Di tengah kemajuan teknologi yang pesat dan perubahan gaya hidup yang dinamis, dunia pendidikan menghadapi tantangan sekaligus peluang besar, terutama dalam menghadapi generasi yang dikenal dengan sebutan Gen Z.
Lahir di antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, Gen Z tumbuh dalam lingkungan digital yang serba cepat, visual, dan terkoneksi.
Namun, apakah sistem pendidikan kita sudah siap mengikuti irama mereka?
Tantangan yang Nyata
Salah satu tantangan utama dalam pendidikan Gen Z adalah digital distraction. Gawai dan media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga menjadi bagian dari identitas sosial Gen Z. Mereka lebih mudah terdistraksi oleh notifikasi daripada tertarik pada bacaan panjang atau metode belajar konvensional.
Studi dariCommon Sense Media (2023) menunjukkan bahwa remaja menghabiskan rata-rata lebih dari 8 jam per hari di depan layar.
Selain itu, metode pembelajaran yang masih banyak bersifat satu arah terasa kurang relevan bagi generasi yang terbiasa mengakses informasi secara mandiri. Menurut McKinsey & Company, Gen Z lebih menyukai pembelajaran aktif dan personal dibanding model ceramah tradisional.
Tak kalah penting adalah isu kesehatan mental. Tekanan akademik, ditambah paparan media sosial yang konstan, membuat sebagian Gen Z merasa cemas, lelah, bahkan kehilangan arah.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, lebih dari 50% remaja Indonesia menunjukkan gejala stres dan kecemasan. Kondisi ini menuntut perhatian lebih dari sekolah, guru, dan orang tua untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan suportif.
Peluang yang Menjanjikan
Namun, di balik tantangan tersebut terbuka peluang besar untuk transformasi pendidikan. Gen Z adalah generasi yang kreatif, kritis, dan cepat belajar. Mereka tidak takut mencoba hal baru dan memiliki semangat kewirausahaan sejak dini.
Banyak dari mereka bahkan sudah membangun portofolio digital, menjalankan bisnis kecil-kecilan, hingga membuat konten edukatif di media sosial.
Pendidikan hari ini bisa menjadi lebih bermakna jika mampu memfasilitasi kebebasan berekspresi dan eksplorasi potensi diri. Pendekatan seperti project-based learning dan pembelajaran berbasis teknologi sangat sesuai dengan karakter Gen Z.
Laporan World Economic Forum menekankan pentingnya pendidikan yang membangun soft skill, kolaborasi, dan kemampuan berpikir kritis.
Gen Z juga sangat peduli terhadap isu sosial dan lingkungan. Mereka ingin pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan, keadilan sosial, dan empati. Ini adalah peluang bagi sekolah dan universitas untuk menanamkan pendidikan karakter secara kontekstual dan relevan.
Banyak komunitas belajar kini bermunculan di luar sistem formal, seperti platform daring, bootcamp, atau organisasi sosial yang menyasar isu-isu global dari perspektif anak muda.
Pendidikan Bukan Sekadar Kurikulum
Kini saatnya kita memandang pendidikan sebagai ruang pertumbuhan yang lebih luas dari sekadar kurikulum. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi fasilitator dan mentor. Sekolah dan kampus bisa menjadi laboratorium kehidupan, tempat setiap anak muda menemukan versi terbaik dirinya—melalui pengalaman, interaksi, dan nilai-nilai yang membentuk karakter.
Sebagai masyarakat, kita semua memiliki peran. Mendengarkan suara Gen Z, memberi ruang untuk mereka berekspresi, dan membimbing mereka dengan empati adalah bentuk dukungan yang sederhana namun berdampak.
Pendidikan tidak lagi sekadar “mengajar”, tetapi juga merangkul, menginspirasi, dan membentuk arah hidup.
Gen Z bukan generasi yang harus “disesuaikan” dengan sistem lama. Sebaliknya, mereka adalah mitra penting dalam membentuk masa depan pendidikan Indonesia yang lebih inklusif, relevan, dan manusiawi.
Mungkin, inilah momen terbaik untuk bersama-sama membayangkan ulang masa depan pendidikan—bukan dengan mengubah siapa mereka, tetapi dengan tumbuh bersama mereka.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News