Di tengah gempuran budaya global, Sulawesi Selatan menyimpan mutiara sastra yang terus eksis, yakni Sastra Kelong. Bentuk puisi tradisional Makassar ini bukan sekadar rangkaian kata, tapi jantung kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan yang telah berdenyut selama berabad-abad.
Dilansir Labbiri, M.Pd, Sastra Kelong: Menyibak Literasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal, karya sastra ini merupakan "produk sekaligus perekam budaya" yang sarat nilai kehidupan. Kelong tak sekadar menjadi warisan leluhur, tapi terus relevan dengan modernitas.
Nilai-nilai luhur dalam Kelong—dari kejujuran hingga semangat persatuan— selaras dengan upaya membangun generasi berkarakter Indonesia.
Karakteristik Kelong
Kelong memiliki "DNA" khusus yang membedakannya dari puisi tradisional lain. Struktur yang teratur, setiap bait terdiri dari empat baris dengan pola suku kata 8/8/5/8. Pola ini menciptakan irama khas saat didendangkan.
Menariknya, susunan sintaksisnya mengikuti pola 2/2/1/2—dua kelompok kata pertama sebagai pembuka, diikuti satu kata penekan, dan ditutup dua kelompok kata penutup.
Yang membuat Kelong istimewa adalah kemampuannya berdiri sebagai karya utuh, baik dalam satu bait tunggal maupun rangkaian puluhan bait. Sebagaimana pantun, ia sering bersifat anonim—tak diketahui penciptanya—karena tumbuh dari kolektif masyarakat.
Tema yang diusung pun beragam, mulai dari nasihat keagamaan yang dalam (Kelong Agama) hingga kisah cinta muda-mudi (Kelong Pasitanringang), semuanya disampaikan dengan metafora alam dan keseharian yang memikat.
Lebih dari Sekadar Puisi
Dalam masyarakat Makassar, Kelong bukan hanya seni; ia hidup dalam lima peran vital:
- Media Pendidikan: Kelong menjadi "guru tanpa ruang kelas". Nilai religius seperti dalam Kelong Basang mengajarkan konsep makrifat (pengenalan Tuhan) dan pentingnya salat. Sementara Kelong sosial mengajarkan kehati-hatian: Tutulaloko rikana / Ingakko ri panagaukang (Hati-hati dalam ucapan, waspada dalam perbuatan).
- Pembangkit Semangat Juang: Bait-bait heroik mengobarkan keberanian. Saat menghadapi penjajah, pejuang Gowa bersenandung: Manna bukuja kutete / Manna cerakja kulimbang (Walau hanya tulang kututi, walau harus kulintasi lautan darah) – menggambarkan tekad pantang mundur.
- Media Komunikasi Emosional: Kelong menjadi "media sosial" tradisional. Pemuda menyampaikan rasa cinta melalui bait seperti Nampako makcuklak lebong (Sejak Dinda tumbuh seperti rebung), dan gadis membalas dengan sindiran halus atau penerimaan.
- Pelestari Budaya: Sebagai "bank data" budaya, Kelong merekam filosofi hidup orang Makassar. Konsep sirik (harga diri) dan pacce (rasa sepenanggungan) terus hidup lewat syair-syair turun-temurun.
- Sarana Hiburan: Dalam pesta pernikahan atau bulan purnama, Kelong seperti Battu Ratemak ri Bulang menciptakan tawa dan keakraban melalui dialog jenaka antar muda-mudi.
Beberapa Contoh Kelong
Dilansir Labbiri, M.Pd. Sastra Kelong: Menyibak Literasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal, berikut cuplikan Kelong Agama yang mendalam beserta maknanya:
"Boyai ri taenana
Assengi ri maniakna
Tenai antu
Namaknassaja niakna"
Terjemahan:
"Carilah Dia dalam gaib
Yakinlah Dia ada
Memang tak tampak
Tetapi pasti adanya"
Bait ini mengajarkan konsep “iman kepada yang tak kasat mata”. Kelong ini menggunakan metafora bayangan di air (Bayang-bayangnna ri jeknek) sebagai analogi keberadaan Tuhan—tak terpegang namun nyata. Pesannya selaras dengan ajaran tasawuf: pengenalan Tuhan dimulai dengan pengenalan diri (Assenganna Karaennu, pijappui kalennu – Untuk mengenal Tuhanmu, kenalilah dirimu).
Contoh lain tentang hidup sederhana:
"Pauangi bunga ejaya
Nakatutui rasanna
Manna mabauk
Teai mabauk dudu"
(Sampaikan si kembang merah / Agar baunya dijaga / Walau pun harum / Jangan terlalu semerbak)
Ini adalah nasihat halus agar tidak sombong meski punya kelebihan—nilai relevan di era media sosial yang dipenuhi oleh ajang pamer status.
Sastra Kelong membuktikan bahwa kearifan lokal bukanlah relik masa lalu, tapi bahan bakar pendidikan karakter masa kini.
Seperti gema dari tanah Makassar, Kelong mengingatkan kita dalam pusaran modernisasi, jati diri budaya adalah kompas yang tak boleh hilang. Mari jaga kelestariannya, bukan sebagai artefak museum, tapi sebagai nafas hidup yang terus menginspirasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News