cornelis chastelein pejabat voc baik hati yang memerdekakan kawasan depok - News | Good News From Indonesia 2025

Cornelis Chastelein, Pejabat VOC Baik Hati yang Memerdekakan Kawasan Depok

Cornelis Chastelein, Pejabat VOC Baik Hati yang Memerdekakan Kawasan Depok
images info

Cornelis Chastelein, Pejabat VOC Baik Hati yang Memerdekakan Kawasan Depok


Saat mendengar nama Kota Depok, Kawan akan banyak mendengarkan kisah unik yang terjadi di wilayah tersebut. Siapa sangka, Kota yang berbatasan langsung dengan wilayah selatan Jakarta ini telah merdeka sebelum negara Indonesia berdiri dan kemerdekaannya digagas oleh petinggi VOC pada saat itu.

Cornelis Chastelein, seorang seorang pejabat tinggi dari kongsi dagang Belanda yang dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah sosok dibalik berdirinya Negara Depok pada saat itu. Chastelein adalah seorang warga Belanda keturunan Prancis yang memegang peran signifikan dalam kongsi dagang VOC. Pada tahun 1675, ia bertugas sebagai pencatat tata kelola buku perdagangan dan bisnis.

baca juga

Berbeda dengan sikap para petinggi VOC lainnya, dirinya dikenal sebagai tokoh agamis yang baik hati. Perbedaan sikap dan pandangannya tersebut juga yang membuat dirinya memutuskan untuk keluar dari kongsi dagang Belanda tersebut dan memutuskan menjadi pengusaha dan membeli tanah di selatan Jakarta. 

Mengutip Nationalgeographic.grid.id, Cornelis berpandangan bahwa penerapan kerja paksa dan perlakuan tidak adil terhadap pekerja dianggapnya sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Menurutnya, sebuah koloni akan lebih sejahtera dan stabil apabila penduduknya diperlakukan dengan adil dan tidak mengalami penindasan.

Selain itu, dirinya juga menganggap bahwa Penduduk asli perlu dilibatkan dalam proses pembangunan. Menurut pandangannya, VOC kurang memanfaatkan kesempatan ini, atau bahkan sama sekali tidak melakukannya, sementara para pangeran dan bupati lokal cenderung mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

KawanGNFI penasaran dengan sejarahnya? Yuk, simak rangkumannya di bawah ini!

Mewariskan Tanah Kepada Para Budaknya

Merujuk Tirto.id, Cornelis Chastelein mengundurkan diri dari VOC pada 24 September 1691 setelah Willem van Outhoorn dilantik sebagai Gubernur Jenderal. Meski berstatus saudagar kelas dua dengan gaji tinggi, Chastelein menolak pandangan van Outhoorn yang ia nilai terlalu ambisius dan cenderung mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan dampak sosial. 

Setelah keluar dari VOC, Chastelein mulai membeli tanah di Batavia, termasuk di utara Benteng Noordwijk (1693), Seringsing (1695), dan Depok (1696). Lahan-lahan tersebut ia manfaatkan untuk mengembangkan perkebunan tebu, kopi, nila, serta kebun buah. Sebagian besar pengelolaan dilakukan oleh budak yang ia datangkan dari Bali. 

Hingga tahun 1704, Chastelein telah memiliki banyak lahan di Weltevreden, wilayah yang kini meliputi Gambir, Pasar Baru, dan Pasar Senen. Selain itu, ia juga menerima hadiah tanah dari Pemerintah Belanda di Mampang (1696) dan Karang Anyer, kini dikenal sebagai Cinere (1711). Wilayah-wilayah ini berada di tepi barat Sungai Ciliwung dan dikelola dengan visi membangun masyarakat pertanian yang mandiri dan makmur.

Pada Juni 1705, Chastelein menulis sebuah memorandum berjudul Invallende Gedaten atau Buah Pikiran. Dalam tulisan ini, ia menentang kebijakan VOC yang berorientasi pada eksploitasi komersial dan mendorong otonomi bagi penduduk lokal yang bertentangan dengan kebijakan kolonial pada masanya. Setelah van Outhoorn lengser pada 1705, Chastelein kembali ke VOC sebagai anggota Raad van Indië, sebuah dewan yang bertugas memberikan pengawasan dan nasihat kepada Gubernur Jenderal.

Pada 1696, dua bulan setelah membeli tanah di Depok, Chastelein menulis surat wasiat pertamanya, berisi tentang masa depan para budaknya. Surat ini disempurnakan pada 1701 dengan menekankan bahwa Hindia Belanda seharusnya menjadi koloni yang berkelanjutan melalui pengembangan masyarakat lokal. Pada Mei 1708, ia merevisi wasiatnya, menegaskan pembebasan budak-budaknya di Depok serta memberikan kepemilikan kolektif atas perkebunan di Mampang, Depok, Karang Anyer, dan beberapa tanah lain di sekitar Sungai Ciliwung.

Wabah malaria yang melanda Batavia pada 1714 berdampak pada kesehatan Chastelein. Ia menyusun wasiat terakhir pada 13 Maret 1714, menegaskan pembebasan budak Kristen yang terdiri dari 12 keluarga: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Loen, Leander, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh. Para budak ini berasal dari Bali, Makassar, Surabaya, Koromandel, Lombok, dan Benggala, dengan total mencapai 150–200 orang. Mereka dibebaskan dan menerima warisan tanah untuk dikelola secara kolektif.

Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 akibat wabah tersebut. Warisannya menjadi fondasi bagi komunitas awal di Depok, yang dibentuk oleh para budak yang telah dibebaskan.

Terbentuknya Daerah Otonom Khusus Depok

Setelah Cornelis wafat di usia 56 tahun, sebuah surat wasiat darinya akhirnya dibuka oleh kerabatnya. Surat tersebut berisikan pembebasan 150-200 budaknya yang kebanyakan dari mereka merupakan Kristen Protestan hasil pendidikan Cornelis Chastelein. 

Selain membebaskan budaknya, Chastelein juga memberikan lima bidang tanah di Depok kepada mereka. Tanah-tanah yang dibeli atau diterimanya dari pemerintah Batavia itu dikelola bersama oleh budak yang dibebaskan, meskipun sebagian besar akhirnya menjadi milik pribadi.

Dalam bagian 'codicillary disposition' yang ditambahkan pada surat wasiatnya, Chastelein menetapkan berbagai aturan mengenai cara hidup bersama dan pengelolaan perkebunan oleh budak yang dibebaskan di Depok. Contohnya, ia mengharuskan rekonstruksi rumah yang rusak akibat kebakaran di Depok untuk dilakukan dengan biaya bersama dari para pemegang saham perkebunan.

Chastelein menempatkan budak-budaknya secara kolektif di Depok dan memberi mereka tugas serta kekuasaan administratif dan yudisial, tetap ini ditentang keras oleh pemerintah Batavia. Pada 1844, keluarga Grovinius yang merupakan keturunan Chastelein mengeklaim kepemilikan Depok dan menolak hak para pribumi sebagai pemegang saham tanah tersebut. Penolakan Dewan Hindia mengakibatkan para pribumi yang sudah memiliki hak atas tanah tersebut terpaksa meninggalkan Depok, yang menarik perhatian pemerintah Hindia.

Pada 1850, Mahkamah Agung Hindia Belanda membatalkan keputusan Dewan Hindia 1714, memberi hak penuh dan kendali kepada keturunan budak Chastelein atas tanah Depok. Namun, kehidupan mereka tidak mudah karena kondisi kemiskinan yang dialami. Beruntung, peran gereja di Depok membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seiring waktu, sekolah-sekolah dan seminari didirikan, melatih lebih dari 500 misionaris pribumi antara 1878 hingga 1926.

Setelah kematian Chastelein, Depok menjadi satu-satunya daerah otonom di wilayah jajahan Belanda yang dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih dari keturunan 12 marga tersebut. Selama masa kolonial Belanda hingga kemerdekaan Indonesia, Depok dipimpin oleh lima presiden.

baca juga

Setelah Indonesia merdeka, keturunan bekas budak Chastelein dianggap tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini memicu peristiwa Gedoran, yang berakhir dengan penahanan warga Depok yang masih berbahasa Belanda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.