Hari Kartini bukan sekadar peringatan seremonial tentang perjuangan perempuan. Lebih dari itu, ia menjadi titik refleksi tentang bagaimana perempuan di masa kini memaknai emansipasi. Di tengah perkembangan teknologi dan media sosial, makna emansipasi perempuan mulai bergeser dan tercampur dengan arus budaya populer. Salah satu fenomena yang menarik perhatian belakangan ini adalah munculnya istilah “cegil” di media sosial, terutama TikTok.
“Cegil”, singkatan dari “cewek gila”, mulanya merupakan istilah bercanda untuk menggambarkan perempuan yang bertindak di luar kebiasaan demi mendapatkan perhatian dari laki-laki yang disukainya. Mulai dari mengirim pesan terlebih dahulu, membuat konten yang berlebihan, hingga secara terang-terangan confes menunjukkan rasa suka yang intens. Fenomena ini kemudian mendapatkan ruang dan bahkan dirayakan sebagai bentuk “keberanian” atau “keluwesan” perempuan modern dalam menyatakan perasaan.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah tren ini benar mencerminkan emansipasi perempuan? Ataukah justru memperlihatkan bentuk baru dari ketidaksadaran perempuan akan value dirinya yang dibungkus dalam kemasan tren digital?
Cegil dan Representasi Perempuan di Era Media Sosial
Perilaku “cegil” tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh subur dalam ekosistem media sosial yang menempatkan validasi sebagai mata uang utama. Dalam konteks ini, teori Uses and Gratifications dari Katz, Blumler, dan Gurevitch (1974) menjadi relevan. Teori ini menjelaskan bahwa individu menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu, termasuk kebutuhan akan afeksi, identitas pribadi, dan interaksi sosial.
Perempuan yang terlibat dalam tren cegil, secara tidak sadar, mungkin sedang berupaya memenuhi kebutuhan tersebut melalui media sosial. Tindakan mendekati lawan jenis secara "brutal ugal-ugalan", memposting konten “gila-gilaan”, hingga membongkar perasaan di ruang publik, bukan lagi bentuk ekspresi diri yang merdeka, melainkan strategi pencarian pengakuan dan perhatian.
Masalahnya, ketika tindakan tersebut dilakukan secara berlebihan dan tanpa kesadaran atas batasan pribadi, tren ini justru memperlihatkan ketimpangan relasi antara keinginan untuk dicintai dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Emansipasi yang Disalah Pahami
Sering kali, emansipasi dipahami secara dangkal sebagai “perempuan bisa melakukan apa pun, termasuk hal-hal yang dulu hanya dilakukan laki-laki.” Padahal, esensi emansipasi bukan sekadar tentang siapa yang boleh duluan memulai komunikasi atau menyatakan cinta. Emansipasi adalah tentang kebebasan perempuan untuk membuat pilihan yang sadar, merdeka, dan bermartabat bukan pilihan yang didorong oleh tekanan sosial atau budaya populer yang tak sehat.
Dalam konteks tren cegil, ada kecenderungan glorifikasi terhadap tindakan impulsif atas nama kebebasan. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, banyak dari konten-konten cegil justru meromantisasi perilaku yang bisa berujung pada pelecehan martabat pribadi. Perempuan diajarkan untuk bangga karena “berani”, padahal bisa jadi yang dilakukan justru mengabaikan value dirinya sendiri.
Komunikasi, Relasi, dan Self-Worth
Teori Impression Management dari Erving Goffman juga dapat digunakan untuk membaca fenomena ini. Dalam dunia maya, seseorang membangun branding yang ingin ditampilkan kepada publik. Sayangnya, ketika branding itu dibentuk demi mengejar validasi, bukan berdasar pada keaslian dan integritas diri, maka yang terjadi adalah manipulasi branding yang rapuh dan mudah runtuh.
Cegil dalam banyak kasus hanyalah wajah lain dari kebutuhan untuk diperhatikan. Dan ketika perhatian itu tidak datang, perempuan kembali terjebak dalam lingkaran frustrasi, insecure, bahkan perasaan tidak cukup. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya merusak konsep emansipasi, tetapi juga menumbuhkan budaya relasi yang tidak sehat.
Relasi yang ideal seharusnya dibangun atas dasar saling menghargai, bukan siapa yang lebih dulu mengejar. Seorang perempuan berhak menyatakan rasa sukanya, tetapi bukan berarti harus merendahkan diri dalam prosesnya. Komunikasi yang sehat lahir dari individu yang sudah selesai dengan dirinya, yang tidak menjadikan penerimaan orang lain sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan.
Emansipasi dan Kesadaran Kultural
Perayaan tren cegil juga mengindikasikan bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam pendidikan nilai dan etika komunikasi di ruang digital. Perempuan, terutama generasi muda, perlu dibekali dengan pemahaman bahwa tidak semua hal yang viral itu patut diikuti. Budaya populer tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip etis dan nilai-nilai yang mendukung pemberdayaan.
Penting untuk kembali menegaskan bahwa perempuan yang menghargai dirinya bukan berarti pasif atau menunggu. Justru, ia aktif mengambil peran dalam relasi dengan cara yang sehat, sadar, dan tidak menegasikan value dirinya sendiri. Perempuan tidak perlu menjadi “cewek gila” untuk dicintai. Yang diperlukan adalah menjadi diri sendiri yang autentik, tahu kapan maju, tahu kapan cukup.
Kembali ke Esensi Emansipasi
Kawan GNFI, emansipasi adalah ruang kebebasan yang dibangun dengan kesadaran. Bukan sekadar tentang siapa yang lebih dulu menyapa, tetapi tentang siapa yang bisa menjaga value dirinya dalam proses membangun relasi.
Tren cegil mungkin terlihat menyenangkan dan ekspresif di permukaan, tetapi sebagai generasi yang peduli pada pemberdayaan, mari bertanya lebih dalam: apakah ini bentuk keberanian, atau justru ekspresi dari krisis identitas dan kebutuhan validasi yang belum terselesaikan?
Dalam peringatan Hari Kartini ini, mari kita rayakan emansipasi perempuan dengan cara yang elegan dan berdaya. Menjadi perempuan yang bebas bukan berarti bebas melakukan apa pun, tetapi bebas dari kebutuhan untuk merendahkan diri demi cinta yang tak pasti.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News