjata, serta beberapa arca dari kerajaan ke negara mereka.
Lalu, bagaimana sejarah perang Puputan Badung terjadi?
Latar Belakang Perang Puputan Badung
Perang Puputan Badung bermula dari laporan palsu seorang pedagang Tionghoa, Kwee Tek Tjiang kepada Raja Badung, I Gusti Gde Ngurah Denpasar, bahwa barang dagangannya dicuri oleh rakyat Badung.
Namun, sebenarnya barang dagangan yang dibawanya tersebut hanyut terbawa arus ketika sampai di dekat Sanur.
Saat itu, rakyat hanya membantu menolong perahu yang berisi dagangan Kwee Tek Tjiang dan tidak mengambilnya.
Kwee Tek TJiang kemudian menuntut Raja Badung untuk memberinya ganti rugi sebesar 300 ringgit dengan dasar bahwa barang dagangannya telah dicuri rakyat Badung.
Karena tidak ada bukti yang kuat, Raja Badung menolak untuk melakukan ganti rugi. Rakyat Badung saat itu juga sudah melakukan sumpah kejujuran yang membuat Raja Badung yakin bahwa rakyatnya memang tidak mencuri.
Peristiwa tersebut terdengar oleh pemerintah kolonial di Bali, khususnya Residen J.Esbach. Ia justru mendukung Raja Badung untuk memberikan ganti rugi pada Kwee Tek Tjiang.
Berita itu juga sempat didengar oleh Dewan Penasehat Hindia Belanda. Namun, Dewan Penasehat justru meringankan tuntutan ganti rugi dengan pertimbangan pemilik kapal memberikan laporan palsu.
Berdasarkan hal tersebut, tetap saja Raja Badung diharuskan membayar ganti rugi yang sebelumnya dituntutkan kepadanya.
Meskipun demikian, rakyat dan I Gusti Gde Ngurah Denpasar menolak untuk membayar ganti rugi tersebut karena mereka merasa berada dipihak yang benar.
Blokade Ekonomi hingga Konflik dengan Pemerintah Kolonial
Konflik ini terus terjadi hingga dua tahun lamanya dan membuat hubungan Kerajaan Badung dan pemerintah kolonial semakin memanas.
Hingga akhirnya pemerintah kolonial memberikan ultimatum batas pembayaran ganti rugi sampai 5 Januari 1906, Raja Badung tetap berpegang teguh pada pendiriannya.
Akibat penolakan tersebut, pemerintah kolonial melakukan blokade ekonomi pada Kerajaan Badung dengan cara mengirimkan pasukan angkatan laut ke perairan Badung.
Tindakan blokade ekonomi tersebut bertujuan agar para pedagang yang melakukan perdagangan di Badung menghentikan aktivitasnya.
Tidak hanya di perairan, pemerintah kolonial juga melakukan blokade ekonomi di wilayah daratan Badung dengan cara meminta bantuan kepada raja-raja di Bali Selatan.
Hal tersebut membuat hubungan antara Kerajaan Badung dan pemerintah kolonial semakin memburuk, terutama pada penghujung tahun 1906.
Puncaknya, dua bulan sebelum Kerajaan Badung jatuh, pada tanggal 17 Juli 1906 Gubernur Jenderal Van Heutsz mengirimkan surat kepada Raja Badung.
Surat tersebut berisi tentang pengulangan tuntutan pemerintah yang sebelumnya sudah dikirimkan pada Kerajaan Badung.
Dalam tuntutan tersebut Belanda juga menambah nominal ganti rugi yang harus dibayar menjadi 5.173 ringgit.
Surat ini tidak hanya diberikan pada Kerajaan Badung saja, tetapi juga ditunjukkan kepada Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung yang juga memihak Raja Badung.
Dalam surat tersebut, kedua pihak diberikan batas waktu untuk memberikan jawaban hingga 1 September 1906.
Jika keduanya tidak dapat memenuhi, maka gubernur jenderal mengancam akan mengambil tindakan secara militer.
Hingga saat batas waktu yang diberikan tiba, Raja Badung tetap pada pendiriannya dan tidak menanggapi ancaman dari gubernur jenderal.
Perang Puputan Badung
Akhirnya, pada tanggal 14 September 1906, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Rost van Tonningen mendarat di Pantai Sanur serta menduduki Pabean.
Hal itu tidak membuat pasukan dan rakyat Kerajaan Badung menjadi gentar. Sebab, sebelumnya mereka telah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Baru pada 15 September 1906, 5.000 pasukan Laskar Badung mulai siap bertempur dan mendekati Sanur serta menduduki Desa Taman I Inaran.
Pertempuran yang memakan waktu selama lima hari tersebut membuat pasukan Laskar Badung mulai kelelahan walaupun jumlah mereka lebih banyak daripada pasukan Belanda.
Hal ini dikarenakan saat itu pasukan kolonial sudah menggunakan peralatan tempur yang canggih sehingga membuat pasukan dari Badung lama-lama berkurang.
Hingga tanggal 20 September 1906 setelah menduduki Puri Kesiman dan Pemecutan, pasukan Belanda mulai bergerak menuju pinggiran Desa Sumerta.
Mereka mulai menghancurkan Puri Denpasar dan Pemecutan dengan meriam hingga meluluhlantakan benteng pertahanan.
Sementara itu, keluarga kerajaan yang masih berkumpul di Puri Denpasar keluar membawa senjata dan tombak untuk menyerang pasukan Belanda.
I Gusti Gde Ngurah Denpasar Raja Badung yang juga ikut dalam pertempuran, akhirnya gugur.
Namun, hal ini tidak membuat pasukan dari Badung menyerah, mereka justru melanjutkan penyerbuannya sampai akhir hayat.
Hal inilah yang membuat pertempuran tersebut dinamakan puputan yang memiliki arti bertempur hingga darah penghabisan.
Pertempuran Puputan Badung memakan korban kurang lebih 7.000 orang, baik yang luka maupun gugur, mereka merupakan rakyat Badung beserta keluarga kerajaan.
Sedangkan, dari pihak Belanda hanya menewaskan 4 orang terbunuh dan 11 orang lainnya luka ringan dan parah.
Jatuhnya Pemecutan pada tanggal 20 September 1906 menjadi tanda jatuhnya Kerajaan Badung ke tangan pemerintah kolonial Belanda.
Dua hari setelah jatuhnya kerajaan, rakyat Badung diminta oleh pemerintah kolonial untuk menyerahkan ratusan senjata dan senapan sebagai hasil dari ekspedisi kelapa.
Selain merampas senjata dari kerajaan, ekspedisi kelapa juga membawa sejumlah tahanan perang.
Rampasan perang tersebut disimpan di Museum Rotterdam, Belanda dan kini telah direpartiasi atau dikembalikan di Museum Nasional Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News