mengingat kembali 6 ciri manusia indonesia mochtar lubis masihkah relevan - News | Good News From Indonesia 2025

Mengingat Kembali 6 Ciri Manusia Indonesia Mochtar Lubis, Masihkah Relevan?

Mengingat Kembali 6 Ciri Manusia Indonesia Mochtar Lubis, Masihkah Relevan?
images info

Mengingat Kembali 6 Ciri Manusia Indonesia Mochtar Lubis, Masihkah Relevan?


Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 6 April 1977, mengungkapkan kritik tajam terhadap sifat-sifat khas manusia Indonesia. Bangsa ini sering dibanggakan sebagai ramah, murah senyum, penuh tenggang rasa, dan gemar gotong royong. 

Namun menurutnya, di balik citra itu tersimpan sifat-sifat lain yang justru melekat kuat dan perlu dikritisi. Puluhan tahun berlalu, pandangannya masih dianggap relevan oleh banyak pihak. Terutama ketika kita menyaksikan kondisi moral dan etika bangsa saat ini. 

Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah enam ciri manusia Indonesia yang dikemukakan Mochtar Lubis masih mencerminkan realitas masyarakat saat ini? 

Mari Kawan kita pertanyakan Mochtar Lubis dalam karyanya, Manusia Indonesia!

baca juga

Mengenal Mochtar Lubis

Mochtar Lubis (1922–2004) adalah jurnalis dan novelis terkemuka Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri harian Indonesia Raya dan majalah sastra Horison. Karyanya Senja di Jakarta (1963), menjadi novel Indonesia pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. 

Pendidikan awalnya dimulai di HIS Sungai Penuh, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Ekonomi Partikelir di Kayutanam. Semasa pendudukan Jepang, ia ikut mendirikan Kantor Berita Antara.

Dalam perjalanan kariernya, Mochtar Lubis aktif menyuarakan kebebasan pers dan kritik sosial. Hal ini membuatnya menjalani masa tahapan hampir sembilan tahun di masa pemerintahan Soekarno.

Ia pernah menjabat sebagai Presiden Press Foundation of Asia, serta menerima berbagai penghargaan bergengsi. Sebagai misal, Ramon Magsaysay Award dan Golden Pen of Freedom. 

Karya-karyanya, termasuk Jalan Tak Ada Ujung (1952), Harimau! Harimau! (1975), dan Maut dan Cinta (1977), mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan penting Indonesia.

Selain menulis, ia juga turut mendirikan Yayasan Obor Indonesia, yang berkontribusi besar dalam pengembangan budaya dan intelektual bangsa.

baca juga

Sekilas “Manusia Indonesia” Karya Mochtar

Manusia Indonesia adalah pidato kebudayaan Mochtar Lubis. Pidato ini disampaikan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM), dan kemudian dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia. 

Dalam pidato tersebut, Mochtar menguraikan enam sifat khas manusia Indonesia yang menurutnya menggambarkan sisi gelap karakter bangsa. Isi pidato ini menimbulkan perdebatan karena membongkar stereotipe negatif masyarakat Indonesia yang jarang dibahas. 

Buku ini tergolong nonfiksi dan terdiri dari beberapa bab yang membahas tiap sifat tersebut. Dilengkapi juga dengan berbagai tanggapan dari kalangan masyarakat dan intelektual.

Buku Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) dibuka dengan kalimat:

“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. 

Siapa itu orang atau manusia Indonesia? 

Apa dia memang ada? Di mana dia? 

Seperti apa gerangan tampangnya?”

baca juga

Mochtar Lubis (1979) @ Rob Bogaerts Anefo/wikimedia commons 
info gambar

Mochtar Lubis (1979) @ Rob Bogaerts Anefo/wikimedia commons 


6 Ciri Manusia Indonesia

1. Munafik atau Hipokrit

Salah satu ciri menonjol yang dikritisi Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia adalah sifat hipokrit atau munafik. Ia menilai bahwa banyak orang Indonesia cenderung berkata tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya mereka pikirkan. Entah demi mencari aman, takut akan tekanan, atau karena warisan budaya feodal yang menekan inisiatif dan kejujuran. 

Fenomena ini masih terasa hingga kini, misalnya dalam gerakan antikorupsi yang justru diwarnai pelaku korupsi dari dalam gerakannya sendiri. Ungkapan “ABS” (Asal Bapak Senang) mencerminkan kepatuhan semu terhadap atasan yang terbentuk oleh rasa takut dan kepentingan pribadi. 

Dalam kehidupan beragama dan penegakan hukum, kemunafikan ini tetap terlihat. Agama diajarkan dengan cara yang menekan. Keadilan hukum sering kali berat sebelah, di mana pencuri kecil dipenjara sementara koruptor tak tersentuh.

2. Enggan dan Segan Bertanggung Jawab Atas Perbuatannya

Mochtar Lubis menyoroti, salah satu ciri mencolok manusia Indonesia adalah kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab. Dalam banyak kasus, kesalahan justru dijawab dengan saling lempar tanggung jawab. 

Sering kali atasan enggan mengakui kekeliruannya, sementara bawahan berkilah hanya menjalankan perintah. Ungkapan seperti "bukan saya" atau "itu keputusan atasan" menjadi alasan umum yang digunakan untuk membenarkan diri. 

Ironisnya, ketika ada keberhasilan, banyak yang berlomba tampil di depan untuk menerima pujian, meski kontribusinya minim atau bahkan tidak ada. Lubis menyebut fenomena ini sebagai ketimpangan moral di mana penghargaan sering kali diberikan kepada yang tidak layak, sementara mereka yang benar-benar berjuang justru diabaikan. 

Sikap tidak mau bertanggung jawab ini bahkan merambah dalam praktik korupsi. Pembagian keuntungan umumnya tidak hanya dinikmati pimpinan, tetapi juga melibatkan bawahan. Hal ini mencerminkan sistem yang rusak hingga ke akar.

3. Bersifat dan Berperilaku Feodal

Mochtar Lubis mengkritik jiwa feodal yang masih mengakar dalam masyarakat dan sistem pemerintahan Indonesia, meskipun era penjajahan telah lenyap. Sikap ini tampak jelas dalam relasi antara penguasa dan rakyat. Kritik sulit mengalir dari bawah ke atas karena rakyat takut bersuara dan penguasa enggan mendengarkan. 

Feodalisme ini juga terlihat dalam budaya lempar tanggung jawab. Kesalahan sering kali diturunkan ke level bawahan, sementara mereka yang di atas lepas tangan. Kalimat seperti "Saya hanya menjalankan perintah" masih sering terdengar, terutama dari aparat atau pejabat yang berusaha menutupi kesalahan moral di balik kekuasaan. 

Dalam konteks korupsi, sistem yang feodal ini turut memperkuat praktik kolusi antara atasan dan bawahan. Hal ini menciptakan jaringan korupsi yang luas dan sulit diberantas.

4. Percaya Takhayul

Salah satu ciri menarik manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis adalah kuatnya kepercayaan terhadap takhayul. Kepercayaan ini bahkan tetap hidup berdampingan dengan kehidupan religius. 

Masyarakat bisa taat beribadah, tetapi di saat yang sama tetap mempersiapkan sesajen atau percaya pada hari-hari keramat. Fenomena ini menunjukkan adanya sinkretisme budaya. Perpaduan antara kepercayaan lama dan agama formal ini sulit dipisahkan dari identitas bangsa. 

Mochtar menyebut manusia Indonesia sebagai "tukang bikin simbol", ahli menciptakan jimat, mantra, dan sesaji yang berbeda-beda di tiap daerah. Bahkan di era modern, kepercayaan magis ini tetap hidup dalam bentuk baru, seperti tayangan mistis di YV hingga praktik pengobatan alternatif yang melibatkan dukun.

Ia berharap bangsa ini tak hanya pandai membuat simbol, tetapi juga mampu bergerak dengan rasionalitas dan tindakan nyata. Pendidikan menjadi kunci penting untuk menyaring dan memahami tradisi secara kritis.

5. Artistik atau Berbakat Seni

Menurut Mochtar Lubis, salah satu sisi terbaik dari manusia Indonesia adalah jiwa artistiknya yang tinggi. Kedekatan dengan alam dan kepercayaan bahwa alam memiliki roh dan jiwa, menjadikan masyarakat Indonesia sangat peka terhadap keindahan. Hal ini kemudian diwujudkan dalam berbagai karya seni. 

Batik, tenun, ukiran kayu dan batu, hingga patung dan kerajinan tembaga, semuanya mencerminkan imajinasi dan kehalusan rasa yang tumbuh kuat dalam budaya. Banyak karya seni ini bahkan mendapat pengakuan di tingkat internasional. 

Bagi Mochtar, sifat artistik inilah yang menjadi secercah harapan bagi masa depan bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas dan keindahan bisa menjadi kekuatan utama dalam membangun identitas dan kemajuan Indonesia.

6. Lemah Watak atau Karakternya

Mochtar Lubis menilai bahwa manusia Indonesia memiliki watak yang lemah, mudah goyah, dan cenderung mengorbankan prinsip demi kenyamanan atau bertahan hidup. Mereka kerap meninggalkan keyakinan yang sebelumnya dipegang teguh ketika menghadapi tekanan atau perubahan situasi. 

Sikap ini, menurutnya, berakar dari budaya feodal. Tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kebijakan politik masa lalu. 

Dalam keseharian, watak lemah ini sering dibungkus dengan istilah “tepa slira”, yakni sikap tenggang rasa. Sejatinya, lebih mencerminkan kecenderungan untuk menyenangkan atasan atau menghindari konflik.

Ciri Manusia Indonesia dan Apa yang Perlu Kita Lakukan

Selain enam ciri utama tersebut, Mochtar Lubis juga menyoroti beberapa sifat negatif lainnya, seperti kecenderungan boros, kurangnya kerja keras, sifat tidak sabar, serta rasa iri dan dengki. Menurut Lubis, hal ini mencerminkan kegoyahan karakter yang semakin memprihatinkan.

Namun, ia tidak sekadar mengkritik. Mochtar juga memberikan saran konstruktif agar masyarakat Indonesia dapat berintrospeksi dan mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Ia memaksa kita untuk bercermin dan menyadari kelemahan pada diri kita.

Mochtar menyarankan agar rakyat Indonesia lebih mengedepankan teknologi yang ramah lingkungan dan bersumber dari alam, tanpa merusaknya atau menjadi serakah. Ia mengkritik orientasi yang terlalu mengidolakan budaya Barat dan ambisi untuk menjadi negara maju yang mengorbankan alam demi kemajuan industri dan materialisme. 

Sebaliknya, Mochtar mendorong kita untuk menjaga kearifan lokal dan memanfaatkan kekayaan alam secara berkelanjutan. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat etika bangsa. 

Bagaimana caranya? Mengembangkan tata nilai yang dapat membedakan yang benar dan yang salah. Mengembalikan sumber moral utama sebagai patokan dalam kehidupan dan pembuatan kebijakan. Hal ini demi menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Menurut Kawan, apakah ciri manusia Indonesia tersebut masih relevan hingga sekarang?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ashnov Brillianto Ahmada lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ashnov Brillianto Ahmada.

AB
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.