Abdurrahman Mohammad Fachir adalah eks diplomat yang kenyang pengalaman bekerja di sejumlah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Salah satunya di KBRI Baghdad, Irak, di mana ia bertugas pada 1988 sampai 1992. Pengalaman berharga didapat Fachir kala mengabdi karena saat itu Gulf War (Perang Teluk I) tengah bergolak antara Irak dengan Kuwait.
Peran Fachir penting saat mengabdi di KBRI Baghdad yang mesti terus beroperasi kala konflik tengah. Bersama rekan-rekannya, ia tetap berada di sana membantu Warga Negara Indonesia (WNI) yang terkena dampak perang.
Selain Irak, Fachir juga pernah menjadi penerjemah resmi Presiden Megawati Sukarnoputri pada 2002-2004. Kemudian, tugas-tugas lain juga diembankan ke Fachir. Ia pernah menjadi Wakil Kepala Perwakilan di Malaysia dan juga Duta Besar RI di Mesir.
Pada 2014, ketika Indonesia dipimpin Joko Widodo, Fachir masuk dalam Kabinet Kerja. Jabatan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia diamanatkan kepadanya untuk periode 2014-2019. Karena jasa dan pengabdiannya yang lama di bidang hubungan luar negeri, ia pun mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama pada 2020 lalu.
Fachir sebagai diplomat namanya sudah dikenal. Namun, beberapa tahun terakhir ia menjadi wajah Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Seluk beluk PMI pun diketahui olehnya termasuk saat menyalurkan bantuan ke negara terdampak konflik seperti Palestina.
Bantuan Barang Tidak Diloloskan Israel
Kabar duka tersiar dari Rafah, sebuah kota di sebelah selatan Jalur Gaza, Palestina pada akhir Mei 2024 lalu. Sekitar puluhan orang yang sebagian besar perempuan dan anak-anak dilaporkan tewas akibat serangan brutal yang dilancarkan militer Israel ke kawasan penuh penduduk kota itu.
PMI pun bergerak cepat memberikan bantuan. Donasi dari rakyat Indonesia dikumpulkan dan dikirim langsung ke sana lewat relawan PMI.
Menurut Fachir, orang Indonesia lebih suka memberikan sumbangan dalam bentuk benda atau barang. PMI menerima itu, tapi kesulitan pun kerap terjadi saat tiba di lokasi. Ketika ia di Rafah saat menyalurkan donasi batch kedua misalnya, ia melihat gudang penuh barang yang tidak diperbolehkan oleh militer Israel.
“Ada selimut yang tahan minus lima derajat itu ditolak juga oleh Israel karena warnanya hijau, warna militer. Itu juga rejected. Bayangkan padahal itu diperlukan,” ucap Fachir kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Selain selimut, barang berupa anestesi dan mesin juga tidak diperkenankan masuk ke Palestina. Oleh karena itu, Fachir berpesan kepada masyarakat Indonesia agar baiknya memberi donasi bukan dalam berupa barang.
“Makanya sejak awal kita bilang, kita discourage, lebih bagus jangan barang. Sama sebenarnya di Indonesia juga kayak gitu. Kita kan punya 16 gudang di seluruh Indonesia, ketika ada keperluan darurat kita belinya di sana. Jadi juga menggerakkan ekonomi lokal,” kata sosok lulusan UIN Syarif Hidayatullah tersebut.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News