krisis figur ayah ancaman nyata bagi masa depan anak indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Krisis Figur Ayah, Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak Indonesia

Krisis Figur Ayah, Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak Indonesia
images info

Krisis Figur Ayah, Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak Indonesia


Dalam banyak keluarga di Indonesia, peran ayah sering kali tereduksi menjadi pencari nafkah. Ayah dianggap cukup hadir jika mampu membiayai kebutuhan rumah tangga.

Namun, di balik kenyataan ini, ada fenomena sunyi yang kian mengemuka: krisis figur ayah atau lebih dikenal sebagai fatherless. Fenomena ini bukan sekadar soal ayah yang tidak tinggal serumah, melainkan juga menyangkut ketidakhadiran emosional dalam proses tumbuh kembang anak.

Apa Itu Fatherless?

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti dilansir dari Zona Literasi menjelaskan, fatherless merujuk pada kondisi anak yang tumbuh tanpa keterlibatan atau kehadiran signifikan dari sosok ayah, baik secara fisik maupun emosional.

Ini bisa terjadi karena perceraian, pekerjaan ayah yang jauh, atau bahkan karena pola asuh yang tidak melibatkan ayah dalam urusan pengasuhan anak.

Fakta di Lapangan, Data yang Mengkhawatirkan

Fenomena fatherless bukan isapan jempol. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari 30,8 juta anak usia 0–5 tahun, hanya 37,17% yang tinggal bersama kedua orang tua kandung.

Ini berarti sebagian besar anak Indonesia menjalani masa tumbuh kembang tanpa pengawasan langsung kedua orang tua.

baca juga

Lebih jauh, data dari BKKBN menyebutkan bahwa sekitar 80% anak di Indonesia mengalami ketidakhadiran figur ayah secara emosional. Bahkan, pada tahun 2022, tercatat lebih dari 516 ribu kasus perceraian—dan sebagian besar melibatkan anak.

Dampak Nyata bagi Anak

Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah cenderung mengalami berbagai kesulitan yang tidak kasat mata. Mulai dari gangguan emosional, rasa tidak aman, hingga kesulitan menjalin hubungan sosial.

Laporan EGINDO mencatat bahwa anak fatherless cenderung merasa kurang percaya diri, menarik diri dari pergaulan sosial, rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA, mengalami gangguan kesehatan mental, hingga penurunan prestasi akademik.

Tak hanya berdampak pada masa kanak-kanak, ketidakhadiran figur ayah juga memengaruhi masa depan anak.

Anak perempuan yang tidak memiliki hubungan yang sehat dengan ayahnya, misalnya, lebih rentan terhadap relasi tidak sehat saat dewasa. Sedangkan anak laki-laki cenderung kehilangan arah dalam membentuk jati diri.

Akar Masalah, Budaya dan Sistem Sosial

Budaya patriarki yang masih kuat menempatkan ayah sebagai figur otoritas ekonomi, bukan emosional. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan kerap dianggap sebagai “urusan ibu”.

Belum lagi tekanan ekonomi membuat banyak ayah harus bekerja jauh dari rumah dalam waktu lama. Akibatnya, meski secara fisik terdaftar sebagai kepala keluarga, peran emosional dan sosialnya diabaikan.

Menurut Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, ditilik dari tempo.co mengungkapkan “Secara biologis, dampaknya nyata. Belum lagi saat anak mulai besar, ia butuh peran ayah dalam pendidikan, agama, lingkungan, ekonomi, dan cinta kasih.”

Apa yang Bisa Dilakukan?

Kabar baiknya, krisis ini bisa diatasi jika seluruh pihak mulai bergerak. Ada beberapa langkah yang bisa kita dorong bersama:

  1. Cuti Ayah dan Pendidikan Keluarga

Pemerintah dapat memperkuat kebijakan cuti ayah pasca-kelahiran anak. Selain itu, program seperti Kelas Bina Keluarga Balita oleh BKKBN dapat menjadi ruang edukasi bersama untuk membangun keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

  1. Teknologi sebagai Penghubung

Bagi ayah yang bekerja jauh, teknologi seperti panggilan video harian, rekaman cerita untuk anak, atau sekadar pesan suara bisa menjadi jembatan emosional. Kehadiran tidak selalu soal fisik, tetapi soal keterlibatan hati dan waktu.

  1. Perubahan Pola Pikir

Kampanye publik dan pendidikan komunitas harus mulai menekankan bahwa pengasuhan bukan hanya tugas ibu. Ayah perlu hadir dalam aktivitas anak, dari hal kecil seperti mendampingi belajar hingga mendengar cerita harian mereka.

  1. Masyarakat yang Mendukung

Lembaga pendidikan dan komunitas lokal dapat menyediakan ruang bagi para ayah untuk aktif dalam kegiatan anak. Misalnya, kegiatan “Ayah Mengajar” di sekolah, kelas ayah-anak, atau forum diskusi ayah.

baca juga

Menuju Generasi Tangguh, Butuh Ayah yang Hadir

Membangun generasi Indonesia yang tangguh tak cukup hanya dengan kehadiran ibu. Ayah memiliki peran unik yang tak bisa digantikan.

Dengan menciptakan keluarga yang berimbang di mana ayah dan ibu sama-sama hadir dan terlibat. Kita sedang menanam benih masa depan bangsa yang lebih sehat secara mental, sosial, dan spiritual.

Mari bersama-sama menjadikan isu ini bukan sekadar narasi sunyi, tetapi bagian dari perubahan besar dalam pembangunan manusia Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.