Ketika berbicara tentang pembangunan desa, tidak jarang sorotan publik lebih banyak tertuju pada figur laki-laki. Padahal, di balik keberhasilan sejumlah program desa ada sosok perempuan yang memimpin dengan inovasi, keberanian, dan ketekunan luar biasa.
Perempuan pelopor desa bukan hanya simbol emansipasi. Namun, juga bukti nyata bahwa kepemimpinan perempuan mampu mendorong kemajuan daerah secara signifikan.
Perempuan dan Peluang Kepemimpinan di Tingkat Desa
Pemerintah Indonesia telah memberikan payung hukum bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam pembangunan desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi tonggak penting dalam memastikan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi bagian dari pemerintahan desa.
Dalam pasal-pasalnya, disebutkan bahwa kepala desa, perangkat desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus mengakomodasi keterwakilan perempuan secara adil.
Namun, realitasnya belum sepenuhnya ideal. Menurut data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), pada awal 2024 tercatat sekitar 5.230 perempuan menjabat sebagai kepala desa di seluruh Indonesia.
Jumlah ini masih berada di bawah 10 persen dari total seluruh kepala desa secara nasional. Meski begitu, tren peningkatannya cukup positif, yakni meningkat sekitar 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Kemendes PDTT, 2024).
Apa yang membedakan kepemimpinan perempuan di desa? Banyak studi dan pengamatan lapangan menyebut bahwa perempuan cenderung membawa pendekatan yang lebih partisipatif, sensitif terhadap isu kerentanan, dan inklusif.
Isu seperti stunting, pendidikan anak, kesehatan ibu hamil, akses air bersih, hingga pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi agenda utama yang sering kali luput dari perhatian. Terlebih jika tidak ada figur perempuan dalam posisi pengambilan keputusan.
Sosok Inspiratif: Rosmiati dari Desa Liliriawang, Sulawesi Selatan
Salah satu contoh inspiratif hadir dari Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Rosmiati, perempuan yang lahir dan besar di Desa Liliriawang, menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai kepala desa di wilayah tersebut.
Terpilih pada 2016, dan kembali dipercaya untuk memimpin periode berikutnya, ia membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan mampu menjawab tantangan nyata di lapangan.
Salah satu inovasi utama yang digagas Rosmiati adalah Posyandu Terintegrasi. Program ini menyatukan layanan kesehatan balita, ibu hamil, lansia, hingga remaja dalam satu sistem yang terjadwal secara rutin. Layanan ini dikembangkan berbasis data dan kebutuhan riil warga desa.
Hasilnya, tingkat kehadiran ibu dan anak dalam pemeriksaan kesehatan meningkat tajam. Desa Liliriawang juga mencatat penurunan signifikan angka stunting dari 14 persen menjadi 7 persen dalam kurun waktu tiga tahun (CNN Indonesia, 2023).
Selain itu, Rosmiati juga menggagas pendirian koperasi perempuan yang kini menjadi andalan ekonomi desa. Koperasi ini memproduksi kerajinan ecoprint dari limbah daun dan kain, serta makanan olahan lokal yang dipasarkan hingga ke kota-kota di Sulawesi Selatan.
Produk mereka tidak hanya meningkatkan pendapatan keluarga, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi perempuan yang sebelumnya hanya bekerja di sektor domestik.
Capaian Rosmiati pun tidak luput dari perhatian nasional. Pada 2023, ia dianugerahi penghargaan sebagai salah satu Perempuan Inspiratif Nusantara oleh Kemendes PDTT, berkat kontribusinya dalam mendorong perubahan berbasis komunitas dan menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunan (CNN Indonesia, 2023).
Dari Perempuan untuk Desa yang Lebih Inklusif
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa ketika perempuan diberi ruang untuk memimpin, kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih responsif terhadap kelompok marginal.
Perempuan pemimpin desa lebih sensitif terhadap kebutuhan anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, hingga ibu rumah tangga.
Hal ini pula yang mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) meluncurkan Program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Program ini mendorong setiap desa untuk memastikan kebijakan dan programnya mempertimbangkan perspektif gender dan perlindungan anak.
DRPPA kini telah dijalankan di lebih dari 2.000 desa di Indonesia, dan sebagian besar programnya berjalan optimal di desa-desa yang dipimpin oleh perempuan (KemenPPPA, 2024).
Program-program yang lahir dari kepemimpinan perempuan biasanya tidak hanya menyasar pembangunan fisik seperti jalan dan jembatan, tetapi juga pembangunan sosial dan manusia. Inilah nilai tambah yang sering kali menjadi pembeda utama.
Tantangan yang Masih Membayangi
Meski kiprah perempuan pemimpin desa semakin nyata, mereka tidak lepas dari tantangan besar. Masih banyak masyarakat yang memandang bahwa posisi kepala desa atau perangkat desa adalah “urusan laki-laki”.
Tidak sedikit perempuan kepala desa yang mengalami penolakan, bahkan intimidasi saat awal menjabat. Tantangan lainnya mencakup keterbatasan sumber daya, minimnya akses pelatihan kepemimpinan, serta kesenjangan digital di wilayah perdesaan.
Sebagian perempuan bahkan harus menghadapi tekanan ganda yaitu sebagai pemimpin publik dan sekaligus pengurus rumah tangga. Beban ganda ini sering kali menjadi alasan rendahnya minat perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Untuk itu, perlu sinergi nyata dari berbagai pihak pemerintah pusat dan daerah, LSM, organisasi perempuan, dan media dalam menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan untuk maju.
Pelatihan khusus bagi calon kepala desa perempuan, mentoring dari pemimpin perempuan senior, serta dukungan komunitas sangat penting untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam pemerintahan desa.
Menuju Masa Depan Desa yang Setara
Masa depan desa Indonesia harus dibangun di atas nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Tidak ada kemajuan yang sejati jika masih ada satu kelompok yang tertinggal.
Memberikan ruang bagi perempuan untuk memimpin bukan semata demi kesetaraan gender, tetapi juga untuk memperkaya pendekatan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan desa.
Kepemimpinan perempuan terbukti membawa dampak langsung terhadap kualitas layanan publik, pengelolaan sumber daya desa, hingga peningkatan kesejahteraan warga. Kisah Rosmiati dan ribuan perempuan kepala desa lainnya menunjukkan bahwa ketika perempuan dipercaya, desa menjadi lebih tangguh dan inklusif (Kemendes PDTT, 2024).
Kepemimpinan perempuan bukan sekadar tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi tentang bagaimana menghadirkan kebijakan yang manusiawi, adil, dan berpihak pada yang lemah.
Dari desa-desa terpencil di pelosok Indonesia, para perempuan pelopor tengah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News