mulai bakso hingga baju koko simak 7 akulturasi budaya tiongkok dan indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Mulai Bakso hingga Baju Koko! Simak 7 Akulturasi Budaya Tiongkok dan Indonesia

Mulai Bakso hingga Baju Koko! Simak 7 Akulturasi Budaya Tiongkok dan Indonesia
images info

Mulai Bakso hingga Baju Koko! Simak 7 Akulturasi Budaya Tiongkok dan Indonesia


Halo Kawan GNFI! Siapa yang tahu jika Bakso merupakan salah satu akulturasi budaya dari Tiongkok dan Indonesia? Makanan sejuta umat ini menjadi bukti pertemuan dua kultur yang berbeda dan menambah khazanah keberagaman di Indonesia. 

Seperti kata Udaya Halim yang dikutip dari laman National Geographic Indonesia bahwa tidak ada budaya yang berdiri sendiri, melainkan terbentuk dari beragam interaksi. Salah satunya adalah interaksi Tiongkok dan Indonesia yang telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan saat kerajaan-kerajaan masih eksis. Hal ini menjadikan Tiongkok sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah peradaban di Indonesia.

baca juga

Sejarah Masuknya Bangsa Tiongkok di Indonesia

Bangsa Tiongkok dikenal sebagai bangsa penjelajah. Kemampuannya untuk berlayar membawanya ke tempat-tempat yang jauh, termasuk ke pesisir Laut Cina Selatan untuk berdagang sejak 300 tahun sebelum Masehi. 

Namun, kedatangan Tiongkok ke Asia Tenggara mulai tercatat dalam sejarah sekitar abad ke-11. Indonesia yang menjadi gerbang pelayaran, khususnya ke India, membuat pedagang Tiongkok singgah untuk beristirahat sejenak di pesisir-pesisir Indonesia. 

Salah satu tokoh terkenal dalam kedatangan Bangsa Tiongkok ke Indonesia adalah Cheng Ho, seorang laksamana dari era Dinasti Ming. Beliau dalam ekspedisinya yang terkenal damai dan diplomatis telah membangun komunitas Muslim Tionghoa pertama di Indonesia dan mulai menyebar ke beberapa wilayah pada abad ke-15.

Gelombang kedatangan bangsa Tiongkok makin besar ketika era penjajahan Belanda. Dilansir dari jurnal Wacana, saat Jan Pieterszoon Coen menguasai Jayakarta (Batavia) pada awal abad ke-17, kehadiran orang-orang Tiongkok dianggap sebagai keuntungan karena kemahirannya dalam berbisnis dan kemampuannya untuk menjadi perantara Belanda dengan kaum pribumi.

Hal ini membuat orang-orang Tiongkok memperoleh keistimewaan, berupa hak tinggal dan posisi strategis di pemerintahan Hindia Belanda.

Melihat peluang itu, ditambah pengaruh gejolak ekonomi dan politik di negara asalnya, masyarakat Tiongkok akhirnya berbondong-bondong untuk datang ke Indonesia guna memperoleh kelayakan hidup dan membentuk komunitas-komunitas di seluruh penjuru Indonesia.

Contoh Akulturasi Budaya Tiongkok dan Indonesia

1. Perayaan

Imlek adalah perayaan tahun baru di kebudayaan Tionghoa. Seiring kedatangannya ke Indonesia, orang-orang Tionghoa telah merayakan dan mengadaptasinya dengan beberapa budaya lokal. 

Salah satunya adalah perayaan Grebeg Sudiro di Solo. Jika biasanya gunungan dalam sebuah kirab adalah hasil bumi lokal, maka Grebeg Sudiro berisi aneka panganan tradisional hasil akulturasi dengan Tiongkok, misalnya cakwe, onde-onde, hingga bakpia. 

Selain itu, pada hari ke-15 setelah Imlek, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia akan merayakan Cap Go Meh. Biasanya, perayaan ini diisi dengan pertunjukan seni dan kuliner hasil akulturasi dua budaya.

2. Kuliner

Akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia yang paling terasa bagi masyarakat adalah kuliner. Salah satu yang paling terkenal adalah Lumpia Semarang. Kata lumpia sendiri merupakan serapan dari lun pia yang merupakan makanan tradisional Tiongkok yang biasanya berisi rebung dan daging. 

Namun, saat masuk ke Indonesia, Lumpia akhirnya beradaptasi dengan lidah lokal, sehingga isiannya menyesuaikan dengan bahan makanan yang ada di Indonesia, misalnya ayam, telur, udang, hingga kentang.

Selain itu, makanan hasil akulturasi budaya Indonesia dan Tiongkok yang sering kita jumpai adalah kecap. Bahan utamanya, yaitu kedelai, dibawa oleh Cheng Ho saat berlayar ke Indonesia dan dipadukan dengan gula jawa untuk menghasilkan kecap manis.

baca juga

3. Bahasa

Siapa yang familier dengan gopek, goceng, goban, dan kawan-kawannya? Ternyata istilah tersebut diserap dari dialek Hokkian, salah satu bahasa yang banyak dituturkan di daerah Fujian, Tiongkok. 

Tidak hanya itu, masih banyak istilah Indonesia yang diserap dari bahasa Tiongkok, misalnya soto, cincau, bakso, lumpia, sempoa, kongsi, dan masih banyak lagi. Termasuk kata yang paling sering digunakan masyarakat dalam berkomunikasi informal, seperti gua dan lu.

4. Arsitektur Bangunan

Masjid Cheng Ho yang terletak di Surabaya merupakah salah satu akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan terhadap Laksamana Cheng Ho, masjid ini kental dengan arsitektur Tiongkok, seperti warnanya yang dominan merah, emas dan hijau hingga bentuk atapnya yang menyerupai pagoda. 

Contoh lainnya, yaitu arsitektur bangunan di Kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang merupakan daerah dengan julukan ‘Tiongkok Kecil’. Sebagian besar bangunannya memiliki gaya arsitektur Tiongkok, mulai dari tempat tinggal, sekolah, hingga tempat peribadatan. 

5. Kesenian

Dalam setiap akulturasi budaya, tidak sah rasanya jika tidak membahas perpaduan seninya. Salah satu seni yang paling melekat dalam budaya Tionghoa adalah pertunjukan Barongsai dan Liong yang dapat Kawan temui saat perayaan Imlek. 

Selanjutnya, ada Gambang Kromong yang merupakan campuran seni musik dari Tiongkok dan Indonesia. Gambang Kromong dikenal sebagai pertunjukan musik asal Betawi yang menggunakan beberapa instrumen, termasuk alat musik Tionghoa, seperti Tehyan, Kongahyan, dan Sukong. Hal ini menunjukkan akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia mencakup berbagai aspek, termasuk seni.

baca juga

6. Gaya Busana

Baju koko merupakan salah satu pengaruh budaya Tiongkok dan Indonesia. Ternyata, baju ini merupakan pakaian tradisional khas Tiongkok yang mayoritas digunakan oleh oleh masyarakat Muslim Tionghoa, yaitu Tui-Khim.

Selain itu, batik Lasem yang biasanya ditemui di Rembang, Jawa Tengah, merupakan pakaian tradisional yang memadukan model batik Jawa dan motif khas Tiongkok, seperti naga yang merupakan makhluk mitologi penting dalam kebudayaan Tiongkok.

7. Falsafah Hidup

Perpaduan budaya tidak hanya menyasar seni dan kuliner, tetapi juga sudut pandang masyarakatnya dalam menjalani kehidupan. Berbekal konsep Tian Xia, yang erat kaitannya dengan persaudaraan dan kesamaan cita-cita untuk mencapai kebahagiaan dan keharmonisan, lebih dari 40.000 masyarakat Tionghoa kini hidup berdampingan dengan masyarakat lokal di Maluku.

Hal ini disebabkan karena adanya kesamaan falsafah hidup dengan masyarakat Maluku, yaitu Pela Gandong, yang juga menekankan pentingnya kerukunan dalam membangun masyarakat yang damai. Hal ini menandakan keselarasan prinsip dalam menjalani kehidupan mampu menyatukan ikatan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal di Indonesia.

Dengan demikian, sejarah dan bentuk-bentuk akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia. Tidak hanya sebatas yang ada di atas, tetapi masih banyak perpaduan unik dan indah dari kedua kebudayaan tersebut. Tinggal bagaimana Kawan dapat menggali keberagaman tersebut sebagai bagian dari harta karun yang dimiliki Indonesia. Selamat melebur, berbaur, dan bertoleransi!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.