Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, memiliki gagasan ambisius: menjadikan Indonesia sebagai Ibu Kota Kebudayaan Dunia. Gagasan ini rasanya tidak datang tanpa dasar. Indonesia memang salah satu negara paling kaya secara kultural—dari ragam bahasa, seni pertunjukan, kuliner, hingga sistem nilai lokal yang masih hidup di tengah masyarakat.
Namun, seperti halnya banyak potensi besar yang kita miliki, tantangan utama justru datang dari dalam.
Setiap daerah memiliki kekayaan budaya unik: dari kuliner khas yang sarat nilai filosofi dan sosial hingga ragam seni yang menjadi medium penyimpan identitas lokal. Menteri Kebudayaan menyebut kondisi ini sebagai “megadiversity” budaya. Indonesia seolah memiliki “hutan raya” kebudayaan yang tumbuh subur dan beragam. Bagaimana tidak beragam, BPS mencatat Indonesia punya lebih dari 1.300 suku bangsa.
Di sinilah letak tantangannya. Promosi budaya pada umumnya menuntut narasi yang fokus dan aksi yang konsisten. Kita bisa melihat, misalnya, dari Korea Selatan yang sejak awal 2000-an memfokuskan promosi budayanya melalui narasi Hallyu atau Korean Wave. Dengan konsistensi kebijakan, insentif industri kreatif, serta dukungan diplomasi budaya, mereka berhasil mengangkat budaya pop seperti K-pop, K-drama, dan makanan Korea menjadi simbol identitas nasional yang dikenal secara global. Strateginya bukan menampilkan semua budaya Korea secara bersamaan, tetapi memilih pintu masuk yang paling strategis dan mempopulerkan nilai-nilai lokal lewat medium global.
Sementara itu, kita memiliki materi budaya yang sangat beragam dan tersebar. Maka, muncul pertanyaan penting: bagaimana mempromosikan budaya Indonesia secara konsisten dan fokus tanpa mereduksi keberagamannya? Budaya mana yang mau diangkat terlebih dulu? Jika semua harus dipromosikan secara bersamaan, apakah kita mampu? Bagaimana mengelola dan mempromosikan keberagaman yang sangat luas ini secara strategis dan berkelanjutan?
Sampai di sini, seharusnya kita jadi semakin sadar: berhenti pada rasa bangga karena memiliki budaya yang kaya dan beragam saja tidak cukup. Ia harus diubah menjadi kerangka kerja aktif yang dapat memandu kebijakan dan aksi promosi budaya nasional.
Lebih dari Budaya, Ini tentang Peradaban
Selain ekspresi seni atau adat istiadat, Nusantara juga menyimpan jejak peradaban besar yang pernah tumbuh dan memberi kontribusi penting bagi dunia.
Saat berkunjung ke Candi Borobudur bersama Presiden Prabowo pada 29 Mei lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyampaikan kekagumannya dan menyebut Borobudur sebagai “bukti kemegahan peradaban Indonesia dan kekayaan budaya yang luar biasa.” Pengakuan ini menyiratkan, apabila serius dipromosikan, dunia akan semakin melihat Indonesia bukan hanya sebagai negara berbudaya, tetapi juga sebagai bagian penting dari sejarah peradaban manusia.
Saya sendiri merasakan getaran serupa saat berkunjung ke kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi, di tepian Sungai Batanghari, Provinsi Jambi. Ia menghadirkan rasa takjub—bahwa pada sisa-sisa candi yang tampak tenang ini, pernah tumbuh sebuah pusat keilmuan dan spiritualitas yang terhubung langsung dengan jaringan peradaban besar Asia Kuno. Muara Jambi adalah kompleks candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Tata letak, sistem kanal, dan struktur ruangnya mencerminkan pemikiran yang sangat matang tentang teknologi, alam, dan kehidupan.
Rasanya masih banyak kisah seperti ini yang tersebar di berbagai belahan Nusantara—dan semuanya pantas mendapat panggung yang layak.
Narasi Megah Perlu Orkestrasi Rinci
Gagasan menjadikan Indonesia sebagai pusat kebudayaan dunia adalah langkah strategis. Namun, narasi besar hanya akan hidup jika dijalankan dengan sistem kerja yang konkret, terukur, dan berkelanjutan. Promosi budaya tidak bisa cukup pada festival, seremoni, atau proyek musiman. Ia membutuhkan orkestrasi kolaboratif lintas aktor: pemerintah pusat dan daerah, pelaku budaya, komunitas, media, industri, hingga masyarakat luas.
Tanpa manajemen naratif yang kuat, potensi budaya Indonesia akan terus berserakan dan sulit menembus panggung global secara terstruktur.
Promosi budaya harus dipahami bukan sekadar memperkenalkan kekayaan budaya kepada publik, tapi perlu lebih dalam: bagaimana budaya bisa kembali hidup sebagai praktik sosial di tengah masyarakat.
Masyarakat Masih Antusias
Partisipasi publik sangat mungkin untuk dibangun. Potensi Indonesia sebagai pengguna media sosial terbesar di dunia seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik agar bisa mewarnai ruang digital dengan konten-konten budaya.
Upaya ini bisa digalang dengan berbagai kolaborasi lintas sektor, dan terutama juga dengan pemerintah.
Contohnya, saat GNFI bersama Direktorat Jenderal Kebudayaan (sebelum menjadi Kementerian Kebudayaan) mengadakan “Kompetisi Konten Gerak Tari Nusantara”. Dalam waktu satu bulan, ratusan konten tari tradisional dihimpun dari seluruh penjuru Nusantara—mayoritas dikirimkan oleh anak-anak muda yang bangga menampilkan tarian daerahnya. Konten ini ditonton jutaan kali dan memicu percakapan oleh ratusan ribu pengguna internet.
Kami juga pernah mengadakan program “Rekam Maestro Budaya Daerahku”. Sama, ratusan maestro budaya lokal yang mungkin tak pernah terekspos berhasil direkam oleh videografer amatir maupun profesional dalam waktu satu bulan. Rekaman-rekaman ini menjadi jendela penting untuk melihat perjuangan para penjaga budaya lokal yang terus berkarya di tengah arus modernitas. Lagi-lagi, sambutan publik sangat hangat: jutaan penonton, ribuan komentar positif.
Fakta-fakta ini membantah anggapan bahwa generasi muda tak tertarik pada budaya lokal. Mereka bahkan sangat bisa dilibatkan. Ketika disediakan medium dan dukungan yang relevan, mereka tampil dengan antusias. Tantangannya kini adalah bagaimana negara dapat menciptakan ekosistem digital dan naratif yang berpihak kepada konten budaya, bukan hanya mengikuti logika algoritma yang lebih mengutamakan tren hiburan sesaat.
Kelembagaan yang Lincah dan Berkelanjutan
Dengan potensi yang bertebaran sedemikian rupa, birokrasi dalam bidang kebudayaan memegang peran sentral dalam menggerakkan strategi promosi budaya. Namun, ia juga menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan kesinambungan arah kebudayaan meski terjadi pergantian era dan pemimpin?
Indonesia telah memiliki Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2018–2040, sebuah dokumen strategis jangka panjang yang seharusnya menjadi acuan lintas periode. Namun, RIPK tidak akan efektif jika tidak didukung oleh kelembagaan yang kuat, lincah, dan adaptif terhadap dinamika zaman.
Dalam konteks ini, pendirian Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia adalah langkah yang sudah tepat. Dengan kelembagaan yang lebih fokus dan otoritatif, pemajuan budaya kini memiliki rumahnya sendiri. Yang dinantikan ke depan adalah seberapa bertenaga dan konkret langkah-langkah berikutnya dalam mewujudkan visi besar ini—agar budaya Indonesia benar-benar mendunia, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam realita.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News