Popularitas Wi-Fi di Indonesia mulai meledak pada tahun 2010-an, didukung oleh kemudahan akses jaringan, harga paket internet yang semakin terjangkau, dan peningkatan kecepatan koneksi.
Kini, Wi-Fi atau wireless fidelity telah menjadi kebutuhan pokok yang sulit dipisahkan di tempat umum seperti kafe, alun-alun, bandara, dan pusat perbelanjaan.
Keberadaannya tidak hanya memudahkan dalam berkomunikasi, tetapi juga mendukung aktivitas kerja, belajar, layanan digital, navigasi, sampai hiburan. Wi-Fi juga memungkinkan gawai tetap terhubung koneksi internet tanpa paket data.
Tak heran jika pemerintah banyak memasangnya di ruang publik, seperti perpustakaan umum, alun-alun, kantor kepolisian, dan lainnya, agar layanan berbasis digital mudah diakses semua orang.
Di sisi lain, penyediaan akses internet tanpa batas secara gratis di ruang publik dapat menimbulkan “efek samping” bagi anak di bawah umur. Misalnya kecanduan bermain game sampai lupa waktu, menyebabkan gangguan penglihatan, atau penyalahgunaan akses konten terlarang di bawah umur.
Lebih lanjut, akses internet dapat menyebabkan anak rentan terpapar penyakit mental dari cyber bullying atau paparan radikalisme jika tidak diawasi.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah mewanti hal ini melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur regulasi informasi, moral perbuatan orang di media sosial, dan transaksi online.
Namun, seperti yang Kawan ketahui sendiri, aturan ini beberapa kali mengalami revisi dan kerap menjadi kontroversi.
Melansir dari RRI.co.id, Meutya Hafid selaku Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) akan menyusun regulasi baru untuk memfokuskan perlindungan anak di ruang digital dalam beberapa bulan mendatang.
Beliau juga mengungkapkan bahwa pemerintah, bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) telah menciptakan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) sebagai sistem yang dirancang untuk menegakkan kepatuhan konten dan sebagai implementasi nyata UU ITE.
Pertanyaannya, dengan akses internet gratis apakah perlu ada penyesuaian cara pandang bahwa bersosialisasi kini memiliki bentuk yang lebih luas? Atau seharusnya bukan Wi-Fi publik yang harus dipertanyakan, tetapi bagaimana kita menggunakannya dengan bijak, bagaimana menurut Kawan?
Menutup Ruang atau Membuka Wawasan?
Berangkat dari beberapa kebijakan pemasangan akses Wi-Fi gratis di sejumlah alun-alun di Indonesia, diantaranya alun-alun Tuban, Pacitan, Sidoarjo, Jember, Lumajang, Kendal dan daerah lain yang tidak bisa disebutkan, perlu adanya jaminan pengguna dapat mengakses internet secara aman dan nyaman, mengingat intensitas pengguna anak di bawah umur.
Sebut saja di alun-alun Pacitan baru-baru ini. Melansir dari beritajatim.com, jaringan Wi-Fi gratis tanpa sandi yang disediakan oleh penyedia layanan internet di daerah tersebut tidak memiliki filter konten dan perlindungan privasi bagi penggunanya. Menyebabkan potensi anak terpapar hal buruk seperti yang diungkapkan diatas.
Di beberapa titik wifi.id dan layanan Smartfren, setiap pengguna diharuskan membeli voucher secara online untuk mengakses internet. Jika sistem ini diterapkan pada layanan Wi-Fi gratis, dengan tetap memberikan akses tanpa biaya. Namun, mengharuskan pengguna untuk login melalui mekanisme tertentu, maka kontrol terhadap siapa saja yang menggunakan jaringan akan lebih mudah dilakukan.
Selain itu, sistem ini dapat dikombinasikan dengan filter konten berbasis usia dan perlindungan privasi pengguna, sehingga meminimalisir risiko akses ke situs-situs berbahaya. Dengan kebijakan seperti ini, Wi-Fi publik tetap dapat diakses secara luas tanpa mengorbankan aspek keamanan digital.
Internet gratis bukan masalah utama, melainkan soal regulasi dan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkannya. Apakah ada solusi lain yang bisa diterapkan menurut Kawan GNFI? Agar Wi-Fi “gratisan” ini dapat aman dinikmati segala kalangan?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News