Desa Segobang merupakan salah satu daerah yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Terdapat sebuah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat perihal asal usul penamaan Desa Segobang tersebut.
Bagaimana kisah lengkap dari cerita asal usul penamaan nama Desa Segobang tersebut? Temukan kisah lengkapnya dalam artikel berikut ini.
Asal Usul Desa Segobang
Dilansir dari buku Wahyu Setyorini dan Tim Wong Indonesia Nulis yang berjudul 78 Legenda Ternama Indonesia, pada Masa Kolonial Belanda, hampir semua daerah yang ada di Nusantara dikuasai oleh bangsa asing yang datang. Salah satu daerah yang tidak luput dari kekuasaan Belanda pada waktu itu adalah Banyuwangi.
Dulunya di daerah Banyuwangi terdapat hutan yang sangat lebat. Wilayah ini berada di daerah dataran tinggi dan jauh dari pusat kota.
Pada waktu itu, tidak ada penduduk asli Banyuwangi yang berasal dari Suku Osing yang tinggal di sana. Terlebih akses jalan menuju hutan tersebut masih sulit untuk dilalui.
Pemerintah kolonial melihat hutan tersebut dengan sudut pandang yang berbeda. Pemerintah kolonial menganggap hutan tersebut cocok digunakan sebagai lahan baru untuk pertanian.
Melihat hal ini, pemerintah kolonial kemudian menawarkan penduduk Suku Osing yang tinggal di pusat kota untuk pindah ke sana. Pemerintah kolonial mengajak penduduk asli Banyuwangi tersebut untuk bekerja sama membuka lahan pertanian di sana.
Akan tetapi tawaran dari pemerintah kolonial ini ditolak oleh masyarakat. Akhirnya pemerintah kolonial mendatangkan pekerja dari daerah lainnya untuk membuka lahan di hutan tersebut.
Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan para pekerja beserta petugas dari pemerintah kolonial menuju hutan tersebut. Di tengah perjalanan, mereka justru dihadang oleh masyarakat Suku Osing yang ada di sana.
Masyarakat Suku Osing menganggap bahwa daerah tersebut merupakan wilayah mereka. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial tidak boleh berbuat seenaknya terhadap hutan tersebut.
Petugas dari pemerintah kolonial kemudian melakukan negosiasi dengan masyarakat Banyuwangi. Pemerintah kolonial membujuk masyarakat dan berkata bahwa lahan pertanian tersebut bisa mereka gunakan lainnya.
Mendengarkan hal ini, masyarakat Banyuwangi merasa tertarik dengan tawaran tersebut. Apalagi dengan adanya lahan pertanian, mereka bisa memiliki potensi mata pencaharian baru lainnya.
Akhirnya masyarakat Banyuwangi kemudian ikut bersama rombongan pemerintah kolonial menuju hutan tersebut. Sesampainya di sana, mereka mulai membabat hutan dan membuka lahan pertanian.
Setelah lahan pertanian dibuka, masyarakat mulai menetap dan menggarap berbagai macam hasil bumi di sana. Pemerintah kolonial yang melihat hal ini kemudian mulai menerapkan peraturan yang ingin mereka canangkan sedari awal.
Pemerintah kolonial tidak ingin rugi dan mau mendapatkan keuntungan yang banyak dari lahan pertanian tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial menerapkan uang setoran yang wajib dibayarkan setiap masyarakat yang memiliki lahan di sana.
Uang setoran yang mesti dibayarkan berjumlah sak benggol atau satu gobang. Pada waktu itu, jumlah ini setara dengan dua setengah sen.
Pada awalnya, masyarakat Banyuwangi menolak aturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ini. Mereka merasa dipermainkan oleh pemerintah kolonial yang pada awalnya berkata bebas menggunakan lahan di sana.
Akan tetapi masyarakat yang ada di sana tidak bisa berbuat banyak. Mereka juga tidak bisa kembali ke pusat kota karena kondisi ekonomi yang juga tidak jauh berbeda di sana.
Akhirnya masyarakat terpaksa tetap membayarkan uang setoran tersebut. Lambat laun istilah sak gobang mulai sering diucapkan dalam kehidupan masyarakat di sana.
Seiring berjalannya waktu, istilah ini pula yang kemudian menjadi asal usul penamaan daerah tersebut, yakni Desa Segobang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News