jejak sejarah festival menombak macan mengungkap tradisi rampogan kuno di blitar - News | Good News From Indonesia 2025

Jejak Sejarah Festival Menombak Macan, Mengungkap Tradisi Rampogan Kuno di Blitar

Jejak Sejarah Festival Menombak Macan, Mengungkap Tradisi Rampogan Kuno di Blitar
images info

Jejak Sejarah Festival Menombak Macan, Mengungkap Tradisi Rampogan Kuno di Blitar


Di tengah sorak sorai festival, di mana ratusan penonton berkumpul, terdapat momen-momen dramatis yang menegangkan sebuah pertarungan antara keberanian manusia dan kekuatan predator megah. Namun, di balik kegembiraan itu, tersembunyi cerita tentang penghormatan, ketakutan, dan dampak yang mendalam terhadap keberadaan harimau di tanah Jawa.

Mengapa tradisi kuno ini, yang pernah dianggap sakral, kini sering dipandang sebagai hiburan semata? Apa makna di balik pertarungan ini bagi masyarakat Jawa, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup harimau?

Mari kita selami lebih dalam untuk memahami warisan budaya yang menggugah ini, di mana setiap tombak yang dihunus membawa kisah tentang cinta, benci, dan perjuangan melawan penjajahan.

Di antara tahun 1890 hingga 1925, Festival Rampogan Macan menjadi salah satu simbol budaya yang mencolok di Jawa, memperlihatkan interaksi kompleks antara manusia dan harimau. Festival ini bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat pada masa itu

Jejak Sejarah Festival Menombak Macan

Melansir dari situs National Geographic Indonesia, di tengah gemuruh festival, seorang ilmuwan petualang bernama Franz Wilhelm Junghuhn melukiskan momen menakjubkan dari tradisi penombakan macan yang penuh warna dan kegembiraan.

Dalam pengembaraannya yang melintasi perbukitan, desa, sungai, dan gunung, Junghuhn tiba di alun-alun Surakarta, di mana ia menemukan tradisi unik yang dikenal sebagai Volkfeest Rampok atau Festival Rakyat Rampok.

Junghuhn mencatat tentang festival ini:

"Sebuah festival rakyat di mana harimau atau macan kumbang, diiringi musik gamelan, dipojokkan dan digantung pada tombak." tulis Lex Veldhoen dalam artikel Franz Junghuhn, de ‘Humboldt van Java’, terbitan 18 November 2024.

Tradisi Rampogan ini telah ada sejak lama di Blitar dan memiliki sejarah yang dinamis. Dalam karya akhir Nirmala Agustianingsih, tradisi ini dikenal sebagai Rampogan Macan. Meskipun Junghuhn menyebutnya rampok, istilah yang digunakan di Blitar adalah rampog, yang berarti rebutan, di mana ratusan orang berjuang untuk menombak harimau.

Rahardi, seorang seniman Blitar yang diwawancarai Nirmala, menjelaskan bahwa festival pertama Rampogan Macan diadakan untuk menjamu tamu Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam pertunjukan ini, prajurit bersenjata tombak diperintahkan untuk menombak macan, dan acara ini disaksikan oleh banyak orang.

Perbedaan Pelaksanaan di Surakarta dan Blitar

Berbeda dengan Surakarta, di Blitar, festival ini diadakan pada Hari Raya Idul Fitri dengan tujuan menghibur masyarakat. Di sini, penombak menggunakan bambu runcing, menciptakan suasana yang lebih mendebarkan. Rakyat biasa, yang tidak terlatih, berusaha menyergah sang macan, berbeda dengan prajurit keraton yang sudah mahir.

Para penombak, dikenal sebagai gandek, menghadapi risiko besar. Pada tahun 1894, terjadi insiden dramatis ketika seorang gandek meleset menombak, dan harimau melesat ke arah penonton. Kegembiraan suasana tiba-tiba berubah menjadi kepanikan saat ratusan penonton berhamburan lari.

Sejarawan R. Kartawibawa menggambarkan momen tersebut dengan hidup, di mana harimau yang terluka mengaum menambah ketegangan. Banyak penonton terpisah dari pasangan dan anak-anak mereka, sementara pedagang hanya bisa melihat dagangannya hancur diterjang oleh orang-orang yang panik.

Sayangnya, tidak ada catatan tentang berapa banyak korban jiwa dari tragedi ini. Pada tahun 1901,Sir Stamford Raffles melarang tradisi rampogan, mengklaim bahwa kegiatan tersebut merusak populasi harimau dan habitatnya.

Simbol dan Makna Tradisi Rampogan

Dilansir dari Mongabay, simbolisme antara harimau dan manusia di Jawa telah terjalin erat selama berabad-abad. Keduanya berbagi ruang hidup layaknya tetangga, namun bagi masyarakat, harimau lebih dari sekadar hewan; mereka dianggap sebagai saudara atau leluhur, sering disebut dengan istilah seperti nenek, datuk, atau guda (dalam bahasa Sansekerta).

Harimau juga melambangkan kebangsawanan di mata orang Jawa, meskipun maknanya berubah seiring waktu. Dalam tradisi rampogan, harimau diangggap sebagai representasi kejahatan yang perlu disingkirkan, dengan pelaksanaan rampogan sering kali berkaitan dengan dimensi keagamaan, terutama setelah bulan Ramadan. Meski ditakuti dan dibenci, harimau hanya boleh dibunuh pada saat lebaran Idul Fitri.

Dalam konteks perjuangan melawan penjajahan, rampogan macan menggambarkan konflik antara orang Jawa dan Belanda, dengan kerbau atau banteng melambangkan pihak Jawa, sedangkan harimau diibaratkan sebagai penjajah.

Selain itu, perkelahian antara harimau dan satwa lain juga tercatat di berbagai budaya Asia Tenggara, menunjukkan bahwa tradisi ini tidak hanya berlangsung di Jawa.

Makna tradisi rampogan sendiri telah berubah seiring waktu. Awalnya, upacara ini bersifat sakral, namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini bertransformasi menjadi hiburan semata.

Menurut Wessing, tradisi ini sudah ada sejak abad ke-17 dan berakhir pada dekade awal abad ke-19. Peneliti Peter Boomgard menambahkan bahwa rampogan macan mulai muncul sejak 1605 dan berakhir pada 1906, menyoroti dampak tradisi ini terhadap lenyapnya harimau Jawa dari habitat aslinya.

Terdiri dari Dua Babak Menegangkan

Tradisi rampogan macan terbagi menjadi dua bagian. Pertama, perkelahian antara harimau dengan kerbau (Bubalus bubalis) dan banteng (Bos sundaicus), sebelum dihapus dalam perkembangan selanjutnya. Wessing mencatat bahwa di keraton kasunanan Surakarta, kerangkeng kayu berbentuk lingkaran disiapkan di alun-alun untuk menampung kerbau hias dan harimau.

Sebagai contoh, John Crawfurd mencatat,

"Saya menyaksikan sendiri, pada kesempatan pertama, kerbau berhasil mematahkan rusuk harimau di dalam kandang. Dia (harimau) pun mati. Namun kerbau tidak selalu beruntung." Sebagaimana dilansir dari Mongabay

Untuk memancing kemarahan, harimau disundut dengan kayu yang terbakar, sementara kerbau diberi cabai dan daun jelatang.

Prosesi kedua, adalah rampog macan, pertarungan tidak seimbang antara harimau dan ribuan manusia bersenjata tombak. Alun-alun dipenuhi 2.000 hingga 3.000 orang yang bersiap menghadapi harimau. Saat harimau dilepas, gamelan dimainkan, menambah dramatis suasana. Harimau berusaha melarikan diri, tetapi tombak-tombak sudah siap menyambutnya.

Wessing juga menulis bahwa kadang-kadang harimau berhasil lolos dari kepungan. Jika berhasil, harimau akan dibiarkan bebas, menunjukkan betapa kompleks dan dramatisnya tradisi ini. Di balik semua ini, terdapat semangat melawan imperialisme Belanda. Tombak dan bambu runcing yang diarahkan kepada harimau melambangkan kemarahan rakyat terhadap penjajahan.

Namun, pada tahun 1923, tradisi Rampogan Macan mulai memudar di Jawa Timur. Pertunjukan pembantaian harimau di alun-alun Blitar dan Kediri tidak lagi diadakan, meninggalkan jejak sejarah yang menarik namun penuh kontroversi.

Masyarakat di Jawa memiliki hubungan yang kompleks dengan harimau Jawa. Di satu sisi, harimau dihormati sebagai simbol leluhur, sedangkan di sisi lain, mereka dianggap sebagai musuh yang mengancam jiwa. Tradisi rampogan ini, meski pernah memiliki makna sakral, kini mengingatkan kita akan dampak besar yang ditimbulkan pada keberadaan harimau Jawa.

Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah budaya, tetapi juga menyoroti hubungan yang rumit antara manusia dan alam.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SH
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.