Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis) menjadi sorotan usai Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan keinginannya untuk menambah lahan sawit dalam pidatonya di Musyawarah Pembangunan Nasional Bappenas, Senin (30/12/2024).
Orang nomor satu di Indonesia itu, bahkan menghimbau masyarakat agar tidak takut deforestasi karena nantinya digantikan tanaman sawit. Menurutnya, sawit adalah pohon yang bisa menyerap karbondioksida.
Namun, seberapa efektif sawit dibandingkan dengan hutan tropis dalam menyerap CO₂, dan bagaimana dampaknya terhadap ekosistem?
Kemampuan Pohon Kelapa Sawit Menyerap Karbon Dioksida
Sebagai tanaman, pohon sawit memiliki kemampuan untuk menyerap CO₂ melalui proses fotosintesis.
Penelitian oleh Agus et al. (2013) menunjukkan bahwa perkebunan sawit dewasa dapat menyerap sekitar 40-60 ton CO₂ per hektar per tahun. Angka ini tampaknya sebanding dengan beberapa jenis hutan tanaman monokultur lainnya.
Namun, ketika dibandingkan dengan hutan tropis, kemampuan ini jauh lebih rendah. Hutan tropis, menurut laporan FAO (2015), dapat menyerap hingga 200 ton CO₂ per hektar per tahun.
Hal ini disebabkan oleh keragaman vegetasi dan lapisan pohon yang lebih kompleks di hutan tropis, yang memungkinkan penyimpanan karbon lebih besar di biomassa dan tanah.
Dampak Perkebunan Sawit terhadap Ekosistem
Meski pohon sawit memiliki kemampuan menyerap CO₂, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seringkali melibatkan deforestasi. Hal ini menurut beberapa ahli mengakibatkan dampak negatif berikut.
- Kehilangan Keanekaragaman Hayati
Menurut Fitzherbert et al. (2008), konversi hutan tropis menjadi perkebunan sawit menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati hingga 50-90%. Banyak spesies endemik kehilangan habitatnya, termasuk orangutan, harimau sumatera, dan gajah. - Peningkatan Emisi Karbon
Pembukaan lahan dengan pembakaran atau pengeringan lahan gambut melepaskan karbon yang tersimpan dalam tanah. Page et al. (2011) mencatat bahwa konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit dapat menghasilkan emisi karbon hingga 2.000 ton CO₂ per hektar. - Kerusakan Siklus Hidrologi
Perkebunan sawit cenderung memiliki sistem akar dangkal yang kurang efektif dalam mempertahankan air tanah, dibandingkan dengan hutan alami yang menjaga keseimbangan siklus hidrologi.
Manfaat Lingkungan dari Pohon Sawit
Meski memiliki banyak dampak buruk, sawit juga memberikan beberapa manfaat bagi lingkungan, jika dikelola secara berkelanjutan.
Minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku bioenergi, menggantikan bahan bakar fosil. Ini berpotensi mengurangi emisi karbon jika dilakukan tanpa merusak lahan gambut atau hutan primer (Wicke et al., 2008).
Sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling produktif, menghasilkan 4-10 kali lebih banyak minyak per hektar dibandingkan tanaman lainnya seperti kedelai atau rapeseed (Carrasco et al., 2014).
Hal ini berarti sawit dapat memenuhi kebutuhan minyak nabati global dengan penggunaan lahan yang lebih kecil, jika pengelolaannya tepat.
Referensi
- Agus, F., Gunarso, P., Sahardjo, B. H., Harris, N., & van Noordwijk, M. (2013). "Historical CO₂ emissions from land use and land-use change in Indonesia." Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 18(3), 407-420.
- Fitzherbert, E. B., Struebig, M. J., Morel, A., et al. (2008). "How will oil palm expansion affect biodiversity?" Trends in Ecology & Evolution, 23(10), 538-545.
- Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). "Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool." Global Change Biology, 17(2), 798-818.
- Wicke, B., Sikkema, R., Dornburg, V., & Faaij, A. (2008). "Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia." Land Use Policy, 25(3), 480-490.
- Carrasco, L. R., Larrea-Alcázar, D. M., & Hughes, A. C. (2014). "Land sparing and biodiversity conservation in palm oil landscapes." Conservation Biology, 28(2), 325-334.
- FAO. (2015). "Global Forest Resources Assessment."
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News