Tik… (suara tuts Enter yang ditekan)
"GoldWave. Untitled. Edit area," bisik program pembaca layar di telinga Fakhry.
Bak seorang teman lama, suara itu menyambutnya di halaman utama software editing audio favoritnya. Software itu selalu setia menemani setiap sesi editing yang ia jalani. Bunyi dan irama yang ia dengar bak potongan puzzle–harus disusun hati-hati agar menjadi karya utuh. Dengan jari-jemari yang menari di atas keyboard, Fakhry mulai mengedit audio dengan antusias.
“Kalau suaranya sudah seimbang, berarti sudah sesuailah dengan yang diharapkan,” ungkap Fakhry sambil tersenyum.
Fakhry Muhammad Rosa adalah pria dengan low vision berat sejak lahir. Namun, tantangan ini tak pernah menghalangi semangat hidupnya. Ia membuktikannya dengan mulai menyukai musik sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD).
“Saya mulai belajar musik sejak kelas empat SD,” kenang Fakhry.
Kemampuannya dalam bermusik tak bisa diremehkan. Ia sering tampil bersama teman-teman band-nya di acara-acara Yayasan Mitra Netra, acara-acara resmi pemerintah, dan acara pernikahan.
Ketertarikannya pada musik membawanya ke dunia perekaman dan pengeditan audio. Empat tahun setelah mengenal musik, tepatnya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), ia mulai mendalami bidang tersebut.
Perangkat lunak pengeditan audio pertama yang ia gunakan adalah GoldWave. Awalnya, Fakhry menggunakan perangkat lunak itu untuk mengompres fail MP3 agar ukurannya lebih kecil.
“Zaman dulu kapasitas kartu memori kecil, jadi teman-teman sering minta tolong kompres MP3 biar muat banyak,” ceritanya sambil tertawa.
Dari kegiatan sederhana tersebut, Fakhry mulai penasaran untuk menjelajahi lebih dalam kemampuan GoldWave dan perangkat lunak audio lainnya.
“Awalnya tahu dari teman-teman, lalu coba-coba sendiri. Saya juga ikut forum di internet buat cari tahu cara kerjanya,” ungkapnya.
Sejak SMP, ia belajar mengedit audio secara autodidak dan terus mengasah keterampilannya hingga kini.
Belajar mengedit audio dengan keterbatasan visual menjadi tantangan tersendiri bagi Fakhry. Ia memilih GoldWave karena perangkat lunak ini memiliki add-on khusus untuk pembaca layar (screen reader).
Dengan bantuan pembaca layar, Fakhry dapat mendengarkan setiap elemen menu dan tombol di layar laptopnya. Meski tak bisa melihat gelombang suara, ia sepenuhnya mengandalkan pendengarannya sebagai alat utama.
“Orang awas kan bisa lihat gelombang suaranya. Kalau saya cukup pakai telinga saja,” jelasnya.
Meskipun GoldWave cukup ramah bagi tunanetra, tidak semua perangkat lunak audio mudah diakses.
“Software seperti Cubase belum bisa dipakai karena belum ada add-on-nya,” jelas Fakhry.
Ketika software sulit diakses, ia harus mencari alternatif lain. Jika tidak ada, ia bergantung pada komunitas internasional untuk membuat add-on.
“Di sini (Indonesia) belum ada yang bikin add-on, jadi saya sering cari alternatif software lain,” tambahnya.
Dua puluh dua tahun sudah Fakhry menggeluti bidang pengeditan audio. Fakhry melihat potensi besar di bidang ini bagi tunanetra. “Sebenarnya editing audio bisa jadi lahan pekerjaan yang cukup menjanjikan,” katanya.
Menurut Fakhry, pekerjaan, seperti podcaster, pengedit podcast, dan mixing serta mastering audio sangat cocok bagi tunanetra. Hal ini disebabkan karena mereka lebih mengandalkan ketelitian pendengaran dibandingkan visual. Fakhry juga mengenal beberapa tunanetra yang bekerja di home recording studio. Mereka menggunakan perangkat lunak Reaper, yang juga memiliki add-on untuk pembaca layar.
Optimisme Fakhry sejalan dengan pemikiran Loes Van Dam, Dosen Psikologi di University of Essex, yang dipublikasikan di The Conversation.
Dilansir dari Theconversation.com, keunggulan tunanetra dalam pendengaran menjadi faktor penting dalam memanfaatkan peluang ini. Ketika input visual hilang, otak tunanetra menyesuaikan korteks visualnya untuk lebih responsif terhadap informasi dari indera lain, salah satunya indera pendengaran.
Proses ini membuat tunanetra lebih unggul dalam tugas-tugas yang mengandalkan pendengaran, seperti mengenali arah dan sumber suara.
Selain belajar musik dan pengeditan audio secara autodidak, Fakhry juga menjadi klien Yayasan Mitra Netra sejak 2002. Selama bergabung, Fakhry merasakan banyak manfaat.
“Asiksih, Mitra Netra itu ibaratnya jadi wadah tempat saya berkembang. Salah satu tempat yang membuat saya banyak mempelajari sesuatu,” ujarnya.
Baginya, Mitra Netra tidak hanya membantu mengasah keterampilannya, tetapi juga membuka lebih banyak kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan belajar hal-hal baru.
Pada 2023, Fakhry mengikuti pelatihan podcast bagi tunanetra. Kegiatan hasil kerja sama antara Universitas Multimedia Nusantara dan Yayasan Mitra Netra ini berupaya meningkatkan partisipasi tunanetra di masyarakat luas, khususnya di bidang podcast.
Pelatihan ini termasuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Republik Indonesia.
Spesialnya, tahun ini Fakhry menjadi salah satu pembimbing pelatihan di bidang pengeditan audio berkat kemampuan pengeditan audio yang sudah ia asah sejak kecil. Kelvin Ronaldo, salah satu peserta yang karyanya diedit oleh Fakhry, memberikan apresiasi terhadap hasil kerja Fakhry.
“Pendapat saya, hasil editan dari Kak Fakhry itu sangat bagus, sangat baik. Hasilnya sesuai ekspektasi. Bagus-bagus,” ungkap Kelvin dengan antusias.
Fakhry berharap ke depannya akan ada program pelatihan audio yang lebih mendalam, seperti mixing dan mastering audio.
“Mungkin ke depannya mau belajar tentang mixing dan masteringgitu, lebih ke produk audio, sih,” ucap Fakhry dengan penuh harapan.
Fakhry juga berharap teman-temannya di Mitra Netra juga mengikuti semangatnya dalam meningkatkan rasa ingin tahu di bidang pengeditan audio. “Mungkin teman-teman di Mitra Netra bisa lebih banyak ngulik audio editing. Saya yakin ke depannya audio editing ini bisa jadi salah satu pekerjaan yang menjanjikan,” kata Fakhry penuh optimisme.
Menurutnya, semakin banyak tunanetra yang belajar pengeditan audio, semakin besar kemungkinan pengembang aplikasi memperhatikan aspek aksesibilitas dalam produk mereka.
“Kalau lebih banyak yang ngulik, pasti akan lebih asik. Mungkin nanti developer juga akan mulai mikirin soal aksesibilitas karena banyak yang pakai,” tambahnya.
Aksesibilitas tak dipisahkan dari dukungan masyarakat terhadap tunanetra. Fakhry menekankan pentingnya dukungan ini, terutama di lingkungan pekerjaan. “Kadang orang ragu, apa bisa? Padahal ya tinggal kasih kesempatan dulu, lihat aja gimana kami bekerja,” tegasnya.
Menurut Fakhry, dukungan langsung dan keterlibatan aktif jauh lebih berarti daripada sekadar rasa penasaran atau simpati.
Selain gemar dalam bidang musik dan pengeditan audio, Fakhry juga aktif di kanal YouTube pribadinya, Fakhry Muhammad Rosa, tempat ia membuat konten ulasan gawai dan aplikasi dengan fokus pada aksesibilitas bagi tunanetra.
Beberapa aplikasi populer, seperti Tokopedia dan Grab, pernah ia ulas bersama dengan berbagai ponsel pintar dan teknologi lainnya. Selain mengulas teknologi, tak lupa Fakhry juga kerap mengunggah rekaman pertunjukan band-nya.
Bagi Fakhry, tampil bersama band tidak hanya soal bersenang-senang, tetapi juga bukti bahwa keterbatasan tidak menjadi penghalang untuk tetap produktif dan kreatif.
Penulis: Ryan Chen, Keira Putri Minerva, dan Athaya Hana Mumtaza (Mahasiswa Digital Journalism, Universitas Multimedia Nusantara)
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News