Jika Kawan GNFI berkunjung ke kawasan Kota Tua Jakarta, Museum Wayang menjadi salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Museum Wayang berlokasi di Jalan Pintu Besar Utara Nomor 27, Jakarta Barat, tepat di deretan bangunan sebelah kiri Museum Fatahilah.
Sama seperti museum-museum lainnya di Kawasan Wisata Kota Tua Jakarta, Museum Wayang juga menyimpan banyak cerita. Penasaran dengan ceritanya? Yuk, kita simak penjelasannya.
Gereja Pertama di Batavia
Menurut buku Gereja-Gereja Tua di Jakarta karya Adolf Heuken, bangunan Museum Wayang dulunya merupakan gereja pertama di Batavia. Gereja ini didirikan oleh Verenigde Oost Compagnie (VOC) pada tahun 1640 dengan nama de oude Hollandsche Kerk. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat ibadah bagi para penduduk Belanda kala itu.
Pada tahun 1732, bangunan ini direnovasi dan mengalami beberapa perubahan. Namanya berganti menjadi de nieuwe Hollandsche Kerk. Bangunan ini tetap berfungsi sebagai gereja hingga tahun 1808.
Alih Fungsi Pertama
Pada tahun 1808, sebuah gempa bumi merusak gereja tersebut. Di lokasi yang sama, kemudian dibangun sebuah gedung yang difungsikan sebagai gudang milik perusahaan Geo Wehry & Co.
Tahun 1912, bagian depan bangunan dirombak menjadi bergaya Neo Renaissance. Berlanjut pada 1938, gedung ini disesuaikan dengan gaya Belanda pada zaman kolonial.
Lalu, tepat tanggal 14 Agustus 1936, gedung Museum Wayang ditetapkan sebagai monumen berdasarkan Monumen Ordonantie. Museum ini dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga independen yang bertujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan.
Tak berselang lama, lembaga tersebut menyerahkan gedung pada Stichting oud Batavia setahun setelahnya, yang kemudian menjadi museum bernama De Oude Bataviasche Museum (Museum Batavia Lama). Museum Batavia Lama diresmikan oleh onkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van Starkenborg Stachouwer, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir pada 22 Desember 1939.
Riwayat Bangunan Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1957, museum ini diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) dan berganti nama menjadi Museum Jakarta Lama. Kemudian, LKI menyerahkannya kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang pada tahun 1968 meneruskannya kepada Pemerintah DKI Jakarta.
Akhirnya, pada tanggal 13 Agustus 1975, Gubernur Jakarta kala itu, Ali Sadikin, meresmikan gedung tersebut dengan nama Museum Wayang Jakarta.
Sisa-Sisa Masa Kini
Hingga kini, Museum Wayang masih menyimpan sembilan prasasti makam milik para pejabat Belanda. Pada masa awal pendudukan Belanda di Batavia, para pejabat biasanya dimakamkan di dekat gereja.
Apabila Kawan GNFI mengunjungi Museum Wayang, Kawan dapat melihat adanya beberapa prasasti nisan. Di gedung ini dimakamkan Jan Pieter Zoon Coen, 18 Gubernur Jenderal, serta para pejabat VOC bersama istri dan keluarga mereka.
Mengutip dari Laporan Penelitian Lilie Suratminto berjudul Kronik, Seni, dan Penggunaan Bahasa Pada Batu Makam Belanda di Museum Wayang Jakarta: Suatu Pendekatan Historis, Semiotis, dan Linguistik di Universitas Indonesia, mereka yang dimakamkan di sini beberapa di antaranya adalah para Gubernur Jenderal Belanda seperti Jan Pieter Zoon Coen, Gustaff Willem Baron van Imhoff, Abraham Patras, dan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn. Selain itu, terdapat pula makam para Dewan Penasihat Gubernur Belanda.
Nah, ternyata Museum Wayang tidak hanya menyimpan kisah tentang wayang dari berbagai daerah, tetapi juga sejarah kehidupan masyarakat Batavia di masa lalu. Cerita-cerita ini tentu perlu kita lestarikan. Bagaimana, Kawan GNFI? Tertarik berkunjung ke sana?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News