Pulau Flores tidak hanya kaya akan keindahan alam, tetapi juga menyimpan kekayaan tradisi dan budaya yang menjadi ciri khas masyarakatnya. Hidup dalam beragam suku, penduduk Flores mewarisi adat istiadat yang beragam dan bernilai tinggi.
Salah satu suku yang menonjol dengan keunikannya dalam menjaga tradisi adalah suku Lio, yang hingga kini masih mempertahankan warisan budaya leluhur mereka. Kebudayaan Lio terus lestari dan bisa kita ambil pelajaran darinya. Mari Kawan kita mengenal ragam kebudayaan suku Lio!
Mengenal Suku Lio
Suku Lio merupakan kelompok etnis mayoritas yang mendiami Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Nama "Lio" berasal dari ungkapan “Sa Li, Sa Ine, Sa One,” yang berarti sebaya, seibu, dan sekeluarga—sebuah prinsip persatuan yang menjadi dasar hidup masyarakatnya.
Meskipun hidup dalam kelompok-kelompok tanah persekutuan, mereka tetap satu dalam bahasa, budaya, dan adat istiadat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Lio menggunakan bahasa Lio (sara Lio) sebagai bahasa percakapan. Sebagian besar menggantungkan hidup dari pertanian, sementara yang tinggal di pesisir menjadi nelayan.
Secara geografis, wilayah Lio terletak di Flores bagian tengah, berbatasan dengan Nagekeo di barat dan Sikka di timur. Penduduknya menyebut diri mereka "Ata Lio" yang berarti orang Lio, yang kemudian tergabung dalam wilayah administratif Kabupaten Ende, meskipun sebagian wilayah timurnya masuk ke Kabupaten Sikka.
Saat ini, masyarakat Lio tersebar di berbagai kecamatan seperti Wolowaru, Ndona, Detusoko, Maurole, Kelimutu, dan juga di wilayah barat Sikka seperti Paga, Mego, dan Magepanda. Keberadaan mereka mencerminkan kekayaan budaya dan jati diri yang masih kuat terjaga hingga kini.
Serba-Serbi Budaya Suku Lio
Upacara Adat Suku Lio
Masyarakat suku Lio menjalani berbagai upacara adat yang erat kaitannya dengan siklus pertanian dan tahapan kehidupan. Ritual seperti Paki Tana Neka Watu menandai awal musim tanam, Joka Ju untuk menolak hama, Keti Uta atau Ka Poka menyambut panen, dan Ngguaria sebagai ungkapan syukur atas hasil panen setahun.
Di luar pertanian, berbagai tradisi juga mewarnai perjalanan hidup. Mulai dari Wa’u Tana saat bayi berusia empat hari, Ka Ngaga ketika bayi mulai digendong orang lain. Kemudian ada Kongga atau Poro Fu saat cukur rambut pertama, Roso Ngi’i untuk potong gigi saat remaja, hingga Wudu Tu, upacara pernikahan adat.
Bentuk rumah Sao Keda dan Kanga suku Lio @ RaiyaniM/wikimedia commons
Rumah Adat Suku Lio
Bangunan tradisional suku Lio mencerminkan kearifan lokal yang sarat makna spiritual dan budaya. Di antaranya terdapat sao keda, bangunan pertama yang menjadi cikal bakal pemukiman dan awalnya digunakan sebagai tempat beristirahat usai berburu atau bertani.
Selain itu, terdapat sao ria (rumah besar), tupu mbusu (batu lonjong), sao bhaku (penyimpanan tulang leluhur), kuwu lewa (dapur umum), rate (kuburan besar), dan kebo ria (lumbung).
Area kanga menjadi pusat pelaksanaan ritual adat, tempat masyarakat mempersembahkan doa dan sesaji kepada Du’a Ngga’e (Tuhan), sesuai dengan kepercayaan adat suku Lio yang masih hidup hingga kini.
Tarian Tradisional Suku Lio
Tari Gawi adalah tarian tradisional suku Lio yang sarat makna spiritual dan dilaksanakan dengan khidmat sebagai bentuk ungkapan syukur atas berkah dari Tuhan. Tarian ini biasanya dilakukan secara massal oleh laki-laki dan perempuan, membentuk lingkaran mengelilingi tubu mbusu.
Penari laki-laki berada di sisi dalam, sementara perempuan di luar, dan mereka saling berpegangan tangan. Mereka melakukan gerakan kaki maju, mundur, serta menyamping secara serempak, dengan ayunan tangan yang sederhana.
Tarian ini tak diiringi alat musik, melainkan lantunan syair dari Ata Sodha. Tari Gawi kerap ditampilkan dalam berbagai upacara adat, seperti usai panen, pembangunan rumah adat, pengangkatan kepala suku, dan perayaan budaya lainnya.
Masakan Khas Suku Lio
Bagi masyarakat suku Lio, singkong (uwikaju/uwiai) telah menjadi makanan pokok sejak zaman nenek moyang. Salah satu olahan tradisionalnya adalah uwiai ga’u, yang dibuat dengan cara mengaduk campuran singkong—ga’u sendiri berarti "aduk" dalam bahasa Lio.
Meski belum sepopuler olahan lainnya seperti uwiai ndota atau uwiai punga, hidangan ini tetap menjadi bagian dari warisan kuliner lokal. Selain singkong, nasi dan jagung juga umum dikonsumsi sebagai makanan pokok dalam keseharian masyarakat Lio.
Kain tenun Ragi khas Lio @ Dokumen Pribadi
Kain Tenun Suku Lio
Tenun khas Lio memiliki keunikan dalam motif dan pemakaiannya. Kain untuk laki-laki disebut ragi atau luka, biasanya berwarna dasar hitam atau biru tua dengan pola garis mendatar yang tegas. Sementara kain untuk perempuan disebut lawo, biasanya dihiasi motif flora dan fauna seperti kuda, daun, burung, serta lalat atau sayap lalat.
Kain tenun suku Lio, memiliki beragam motif, salah satunya adalah tenun ikat patola. Kain patola ini umumnya dibuat khusus untuk kepala suku dan kerabat kerajaan.
Terdapat banyak motif khas berupa daun, dahan, ranting, biawak, dan manusia, yang diatur dalam pola geometris kecil berwarna merah atau biru di atas dasar kain gelap. Biasanya, kain ini juga dihiasi dengan manik-manik dan kulit kerang di tepian, yang hanya diperuntukkan bagi wanita bangsawan.
Kain patola menjadi simbol status tinggi dan mencerminkan betapa berharganya kain ini dalam tradisi suku Lio. Selain patola, masih ada berbagai motif tenun ikat lainnya yang menjadi bagian dari kekayaan budaya Lio. Kain tenun juga merupakan salah satu hal yang paling dikenal dari suku Lio.
Setiap kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat menyimpan pesan-pesan penting yang tercermin dalam tradisi dan adat istiadatnya. Hal ini juga berlaku bagi suku Lio, di mana kekayaan tradisi mereka mengandung nilai-nilai luhur dari leluhur. Mulai dari penghormatan terhadap Tuhan ataupun upaya untuk terus menjaga kelestarian alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News