Zen Rachmat Sugito atau lebih dikenal dengan Zen RS adalah penulis dan jurnalis yang sudah dikenal lewat banyak karyanya, terutama dalam urusan sepak bola. Banyak tulisan telah Zen buat dan tersebar di pelbagai media, mulai dari buku sampai artikel media online.
Salah satu magnum opus dari Zen Simulakra Sepakbola yang terbit pada 2016. Lewat buku kumpulan esai tersebut, ia memaparkan kondisi sepak bola lokal yang bertautan dengan ihwal sejarah, politik, dan kekuasaan.
Zen kecilnya menyukai sepak bola, bahkan pernah bermimpi menjadi pemain. Namun, setelah melalui jalan panjang kehidupan, ia memilih karier sebagai penulis yang membuatnya dikenal sebagai esais andal di dunia literasi Indonesia.
Mendaku sebagai penikmat sepak bola, Zen kini lebih fokus memerhatikan perkembangan sepak bola Indonesia. Tak ayal ia mengerti segala rupa, baik dan buruk seputar sepak bola nasional yang mungkin tak kunjung habis dibahas dalam tempo semalam. Banyak hal bisa diambil dari pandangan Zen mengenai sepak bola Indonesia, salah satunya mengenai kekerasan struktural yang menurutnya membahayakan banyak orang.
Kekerasan Struktural
Sepak bola dicintai dan tak jarang juga dibenci banyak orang, khususnya dari kalangan bukan penikmatnya. Memang, semakin populer, semakin kentara pula permasalahan yang tampak jelas di mata masyarakat umum, dan seperti itulah sepak bola. Ada banyak permasalahan di dalamnya, antara lain soal kekerasan yang sering timbul di dalam maupun di luar lapangan pertandingan.
Di Indonesia terutama. Setiap tahunnya kekerasan sering muncul, entah itu dari pemain atau pun suporter. Seperti tragedi Kanjuruhan pada 2022 misalnya, di mana sebanyak 135 suporter tewas karena banyak faktor salah satunya penyalahgunaan gas air mata yang ditembakkan pihak pengamanan. Lalu contoh lainnya ada di lapangan pertandingan Liga 1 pada 2024 lalu, kala pemain PSS Sleman, Wahyudi Hamisi terbukti menendang kepala pilar Persebaya Surabaya, Bruno Moreira.
Zen pun mengakui kultur kekerasan memang melekat dalam sepak bola karena olahraga ini penuh dengan aksi kontak fisik. Namun, yang perlu digarisbawahi, jika ada kekerasan terjadi, itu adalah cerminan dari lingkungan tempat para pelaku hidup.
“Anda tidak bisa membayangkan situasi tanpa kekerasan ketika society-nya sendiri, masyarakatnya sendiri, penuh dengan praktik-praktik kekerasan. Mungkin PSIM enggak tanding, PSS enggak tanding, tapi di lahan parkir setiap hari ada aja yang berkelahi. Di Yogya, lebih banyak orang yang dibunuh sama suporter atau sama klitih? Secara statistik itu bisa dicari angkanya. Makanya saya bilang, saya enggak membantah suporter itu lekat dengan kultur kekerasan,” ucap Zen kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Tawuran sampai keributan antarsuporter tak dipungkiri sering tercipta yang membuat fan dari sepak bola dinilai telah mencoreng olahraga sepak bola itu sendiri. Akan tetapi, Zen merasa kekerasan di lingkup suporter dipandang terlalu berlebihan karena juga banyak kekerasan di luar sepak bola yang lebih destruktif.
“Kekerasan suporter itu buat saya terlalu dilebih-lebihkan, dibandingkan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang lain, oleh gangster, ormas. Bonek sama Aremania tawuran tidak lebih banyak daripada dua perguruan silat di Jawa Timur berantem,” kata Zen.
Zen enggan disebut membela kekerasan yang terjadi di sepak bola. Ia pun menyinggung kekerasan struktural sebagai pangkal masalah yang melebihi kekerasan fisik di masyarakat.
“Tidak bisa membayangkan situasi tanpa kekerasan ketika society-nya penuh dengan kekerasan-kekerasan struktural. Anda tidak digebuk oleh tangan, oleh pentungan, tapi sangat mungkin Anda digebuk kenyataan bahwa enggak bisa masak karena tabung gas enggak ada, enggak bisa bayar SPP anak besok, atau harus drop out sekolah gara-gara enggak bisa bayar UKT. Itu kekerasan-kekerasan struktural, sistemik yang Anda enggak bisa bayangkan. Setiap harinya penuh dengan kekerasan, ada atau pun tidak ada pertandingan sepak bola,” kata Zen.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News