kurikulum ai antara harapan dan kebingungan kita semua - News | Good News From Indonesia 2025

Kurikulum AI: Antara Harapan dan Kebingungan Kita Semua

Kurikulum AI: Antara Harapan dan Kebingungan Kita Semua
images info

Kurikulum AI: Antara Harapan dan Kebingungan Kita Semua


Dalam gelombang perkembangan teknologi yang eksponensial, kita sering merasa bangga karena mampu cepat beradaptasi. Setiap kali muncul inovasi baru—dari media sosial hingga kecerdasan buatan (AI)—antusiasme masyarakat sangat tinggi. Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu pengguna media sosial terbesar di dunia, dan kini menjadi pasar iPhone terbesar di Asia Tenggara. Kita benar-benar tidak pernah ketinggalan tren dan zaman. Hebat, bukan?

Namun, di balik kebanggaan itu, tersembunyi dilema mendalam yang kita sebut sebagai dilema konsumen teknologi. Situasi ini membuat kita cepat memakai, tetapi lambat memaknai; sigap mengadopsi, tetapi tidak sempat membentuk arah dan nilai. Dalam pusaran seperti ini, kita sering tidak punya waktu mempertimbangkan secara matang—bahkan untuk sekadar bertanya—apakah semua ini benar-benar menjawab kebutuhan kita sebagai manusia Indonesia?

Narasi besar tentang kemajuan pun kerap datang silih berganti tanpa jeda. Belum selesai kita mengunyah konsep Industri 4.0, muncul Society 5.0. Kini, era AI disambut gegap gempita.

Ibarat mengerjakan soal ujian: belum selesai kita jawab nomor 1, sudah harus menjawab nomor 2, datang lagi nomor 3, dan beruntun nomor-nomor berikutnya, padahal belum ada soal yang kita jawab secara tuntas.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, menyebutkan 75 persen anak usia 15 tahun bisa membaca, tetapi tidak memahami isi bacaan. Kemampuan literasi mereka berada di bawah standar PISA level 2, yang berarti kesulitan memahami gagasan utama dari teks panjang. Lebih dari itu, 82 persen anak-anak juga menunjukkan kemampuan matematika di bawah standar. Anak-anak yang sama tersebut sekarang juga sedang menjadi pengguna berat perangkat digital, bahkan sebagian sampai kecanduan.

AI dan Ketahanan Emosional Anak

Pemerintah berencana memasukkan materi AI dan pemrograman ke dalam kurikulum mulai kelas 5 Sekolah Dasar, sebagai mata pelajaran tambahan atau pilihan. Ini langkah strategis yang patut diapresiasi karena dunia ke depan memang menuntut literasi teknologi sejak dini.

Namun, langkah ini juga perlu kita jaga dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Seberapa siap kita secara struktural, kultural, dan pedagogis? Siapa yang akan mengajar, dengan pendekatan seperti apa, dan nilai-nilai apa yang akan melekat pada proses belajar tersebut?

AI yang kita gunakan saat ini sebenarnya masih berada pada tahap awal, meski sudah sangat ajaib dan menyediakan banyak kemudahan untuk kita.

Ketika diwawancarai dalam sebuah podcast beberapa waktu lalu, Mark Zuckerberg menggambarkan Augmented Reality (AR) holografik akan menjadi platform komputasi utama setelah ponsel, di mana ia akan sepenuhnya menghadirkan “presensi sosial” dan interaksi nyata lintas jarak. AI akan menjadi semakin personal, di mana akan sangat kontekstual hingga sangat paham kehidupan dan kebutuhan real-time penggunanya.

Itulah dunia yang tak lama lagi mungkin juga akan kita sambut dengan gegap gempita.

Namun, dalam konteks pendidikan, berbagai akrobatik teknologi tersebut seharusnya membuat kita waspada agar tidak terjebak dalam euforia keserbabisaan teknologi. Pendidikan bukan panggung efek khusus, melainkan ruang untuk perenungan makna. Jika kita hanya mengejar kemasan, kita bisa kehilangan substansi.

Zuckerberg juga mengingatkan bahwa AI bisa mempercepat proses belajar, tapi juga bisa menghapus momen paling penting dalam pertumbuhan manusia: perjuangan dan kegagalan. "Struggle is the point," katanya. Di sinilah pendidikan diuji: apakah kita membentuk anak-anak yang serba dapat solusi instan atau anak-anak yang tangguh?

AI tidak boleh semata-mata diposisikan sebagai alat bantu teknis. Ia adalah ekosistem kognitif baru yang membentuk cara berpikir, merasa, dan memahami hidup. Karena itu, anak-anak harus diajarkan bukan hanya cara menggunakan, tetapi juga kapan dan mengapa menggunakannya.

Guru dalam hal ini tidak bisa hanya menjadi fasilitator teknis. Mereka adalah penjaga nilai yang membimbing murid membangun relasi yang sehat dengan teknologi.

Dari Mahir ke Bijak: Menyusun Ulang Visi

Masalahnya, literasi digital yang selama ini ditekankan sering kali masih sampai pada keterampilan teknis. Padahal dunia digital menuntut dua lapis kemampuan tambahan: kesalehan dan kemandirian.

Abdul Mu'ti menyebutnya sebagai kesalehan digital, yakni kemampuan menggunakan teknologi dengan tanggung jawab etis dan sosial.

Lebih dari itu, kita juga perlu membangun kemandirian digital: kemampuan memahami cara kerja teknologi, bias algoritmik, dan risiko sosial-politik yang menyertainya. Tanpa dua hal ini, kita hanya melahirkan generasi yang mahir, tapi tidak sadar sedang diarahkan entah ke mana.

Pendidikan teknologi seharusnya menjadi proses memperkuat daya pikir, daya rasa, dan daya nilai peserta didik. Kita tidak hanya dihadapkan pada pertanyaan “Bisakah kita ajarkan AI?”, tetapi juga “Apakah kita siap tetap mengajarkan perjuangan?” Sebab tanpa kesulitan, manusia kehilangan momentum untuk bertumbuh secara utuh—secara emosi, nalar, dan makna. Padahal, pada generasi ini kita sedang menitipkan Indonesia Emas.

Beban Guru dalam Visi Besar Teknologi

Namun, visi besar semacam ini sulit terwujud tanpa pembenahan mendasar pada kondisi guru di Indonesia: dari jumlah yang belum mencukupi, distribusi yang tidak merata, hingga kualitas yang belum ideal. Hasil Uji Kompetensi Guru juga menunjukkan capaian yang rendah, dan tantangan pendidikan di daerah terpencil belum terjawab secara sistemik.

Kesejahteraan guru, terutama honorer dan swasta yang kecil-kecil, masih jauh dari layak. Banyak dari mereka kehilangan motivasi karena gaji rendah dan status yang tidak pasti.

Dalam kondisi seperti ini, membebani guru dengan tanggung jawab mengajarkan AI tanpa dukungan yang cukup bisa menjadi ironi yang menyakitkan (sabar ya, Bapak/Ibu Guru).

Bingung, ya? Jadi, harus bagaimana, dong?

Seandainya saya seorang guru yang sedang mengajarkan AI di kelas, mudah-mudahan saya tidak menjawab pertanyaan ini dengan berkata pada murid-murid:

“Silakan tanyakan ke ChatGPT, ya ...”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WA
AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.