Karya sastra legenda dari tanah Bugis, I La Galigo, telah mendunia. Epos ini diakui sebagai naskah terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manusia. Namun, di balik ketenarannya, hanya segelintir orang yang mengenal siapa sosok berjasa yang telah menyadur dan menuliskannya di atas lembaran-lembaran kertas.
Beliau adalah Colliq Pujie, pejuang perempuan yang telah mengabdikan hidupnya untuk sastra dan perlawanan rakyat di tanah Bugis. Usaha dan pengorbanannya patut menjadi pelajaran dan inspirasi bagi anak muda untuk memiliki keberanian dan kegigihan selayaknya Colliq Pujie.
Siapa itu Colliq Pujie?
Jika membicarakan pejuang perempuan dari tanah Bugis, maka tidak sah rasanya jika tidak mengungkit Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae atau yang akrab dipanggil Colliq Pujie.
Dilansir dari Jurnal UIN Alauddin Makassar, “Retna Kencana” adalah nama melayu yang disematkan orang tuanya sejak lahir, “Colliq Pujie” berarti pucuk daun yang terpuji, dan “Arung Pancana Toa” adalah gelar pemberian saat memimpin Pancana, sebuah daerah di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Sementara itu gelar terakhirnya, yaitu “Matinroe ri Tucae” atau “yang tertidur di Tucae” adalah nama daerah tempat beliau bersemayam untuk terakhir kalinya.
Beliau terlahir dari ayah yang bernama La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara, Raja Tanete ke-19 dan Ibu yang bernama Colliq Pakue, seorang putri dari kepala syahbandar Makassar yang terkenal karena kecerdasannya dalam berbahasa.
Pada masa kehidupannya, budaya patriarki masih kental di kehidupan kaum perempuan. Namun, Colliq Pujie memilih untuk mendobrak budaya tersebut dan menginspirasi perempuan atas kekuatan dan potensi yang dimilikinya.
Beliau memilih untuk menghabiskan waktunya dalam berbagai inisiasi pergerakan melawan penjajah dan memegang posisi penting di kerajaan, termasuk persoalan administrasi hingga kepemimpinan.
Hal ini menggambarkan kepribadian Colliq Pujie yang pemberani, cerdas, dan bijaksana. Selain itu, kecintaannya terhadap sastra tergambarkan dari karya-karyanya yang telah berkontribusi bagi perkembangan sastra Bugis, termasuk yang paling fenomenal, I La Galigo.
Sastra: Kehidupan dan Sumber Perlawanannya
Salah satu hal yang melekat di dalam diri seorang Colliq Pujie adalah kecintaannya terhadap sastra. Beliau terkenal sebagai pujangga yang mengabdikan dirinya untuk mempelajari sejarah dan budaya leluhurnya. Melalui karya-karyanya beliau telah memengaruhi perkembangan sastra Bugis, khususnya melalui tulisan.
Kegemarannya terhadap sastra dilatarbelakangi oleh banyaknya waktu yang digunakan untuk tenggelam dengan buku-buku di perpustakaan kerajaan, bahkan Colliq Pujie memilih untuk berpetualang guna mengumpulkan epos dan syair dari berbagai penjuru Sulawesi.
Tidak hanya berupa hobi, tetapi kecintaannya terhadap sastra menjadi wadah bagi beliau untuk melakukan perlawanan. Hal ini terlihat dari bagaimana beliau menciptakan aksara Bilang, sebuah aksara yang disusun khusus untuk berkomunikasi dengan rakyatnya guna menggerakkan perlawanan saat dalam pengasingan.
Perjuangan Heroik Melawan Penjajahan Belanda
Jika pemimpin di era penjajahan lebih memilih untuk tunduk dan menikmati kekuasaannya di balik tembok kerajaan, maka lain halnya dengan Colliq Pujie. Saat memimpin Pancana, beliau menolak segala bentuk ketidakadilan yang dilakukan penjajah terhadap rakyatnya. Hal ini membuat Colliq Pujie memperoleh perhatian khusus oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Perlawanannya bertambah rumit saat anaknya We Tenriolle yang diangkat menjadi raja Tanete, memilih untuk bekerja sama dengan Belanda, sehingga membuat hubungan ibu-anak tersebut makin memburuk.
Besarnya pengaruh Colliq Pujie memaksa Belanda untuk memutus akses beliau dengan rakyatnya dan mengasingkannya ke Ujung Pandang (Saat ini Makassar) selama satu dasawarsa, dari tahun 1857-1867. Hal ini membuat Colliq Pujie harus menguras tabungan untuk menghidupi kebutuhannya selama pengasingan.
Namun, kegigihan Colliq Pujie tidak akan pernah padam. Walaupun jarak Makassar dan Tanete lebih dari 100 km, tetapi beliau mampu melanjutkan perlawanannya melalui aksara Bilang, sebuah aksara khusus yang disusun Colliq Pujie untuk berkomunikasi dengan para pengikutnya. Aksara tersebut disusun dari aksara Arab dan Bugis, sehingga menghasilkan 18 huruf yang bisa digunakan untuk menyusun informasi.
Hal ini menandakan bagaimana penderitaan dan jarak tidak akan bisa menyurutkan keberanian Colliq Pujie. Atas kecintaannya pada sastra dan tanah leluhurnya, beliau mampu menggagas perlawanan melalui tulisan.
Perjalanan Menyalin Karya Sastra Terpanjang dalam Sejarah, I La Galigo
I La Galigo, sebuah epos tentang awal mula peradaban bugis dan segala aspek kebudayaannya. Naskah ini diakui oleh UNESCO sebagai “memory of the world” karena telah dianggap sebagai warisan budaya dunia.
Dikutip dari artikel amira.co.id, proses penyalinan naskah I La Galigo dimulai dari pertemuan Colliq Pujie dengan Benjamin Frederik Matthes, seorang misionaris asal Belanda, yang ditugaskan untuk meneliti kesusastraan di Sulawesi.
Kecintaan Colliq Pujie terhadap sastra Bugis akhirnya menarik minat Matthes untuk bekerja sama guna mengumpulkan sureq (nyanyian turun temurun oleh leluhur masyarakat Bugis) dan menyusunnya menjadi sebuah naskah yang kelak dikenal sebagai I La Galigo.
Untuk menyusun naskah ini, Matthes dan Colliq Pujie membutuhkan waktu sekitar 20 tahun, termasuk pada masa pengasingannya. Colliq Pujie bertugas untuk menyadur syair ke dalam tulisan dan memberi petunjuk pada Matthes di mana potongan-potongan lainnya dapat diperoleh.
Kerja keras mereka pun akhirnya tak sia-sia ketika Colliq Pujie mampu menyusun 12 jilid naskah sepanjang 2.851 halaman folio yang terdiri dari 300.000 baris syair. Hal ini menjadikan naskah I La Galigo menjadi karya sastra terpanjang dalam sejarah, mengalahkan epos terkenal dari India, Mahabharata.
Bingkai Sejarah Sulawesi dalam Karya-Karyanya
Tidak hanya I La Galigo, Colliq Pujie juga menulis berbagai karya-karya yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis, salah satunya adalah Sureq Baweng. Menurut Saransi dikutip dari Historia, karya ini berisi petuah-petuah yang indah dengan makna yang mendalam.
Selain itu, Colliq Pujie juga menulis Lontaraqna Tanete atau Sejarah Tanete yang berisi gambaran kehidupan kerajaan Tanete sejak raja pertama hingga ke-20. Karya ini akhirnya diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Geschiedenis Van Tanette oleh G.K Niemen. Kemudian, Colliq Pujie juga menulis naskah La Toa, sebuah tulisan yang berisi peraturan-peraturan dalam mengelola pemerintahan dan sikap-sikap keteladanan dari seorang pemimpin.
Demikian, kisah kehidupan Colliq Pujie sebagai pejuang tanah Bugis dan penyalin karya sastra terpanjang dalam sejarah. Dari berbagai usaha dan pengorbanannya, dapat digambarkan bagaimana kegigihan seorang Colliq Pujie untuk melindungi rakyatnya dari ketidakadilan penjajah.
Selain itu, kecintaannya terhadap sastra bisa menjadi inspirasi, bagaimana pemimpin dan pejuang hebat dimulai dari penghormatannya terhadap kisah-kisah leluhur dan cara-cara untuk melestarikannya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News