Kota Solo diusulkan menjadi Daerah Istimewa ketika Kemendagri menjalani rapat bersama Komisi II DPR. Usulan agar Solo menjadi Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, berasal dari Keraton Surakarta.
“Daerah Istimewa Surakarta bukan pembicaraan baru. Sudah sejak dulu wacana (DIS) tersebut dibicarakan,” ujar Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, KPA.H Dany Nur Adiningrat kepada wartawan, Jumat (25/4) yang dimuat Kumparan.
Sejak masa kolonial, daerah Surakarta baik yang berada di bawah kekuasaan Kasunanan maupun Mangkunegaran diakui sebagai daerah dengan pemerintahan sendiri. Hal ini terus berlaku pada masa pemerintahan Jepang.
Berdasarkan catatan sejarah, Solo juga pernah menyandang status daerah istimewa dalam waktu kurang lebih satu tahun pada 1945-1946. Hal ini berdasarkan Piagam Penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan UU No 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan : Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat.
pada kedoedoekannja dengan kepertjajaan, bahwa Seri (Sri-Red) Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan Repoeblik Indonesia….”
Djakarta, 19 Agustus 1945
Ir. Soekarno
Kasunanan dan Mangkunegaran secara resmi menyatakan bergabung ke republik pada 1 September 1945. Dukungan ini jadi nilai tambah, di mana republik pada masa itu berkomitmen untuk membebaskan belenggu penjajah, tidak terkecuali untuk kerajaan.
“Hal ini menandakan bahwa pembatasan wewenang kekuasaan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah asing kini dilenyapkan oleh hadirnya republik, di mana keraton mendapatkan wewenang kekuasaannya sesuai dengan kedudukannya sebagai raja dan pemerintah daerah istimewa di Indonesia,” tulis Cahya Putri Musaparsih dalam Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) dalam mengambil alih swapraja, 1945-1946.
Hari-hari daerah istimewa
Cahya mengungkapkan pengakuan atas kedaulatan Kasunanan dan Mangkunegaran tidak serta merta membuat bumi Surakarta damai. Hal ini karena elite politik lokal belum menyetujui adanya penetapan mengenai daerah istimewa.
Penolakan pada aktivis serta politisi di Surakarta menyebabkan melemahnya kontrol keamanan oleh pihak kerajaan. Permasalahan keamanan ini semakin gawat seiring dengan timbulnya kesadaran pada anggota laskar perjuangan.
Hal ini juga diperumit setelah Koti Zoni Kyoku Tyookan atau pemerintahan sipil Jepang di Surakarta menyerahkan kekuasaannya kepada Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) pada 1 Oktober 1945. Massa yang begitu bahagia meluapkan kegembiraannya dengan pawai keliling kota mengenakan atribut republik.
“Keberhasilan perundingan membuat masa mengadakan pawai keliling kota Surakarta dengan mengenakan atribut republik yang memiliki tujuan akhir di Kasunanan dan Mangkunegaran untuk memberitahukan berita penyerahan Jepang kepada KNIDS,” paparnya Cahya.
Pihak kerajaan hanya merespons dengan mengucapkan syukur atas kejadian tersebut. Tetapi mereka tetap memproklamirkan sebagai pemegang kekuasaan di Surakarta.
“Kerajaan yang merasa bahwa tindakan KNIDS dalam merebut kekuasaan tersebut tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat tidak mau mengakui kedudukan KNIDS dan tetap menganggap bahwa daerahnya masih berstatus istimewa,” lanjutnya.
Daerah istimewa tercabut
Dipaparkan oleh Cahya, ketika masa bergolak itu, kerajaan tetap menjalankan aktivitas pemerintahan sehari-hari terutama di bidang ekonomi. Kerajaan tetap mengumpulkan pajak dan penjatahan beras, gula, kain, pakaian dan minyak tanah untuk warga.
Ternyata ini dilakukan juga oleh KNIDS yang membutuhkan pemasukan untuk kegiatan politiknya. Kondisi ini jelas memberatkan masyarakat yang lambat laun memilih menghindar dari kedua bilah pihak.
“Warga bahkan sering menghindar atau tidak membayar pajak sama sekali kepada kedua belah pihak,” tuturnya.
Gerakan antiswapraja meluas menjadi aksi massa dengan penculikan atas Sunan, kanjeng Ratu dan Soerjohamidjojo pada bulan Januari 1946. Mereka menuntut Sunan untuk melepas kekuasaan politiknya dan bergabung dengan Pemerintah Republik.
Supaya mengatasi kondisi genting, pemerintah mengeluarkan UU No. 16/SD/1946 yang memutuskan bahwa Surakarta menjadi daerah karesidenan di bawah seorang residen dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
“Dengan dibentuknya keresidenan ini maka Daerah Istimewa Surakarta telah hilang dan menjadi karesidenan biasa,” jelasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News