goodtalk off air bahas penggunaan ai dalam kerja pr singgung isu antara etika dan reputasi - News | Good News From Indonesia 2025

GoodTalk Off-Air Bahas Penggunaan AI dalam Kerja PR, Singgung Isu antara Etika dan Reputasi

GoodTalk Off-Air Bahas Penggunaan AI dalam Kerja PR, Singgung Isu antara Etika dan Reputasi
images info

GoodTalk Off-Air Bahas Penggunaan AI dalam Kerja PR, Singgung Isu antara Etika dan Reputasi


Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan hadir sebagai teknologi yang berdampak kepada banyak sektor, tak terkecuali komunikasi. Dengan AI, komunikasi bukan lagi soal urusan penyampaian pesan secara cepat dan kreatif, tetapi siapa yang menyusun pesan, sejauh mana keterlibatan AI di dalamnya, serta seberapa bisa dipercaya pesan tersebut.

Relasi yang terbentuk antara praktisi komunikasi, AI, dan publik memunculkan satu isu baru yang banyak diperhatikan, yakni etika. Di balik pesan-pesan yang disusun dan disebarkan dengan bantuan AI, ada pertanyaan penting tentang batas antara efisiensi teknologi dan tanggung jawab moral. Apalagi, reputasi kini tidak hanya dibentuk oleh isi pesan, melainkan juga dari proses dan nilai yang mendasarinya. 

Untuk membahas lebih dalam mengenai etika dalam penggunaan AI di ranah komunikasi khususnya Public Relations (PR), Good News From Indonesia (GNFI) dan Perhumas menggelar GoodTalk Off-Air bertajuk “Antara Akurasi dan Reputasi–Bagaimana Etika Komunikasi di Era AI?” di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, pada Selasa (29/7/2025). Acara ini menghadirkan para pakar yang terdiri dari akademisi dan praktisi yang menyampaikan pandangannya terkait bagaimana kita bisa memahami batas dan peluang komunikasi berbasis AI, sekaligus memastikan etika tetap dijaga di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat.

“Profesi PR atau humas itu salah satu profesi tertua yang protokolnya kode etik, jadi hal seperti ini penting untuk dibicarakan.” ujar Komisaris GNFI, Agus Kustiwa, dalam sambutannya.

Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society dan Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dr. Ir. Lukas, MAI, CISA, IPU, menyoroti adanya tiga tren komunikasi AI yang sedang terjadi. Pertama adalah kecepatan. Tren kedua, Konten AI bisa tampak seperti buatan manusia, padahal produksinya dilakukan tanpa sentuhan manusia. Kemudian tren ketiga, adanya pergeseran fokus dari konten menjadi proses atau siapa yang membuat konten tersebut, manusia atau mesin.

Ketiga tren tersebut tidak selalu berarti positif. Lukas mengingatkan bahwa di baliknya ada pula masalah yang muncul seperti mudahnya membuat konten manipulasi atau hoaks, yang mana pada kemudian terjadilah krisis etika.

“Ternyata AI memproduksi yang bagus, menarik, dan menakjubkan, tetapi pada saat yang sama mengeluarkan itu juga (konten negatif).” ujar Lukas.

Menurut Lukas, krisis etika yang kini terjadi adalah akurasi yang berkaitan dengan kebenaran isi suatu konten dan transparansi, tepatnya soal siapa yang bertanggung jawab atas konten yang dihasilkan dan perlu adanya keterangan jelas mengenai digunakannya AI di dalam proses produksinya.

Di sini, manusia berperan penting. Untuk mengatasi krisis etika yang terjadi, manusia dibutuhkan sebagai pihak yang memverifikasi dan mengatur penggunaan AI alih-alih menyerahkan semuanya kepada mesin.

“AI bisa menyusun kata, tetapi tetap manusia yang bisa memberi makna, dan motifnya ada di manusia.” kata Lukas.

Lukas menawarkan solusi praktis tentang bagaimana manusia bisa berperan dalam mengatasi krisis etika yang disebabkan AI. Ia menyebut perlu ada panduan yang mengatur kapan AI boleh digunakan, kewajiban untuk mencantumkan keterangan bahwa suatu konten dibuat menggunakan AI, juga pelatihan etika bagi praktisi yang menggunakan AI dalam pekerjaannya.

Senada dengan apa yang disampaikan Lukas, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Keanggotaan dan PERHUMAS Muda, Rizky C. Saragih, juga menegaskan bahwa manusia tetap perlu jadi pemegang kendali utama kendati AI mampu melakukan banyak hal.

“Keputusan akhirnya, pertimbangan moral, pemahaman akan konteks, serta etika Bangsa Indonesia harus tetap berada di tangan kita sebagai manusia, bukan di tangan mesin. Di sini letak etika komunikasi menjadi sangat vital.” ujarnya.

Di Indonesia, sudah banyak perusahaan yang menggunakan AI untuk menunjang operasionalnya, salah satunya yakni Blue Bird. Head of Corporate Communications PT Blue Bird Tbk, Sekar Adisty Prabandari, berbagi cerita mengenai bagaimana AI diterapkan di perusahaan tempatnya bekerja.

Dijelaskan Sekar, bentuk adaptasi AI oleh Blue Bird di antaranya adalah optimalisasi rute bagi pengemudi dengan Internet of Things (IoT), hingga aplikasi serbaguna yang menyediakan beragam layanan dalam satu wadah. Tim PR Blue Bird juga menggunakan social listening tools untuk membaca pembicaraan publik mengenai perusahaan berlogo burung biru itu.

“Apa yang sering orang omongin soal Blue Bird, kata-kata itu yang kami jadikan message untuk bisa kami sampaikan sebagai message perusahaan. Karena kita mendengar mereka lewat social listening dan mereka juga mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Blue Bird (terkait) komunikasinya.” kata Sekar.

Khusus untuk melayani pelanggan, Blue Bird punya chatbot untuk merespons segala pesan yang masuk. Hanya saja, chatbot ini tetap berada di bawah pengawasan manusia dengan apa yang disebut dengan "human connection".

“Karena memang Blue Bird percaya kalau human connection pst menjadi adalah satu hal yang membedakan kami dari aplikasi lainnya karena semua msh di-manage oleh manusia.” ujar Sekar lagi.

Meski canggih, Blue Bird juga menyadari ada resiko dari penggunaan AI, seperti hilangnya sentuhan manusia, menyebarnya misinformasi, dan pesannya datar serta impersonal. Bahkan, adopsi AI oleh Blue Bird sempat direspons negatif hingga akhirnya perusahaan tersebut mempelajari bahwa AI tidak bisa digunakan mentah-mentah.

Sekar menjelaskan, Blue Bird punya nilai-nilai etika yang dipegang betul dalam penggunaan AI, yakni pentingnya mengedepankan empati, tujuan penggunaannya harus jelas, jangan menerima mentah-mentah apapun yang dikatakan AI, dan posisikan AI sebagai alat pendukung.

Dengan masifnya penggunaan AI, bagaimana cara membangun budaya AI yang etis? Co-Founder & Chief of Communication GEMA Worldwide dan Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Pemuda, Steve Saerang, menyodorkan 5 hal yang menjadi dasar untuk menuju ke arah sana. Kelimanya yakni leader, policy, training, tool-system, dan public engagement.

Seorang leader harus bertanggungjawab atas penggunaan AI oleh orang-orang di sekitarnya, khususnya dalam memutuskan mana hal yang benar dan salah dari penggunaan AI tersebut. Sementara itu, policy khususnya yang disusun oleh negara menjadi guideline sekaligus landasan untuk menentukan benar dan salahnya.

"Ini yang harus kita bangun sebenarnya, mungkin dengan forum seperti ini, dibantu oleh Good News From Indonesia untuk meng-highlight pentingnya kita sebagai negara kalau mau sovereign, benar-benar berdikari, benar-benar punya kedaulatan dan kita harus stick with it." kata Steve.

Untuk training dan tool-system, Steve menyoroti perlunya menyadari bahwa AI tetap punya kelemahan sehingga penggunanya perlu punya kemampuan agar bisa memanfaatkan tools AI dengan baik. Terakhir, Steve menekankan soal perlunya transparansi dalam penggunaan AI.

"Semua orang pakai AI tetapi tidak transparan kalau dia pakai AI. If you generate something with AI, just name it ‘Im generating this pakai AI’.” pungkasnya, 

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aulli Atmam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aulli Atmam.

AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.