Stasiun Tanjungpriok sudah menjadi saksi perjalanan transportasi di Batavia sejak zaman Belanda. Dibangun pada masa Gubernur Jenderal AFW Idenburg di tahun 1914, stasiun ini begitu lekat dengan nuansa Belanda.
Stasiun yang dibangun untuk mengakomodasi wisatawan asal Eropa memang dilengkapi dengan fasilitas super mewah pada masanya. insinyur utama dari Staats Spoorwegen (perusahaan kereta api Hindia Belanda), CW Koch melengkapi Stasiun Tanjungpriok dengan hotel, restoran, dan ruang dansa.
Di lantai dua stasiun ini masih terlihat kamar-kamar penginapan. Sementara ruang dansa berada di ruang lobi utama.
Di stasiun ini juga terdapat, dapur dua lantai dengan lift khusus untuk makanan, meja bar, dan gudang logistik yang masih utuh seperti dulu.
“Kecuali bagian atap yang sebagian telah diganti, termasuk keramik lantai peron dan ruang-ruang kantor, kondisi bangunan umumnya masih seperti dulu,” kata Kepala Stasiun Tanjung Priok M Ridwan Subarkah.
Struktur bangunan yang mewah
Stasiun yang mempunyai delapan jalur, enam jalur di antaranya berada di peron ini bertumpu pada ratusan tiang pancang dan memiliki atap penutup beton dan seng tebal. Atap peron berupa struktur baja melengkung yang menaungi seluruh jalur peron.
Stasiun Tanjungpriok tergolong bangunan mewah pada zamannya. Hal ini bisa dilihat dari struktur baja, ornamen-ornamen yang terbilang megah.
Selain Ada kaca patri, ornamen profil keramik yang menghias dinding stasiun, kolom besar pada beranda utama, dan cahaya dari kaca-kaca besar di ruang lobi menambah kesan megah itu.
Pada masa lalu, ruang tunggu di stasiun ini juga dibedakan berdasarkan kelas sosial. Jadi warga pribumi dengan kaum ningrat atau Belanda dibuat terpisah saat berada di stasiun.
Nah pada bagian ruang tunggu untuk kaum bangsawan dan orang Belanda tak hanya ada bangku untuk menunggu saja. Di sana dahulunya ada bar dan juga restoran. Bahkan jejak bar-nya bisa kita lihat sekarang.
Menjadi cagar budaya
Suparno, pegawai senior PT KAI yang bertugas di Stasiun Tanjungpriok sejak 1980 mengatakan kondisi stasiun terus berubah mengikuti kebutuhan. Dulu pernah dipakai sebagai penghubung sentra rempah-rempah di Pulau Jawa ke Eropa melalui pelabuhan.
Pada akhir 1990-an, bangunan bersejarah ini mulai terabaikan. Atap-atap sudah banyak yang lepas, kaca dan pintu sebagian besar pecah. Besi-besi tak sedikit yang patah dan berkarat. Kondisi stasiun ini sebelum Januari 2000 benar-benar memprihatinkan dan terbengkalai. Stasiun juga sudah puluhan tahun tidak digunakan, sehingga fungsinya berubah yakni sebagai bangunan kosong.
Namun dengan berbagai pertimbangan, termasuk cerita sejarahnya yang amat berpengaruh bagi perkembangan Batavia pada abad ke-19 sampai abad ke-20, maka PT KAI melakukan renovasi besar-besaran agar stasiun itu bisa kembali digunakan. Saat ini, stasiun masih melayani angkutan barang termasuk commuter line. Bangunan juga telah berubah status menjadi cagar budaya karena usia dan keutuhan bangunan dengan nilai sejarah yang kuat.
Stasiun ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan menjadi salah satu obyek wisata sejarah. Oleh karena itu, pemugaran dan perbaikannya mempertahankan bentuk aslinya, termasuk bentuk gedung pengatur perjalanan kereta api atau rumah sinyal di ujung peron.
Sumber:
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News