Rencana pembangunan Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa sepanjang 700 kilometer di pesisir utara Jawa kembali menjadi perbincangan serius.
Proyek ini digagas sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi ancaman banjir rob, abrasi pantai, penurunan tanah (land subsidence), dan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim.
Namun, di balik potensi manfaatnya, proyek ini juga akan menghadapi tantangan ekologis dan sosial yang kompleks.
Urgensi Pembangunan Giant Sea Wall
Menurut Prof. Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, proyek ini memiliki urgensi tinggi mengingat kondisi pesisir utara Jawa yang semakin rentan.
Jakarta, misalnya, mengalami penurunan tanah hingga 10 cm per tahun (BMKG, 2023), sementara kenaikan muka air laut global diprediksi mencapai 0,3–1 meter pada 2100 (IPCC, 2022). Tanpa intervensi struktural, wilayah pesisir berpenduduk padat ini berisiko tenggelam secara permanen.
Namun, ia mengingatkan bahwa megaproyek semacam ini harus dirancang dengan pendekatan terpadu.
"Pembangunan Giant Sea Wall tidak bisa hanya mengandalkan beton. Harus ada integrasi dengan teknologi hijau (green technology) dan biru (blue technology) seperti restorasi mangrove dan sistem drainase berkelanjutan,” tegasnya.
Dasar Ilmiah Pembangunan Tanggul Laut Raksasa
Secara ilmiah, tanggul laut raksasa berfungsi sebagai breakwater (pemecah gelombang) dan flood barrier (penghalang banjir). Prinsip kerjanya adalah mengurangi energi gelombang laut yang mengikis garis pantai sekaligus mencegah limpasan air laut ke daratan.
Studi dari Journal of Coastal Research (2021) menunjukkan bahwa struktur tanggul yang dikombinasikan dengan mangrove dapat mengurangi energi gelombang hingga 70%.
Namun, jika dibangun tanpa pertimbangan hidrodinamika laut, tanggul justru dapat mengganggu sedimentasi alami dan memperparah abrasi di area sekitarnya.
Di Belanda, sistem tanggul Delta Works telah sukses melindungi wilayah pesisir dari banjir sejak 1950-an. Namun, proyek ini memakan waktu puluhan tahun dengan biaya sangat besar dan terus diperbarui sesuai dinamika lingkungan.
Sementara itu, di Korea Selatan, pembangunan Saemangeum Seawall (2010) justru menimbulkan masalah ekologis seperti penurunan kualitas air dan kerusakan habitat burung migran (Kim et al., 2014).
Perlu Pendekatan Terpadu
Prof. Yonvitner menekankan bahwa keberhasilan pembangunan Giant Sea Wall sangat bergantung pada penerapan Integrated Coastal Management (ICM). Pendekatan terpadu ini dirancang untuk mengintegrasikan berbagai aspek pembangunan pesisir secara holistik.
Salah satu elemen kunci dalam pendekatan ICM adalah pemetaan risiko berbasis zonasi. Hal ini penting untuk menentukan area mana yang benar-benar membutuhkan struktur tanggul beton dan area mana yang bisa dilindungi dengan solusi berbasis alam seperti penanaman mangrove. Pemetaan yang akurat akan membantu mengoptimalkan alokasi sumber daya dan meminimalkan dampak lingkungan.
Selain itu, perencanaan tata ruang pesisir harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan ekosistem dan kepentingan masyarakat. Tata ruang yang baik akan memastikan bahwa pembangunan tanggul tidak mengganggu fungsi alami ekosistem pesisir sekaligus tetap memberikan perlindungan bagi permukiman dan aktivitas ekonomi.
"Setiap wilayah punya karakteristik berbeda. Pesisir Jawa Tengah banyak yang labil, sementara pesisir timur relatif stabil. Desain tanggul harus disesuaikan," jelasnya.
Yang tidak kalah penting adalah pelibatan pemangku kepentingan, termasuk nelayan, masyarakat lokal, dan pemerintah daerah. Keterlibatan aktif dari berbagai pihak sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan akan membantu mengidentifikasi potensi masalah sosial dan ekologis sejak dini.
Dengan demikian, proyek ini tidak hanya menjadi solusi teknis, tetapi juga diterima dan didukung oleh masyarakat yang akan merasakan dampaknya langsung.
Risiko dan Tantangan Pembangunan Giant Sea Wall
Aktivitas pengerukan dan reklamasi yang menyertai pembangunan tanggul dapat menyebabkan peningkatan kekeruhan air laut secara signifikan.
Kondisi ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup terumbu karang yang sensitif terhadap perubahan kualitas air, tetapi juga berpotensi mengganggu jalur migrasi berbagai spesies ikan penting.
Masalah lain yang mengemuka adalah potensi gangguan terhadap proses sedimentasi alami. Jika desain tanggul tidak mempertimbangkan dinamika pantai secara komprehensif, struktur ini dapat menghambat aliran sedimen yang vital bagi keseimbangan pantai.
Dari perspektif sosial ekonomi, proyek ini berpotensi memunculkan dampak serius bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional.
Pelibatan Masyarakat dan Literasi Publik
Agar proyek ini berhasil, transparansi dan partisipasi publik mutlak diperlukan. "Masyarakat pesisir harus dilibatkan sejak awal, diberi pemahaman tentang manfaat dan risikonya, serta disiapkan untuk adaptasi," ujar Prof. Yonvitner.
Ia juga menyarankan agar pemerintah mempelajari kasus-kasus internasional, seperti Maeslantkering (Belanda) yang menggunakan sistem pintu otomatis, atau Thames Barrier (Inggris) yang dirancang untuk mengantisipasi kenaikan muka air laut ekstrem.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News