Di tengah arus sejarah yang kompleks, istilah "wali" sering kali mengundang perdebatan, terutama ketika kita membandingkan tradisi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Sementara NU lebih akrab dengan konsep wali sebagai sosok alim, suci, dan dekat dengan kesaktian.
Muhammadiyah justru menghidupkan makna lain yang tak kalah mendalam. Di Surabaya, muncul istilah Wali Rongpuluh atau Wali 20, yang merujuk pada 20 tokoh Muhammadiyah yang berani berdiri di garis depan perjuangan organisasi ini. Mereka adalah pahlawan yang tak mengenal lelah, berjuang di tengah krisis ekonomi dan tekanan kolonial Hindia Belanda.
Perjuangan Wali Rongpuluh bukan hanya sekadar catatan sejarah; ia adalah kisah heroik yang menggugah semangat dan solidaritas. Dalam situasi yang penuh tantangan, mereka menjadi teladan bagi generasi selanjutnya, menunjukkan bahwa kekuatan kolektif dan iman mampu mengubah nasib.
Lahirnya Wali Rongpuluh
Istilah Wali Rongpuluh pertama kali muncul pada 1 Juni 1927 di rumah KH Mas Mansur, Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya pertama. Saat itu, Muhammadiyah Surabaya menghadapi tantangan berat akibat dampak Perang Dunia I, termasuk depresi ekonomi global yang melumpuhkan masyarakat Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial memperketat pengawasan terhadap organisasi bumiputera, termasuk Muhammadiyah, yang baru berkembang di luar Yogyakarta setelah keluarnya Surat Ketetapan No. 40 tahun 1920.
KH Mas Mansur mengumpulkan para pamong Cabang Muhammadiyah dan ketua grup Muhammadiyah Surabaya di rumahnya untuk membangun komitmen organisasi dan merancang strategi menghadapi krisis. Pertemuan ini berlangsung hingga larut malam tanpa mencapai mufakat, sehingga banyak peserta rapat meninggalkan lokasi.
Akhirnya, hanya tersisa 20 orang yang bertahan hingga dini hari. Dengan penuh semangat, KH Mas Mansur mendeklarasikan sumpah setia untuk meneruskan perjuangan dakwah Muhammadiyah bersama mereka.
Sumpah KH Mas Mansur berbunyi:
“Walaupun tinggal seorang, saya dan istri, saya akan tetap meneruskan Muhammadiyah selama hayat dikandung badan, syariat Muhammad SAW yang dianjurkan Muhammadiyah tetap saya bela!”.
Para tokoh yang tergabung dalam Wali Rongpuluh ini kemudian dikenal sebagai pahlawan organisasi yang rela mengorbankan harta dan jiwa demi mempertahankan eksistensi Muhammadiyah.
Nama-Nama Wali Rongpuluh
Dalam buku Babad Muhammadiyah Surabaya1921-2021, nama-nama ke-20 tokoh tersebut tercatat sebagai berikut:
- KH Mas Mansur (Kampung Baru Sawahan)
- Kiai Usman
- Mat Yasin Wisatmo (Kaliasin Pompa)
- Wondowidjojo (Plampitan)
- Tjiptoredjo (Grogol)
- Mas Getong (Pandean)
- Hardjodipuro (Bubutan)
- M. Saleh Ibrahim (Kedung Sroko)
- Mas Idris K.S
- HIS Soemoredjo (Kedung Rukem)
- Abdul Bari
- HA Rahman Utsman (Ketapang Ardiguna)
- Saleh Cilik (Bibis)
- Yatiman
- Satiman (Genteng)
- Adjar Sunyoto (Jl. Kunti)
- M. Badjuri
- H. Muhammad Oerip (Temenggungan)
- Sumoatmodjo (Kedung Rukem)
- Martodjojo (Wonorejo).
Peran Wali Rongpuluh
Komitmen Wali Rongpuluh diwujudkan dalam berbagai langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan dakwah Muhammadiyah. Salah satu misi utama mereka adalah mengatasi persoalan ekonomi yang melanda Klinik Muhammadiyah dan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Surabaya saat itu termasuk kesulitan membayar gaji guru dan tenaga medis. Berkat kerja keras mereka, masalah tersebut berhasil diatasi.
Selain itu, para anggota Wali Rongpuluh juga aktif menyelenggarakan kegiatan tabligh di lingkungan masing-masing untuk memperkuat silaturahmi dan semangat berorganisasi. Solidaritas ini menjadi pondasi penting bagi perkembangan cabang Muhammadiyah Surabaya hingga mampu membubarkan beberapa ranting atau grup yang dinilai tidak membawa kemajuan organisasi.
Sebagaimana dicatat dalam Majalah "Soeara Moehammadijah" No 24 Tahun XI edisi 14 Mei 1930, Muhammadiyah Surabaya mengambil langkah tegas dengan membubarkan enam ranting. Pada rapat anggota yang berlangsung pada malam 5 hingga 6 April 1930, keputusan tersebut diambil untuk grup-grup Muhammadiyah di Surabaya, yaitu Genteng, Praban, Penelih, Pandean, Ampel, dan Kaliasin.
Alasan di balik pembubaran ini cukup jelas: grup-grup tersebut dianggap membawa kemunduran bagi perkembangan Muhammadiyah cabang Surabaya. Dalam catatan di halaman 528 majalah tersebut, dinyatakan bahwa langkah ini diambil demi menjaga integritas dan kemajuan organisasi dalam menghadapi tantangan yang ada.
Dampak Jangka Panjang
Keberadaan Wali Rongpuluhtidak hanya menyelamatkan Muhammadiyah dari krisis ekonomi pada masa itu tetapi juga meletakkan dasar bagi pengembangan amal usaha Muhammadiyah di bidang kesehatan. Klinik Muhammadiyah Surabaya yang didirikan pada 14 September 1924 menjadi cikal bakal berdirinya ratusan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Melalui semangat juang mereka, Wali Rongpuluh menjadi simbol keteguhan hati dalam menjalankan dakwah Islam di tengah berbagai tantangan sosial-politik. Kisah mereka terus dikenang sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan Muhammadiyah di Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News