Di tengah hutan hujan tropis Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, suara merdu owa Jawa (Hylobates moloch) menggema di antara pepohonan. Suara inilah yang memikat hati Rahayu Oktaviani, seorang konservasionis primata yang telah mendedikasikan lebih dari 15 tahun hidupnya untuk melindungi satwa langka ini.
Dengan semangat dan komitmen yang tak kenal lelah, wanita yang akrab disapa Ayu ini telah menjadi sosok penting dalam upaya pelestarian owa Jawa, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan.
Perjalanan Menjadi Konservasionis
Ayu memulai perjalanannya dengan menempuh pendidikan sarjana di bidang Konservasi Sumber Daya Hutan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia kemudian melanjutkan studi magister di Ewha Womans University, Korea Selatan, dengan fokus pada ilmu ekologi.
Ketertarikannya pada owa Jawa berawal dari pengalaman pertamanya mendengar suara satwa ini di alam liar.
“Pertama kali saya mendengar suara owa Jawa, saya terpana. Suaranya begitu indah, tapi saya sadar betapa sedikit yang saya ketahui tentang mereka,” kenang Ayu saat diwawancarai BBC News Indonesia.
Owa Jawa, yang dikenal lokal sebagai “uwek”, diyakini dalam cerita rakyat sebagai pembawa hujan melalui nyanyiannya. Spesies ini unik karena membentuk pasangan seumur hidup dan berkomunikasi melalui vokalisasi kompleks. Namun, ancaman deforestasi dan perburuan liar membuat populasi mereka terus menurun.
Mengubah Data Menjadi Cerita yang Menginspirasi
Salah satu inovasi Ayu adalah menerjemahkan hasil penelitian ke dalam bahasa yang mudah dipahami. Ia menciptakan buku cerita, lembar mewarnai, dan materi edukasi lainnya untuk anak-anak dan masyarakat umum.
“Saya ingin semua orang, bukan hanya ilmuwan, mengerti betapa pentingnya melindungi owa Jawa,” tegasnya.
Upayanya menarik banyak perhatian dan membuahkan banyak penghargaan. Pada 2023, Ayu menerima Conservationist Award & Kyes Award for Excellence in Outreach dari American Society of Primatologists. T
ak lama setelahnya, pada 2024, ia dianugerahi Women in Conservation Award dari Denver Zoo. Puncak prestasinya datang ketika ia meraih Whitley Awards, penghargaan bergengsi yang sering disebut sebagai “Green Oscar” untuk konservasionis dunia.
Pendiri KIARA: Konservasi Berbasis Masyarakat
Sadar bahwa penelitian saja tidak cukup, Ayu bersama rekan-rekannya mendirikan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA). Organisasi ini berfokus pada tiga pilar utama, yaitu penelitian ilmiah, pendidikan konservasi, dan pemberdayaan masyarakat.
“KIARA lahir dari mimpi bersama saya dan teman-teman untuk menciptakan wadah yang memadukan ilmu pengetahuan dan aksi nyata,” ujar Ayu.
Bersama timnya, Ayu melibatkan masyarakat lokal dalam pemantauan keanekaragaman hayati, sekaligus membuka peluang bagi mahasiswa dan peneliti muda untuk terlibat dalam konservasi.
Ancaman Serius terhadap Owa Jawa
Populasi owa Jawa diperkirakan hanya tersisa 2.000 - 4.000 individu, dengan sekitar 900 - 1.200 ekor hidup di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Ancaman utama mereka, antara lain:
- Deforestasi: Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman.
- Perdagangan Ilegal: Owa Jawa sering diburu untuk dijadikan hewan peliharaan.
- Fragmentasi Habitat: Pembangunan infrastruktur memutus koridor alami owa Jawa.
Dengan dana dari Whitley Award, Ayu berencana memperkuat konservasi di lima desa sekitar taman nasional. Programnya mencakup pelatihan untuk penjaga hutan, pemantauan populasi, dan kampanye anti-perdagangan satwa liar.
Bagi Ayu, konservasi bukan hanya tentang menyelamatkan satwa, tapi juga tentang membangun kesadaran kolektif.
“Saya berharap generasi muda akan melanjutkan perjuangan ini. Owa Jawa adalah warisan alam Jawa yang harus kita jaga bersama,” tuturnya.
Melalui dedikasi dan kreativitasnya, Rahayu Oktaviani membuktikan bahwa konservasi bisa dilakukan dengan ilmu, hati, dan kolaborasi. Kisahnya menginspirasi kita semua untuk turut menjaga alam, satu langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News